Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

dakwatuna.com - Allah SWT telah mensyari’atkan pernikahan. Dan menjadikan sebagian dari tujuannya adalah pemenuhan berbagai keperluan jiwa, fisik, sosial dan ruhani. Pernikahan adalah sumber penumbuhan kesehatan jiwa dan fisik dan benteng penjaga berbagai penyakit jiwa, penyimpangan perilaku dan akhlaq.



Sebuah kewajaran bila kehidupan berumah tangga telah melewati 5 tahun mengalami masa futur, dapat pula kurang dari itu atau lebih. Tidak mengapa pula terjadi masa-masa bosan yang bersifat temporer dan sepintas lalu. Yang penting jangan berkepanjangan, dan jangan sampai menghancurkan kehidupan berumah tangga.

* Kebosanan Umum: yaitu kebosanan yang terjadi akibat rutinitas kehidupan sehari-hari
* Kebosanan Emosional: yaitu hilangnya rasa cinta kasih di antara suami istri.
* Kebosanan Seksual: Yaitu Menjalankan hubungan seksual seakan-akan merupakan sebuah kewajiban atau tidak ada pembaharuan di dalamnya.

Gejala dan Bahaya

Ada banyak dampak, tanda dan gejala adanya future dalam kehidupan berumah tangga, di antaranya:

1. Pengaduan istri bahwa suaminya tidak perhatian dan berpaling darinya, sering keluar dan begadang di luar rumah, memperlakukannya secara kasar, kering, tanpa penghargaan. Suami juga mengadu bahwa istrinya mengabaikannya dan beralasan karena factor anak, banyak meminta anggaran belanja, tidak berhias di hadapannya, dan pengaduan-pengaduan lainnya.
2. Future dan rutinitas dalam berbagai hubungan suami istri, diantaranya: future dalam hubungan emosional dan seksualitas
3. Antara suami dan istri merasa ada jarak dan barier psikologis, padahal keduanya hidup satu atap
4. Membesar-besarkan berbagai kesalahan, buruk sangka, buruk dalam menafsirkan ucapan dan perbuatan
5. Sering terjadi perbedaan pendapat, dan suara meninggi untuk urusan sepele.
6. GTM (Gerakan Tutup Mulut) di antara suami istri, minim atau tidak ada dialog di antara keduanya sama sekali.
7. Penderitaan pihak wanita lebih banyak, sehingga kita mendapatinya bolak balik ke klinik jiwa yang jarang sekali dimasuki oleh lelaki. Hal ini karena lelaki mempunyai berbagai cara untuk berekspresi dan mencari hiburan. Berbeda dengan perempuan yang tenggelam dalam problem dan deritanya. Hal ini melahirkan berbagai rasa sakit, cemas, mengeluh sakit kepala, sakit perut, tidak ceria, tidak mampu lagi menikmati hal-hal yang biasanya dia nikmati.
8. Demi meringankan rasa bosan atau problem rumah tangga dan seksualitas, sebagian suami atau istri lari ke cara-cara yang menyimpang, semisal narkotika dengan segala bentuknya, atau menjalin hubungan haram, atau suntuk kepada pekerjaan secara berlebihan.
9. Sebagian suami mencari istri kedua, atau ketiga atau keempat. Sebagian lainnya bersabar dan menanggung deritanya. Sebagian istri bersabar dan mencoba mensiasati urusannya. Sebagian lainnya berusaha mencari kompensasi atas kegalauannya dengan membeli berbagai kebutuhan sekunder, atau menyibukkan diri dengan anak, atau melakukan penyimpangan dalam berbagai bentuk dan tingkatannya.
10. Keluarga: suami istri dan anak-anak hidup dalam berbagai perasaan negatif.
11. Bisa berakibat terjadinya berbagai pengkhianatan suami istri
12. Bisa berakibat terjadinya perceraian

Sebab

Sebagaimana futur berakibat pada munculnya gejala atau problem yang lebih besar, future juga terjadi akibat satu atau beberapa problem yang bertumpuk. Di antara sebab-sebab terjadinya future dalam kehidupan rumah tangga adalah:

1. Memasuki kehidupan berumah tangga dengan berbagai prediksi dan obsesi ideal (jauh dari fakta). Bisa jadi suami atau istri tidak merasakan idealismenya, lalu ia hidup dalam kenyataan yang bisa jadi membuatnya kecewa berat, lalu merasa future, lalu meyakini bahwa kehidupan rumah tangganya telah gagal, dan bahwasanya solusinya adalah mengakhiri kehidupan rumah tersebut dengan perceraian.
2. Pengulangan dan rutinitas harian yang membosankan.
3. Masing-masing pihak tidak berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan level kehidupan rumah tangganya ke tingkat yang lebih baik, juga tidak sungguh-sungguh dalam mencari solusi atas setiap problem yang dihadapinya.
4. Kecurigaan dan kecemburuan secara berlebih dari salah satu suami atau istri, dan hal ini menanamkan bibit futur dalam hubungan di antara keduanya.
5. Bisa jadi sebagian penyakit fisik atau jiwa berakibat munculnya futur dengan segala bentuknya, misalnya: depresi, cemas dan schizophrenia atau split personality.
6. Hilangnya cinta kasih diantara suami dan istri dalam tempo yang lama.

Antisipasi dan Solusi

1. Penguatan hubungan dengan Allah SWT. Di antaranya, kebersamaan suami istri dalam berbagai aktivitas; seperti mengkhususkan waktu untuk melakukan wirid harian dalam menghafal Al-Qur’an, membaca istighfar, shalat sunah, bersedekah, umrah dan amal soleh lainnya.
2. Masing-masing pihak suami dan istri hendaklah merasa bertanggung jawab atas terjadinya futur di antara keduanya, karenanya, hendaklah masing-masing berperan dalam meng-’ilaj
3. Pihak istri perannya lebih besar dalam hal ini. Hendaklah ia memperbaharui dan mengembangkan cara memperlakukan suaminya, dalam melakukan sentuhan-sentuhan lembut dalam rumah, khususnya kamar tidur, masakan, penataan ruang dan perabot, menerapkan hobi-hobi baru, melakukan berbagai aktivitas keluarga di dalam rumah, refreshing keluarga, membuat berbagai kejutan, memberi hadiah secara periodik. Semua hal ini hendaklah suami juga melakukannya, sesuai dengan bidangnya.
4. Suami atau istri hendaklah mengambil inisiatif falam dialog dengan pihak lainnya, memunculkan tema untuk didialogkan. Hal ini membantu suami istri untuk melewati jurang yang muncul sebelum menganga lebar.
5. Hendaklah suami istri saling memahami, bagusnya semenjak awal pernikahan. Caranya, masing-masing berterus terang tentang apa yang disukai dan yang tidak disukai. Bersepakat bahwa masing-masing pihak akan berusaha memenuhi keperluan pihak lainnya, baik psikologis maupun fisik, seperti: menghargai, menghormati, saling menerima, khususnya saling menerima fisik, lalu menerjemahkan kesepakatan ini dalam bentuk perilaku dan ucapan … sepanjang kehidupan suami istri yang panjang, dengan seijin Allah.
6. Menghindari rutinitas dalam hubungan keluarga dan seks di antara suami istri
7. Hendaklah masing-masing suami dan istri mempelajari kemahiran berinteraksi dengan orang lain
8. Pengendalian diri saat emosi atau saat terjadi krisis
9. Kehidupan suami istri tidak lain adalah partnership dalam pemikiran, emosi dan fisik, dan semua kesertaan ini menjadikan kehidupan suami istri memiliki cita rasa yang khas yang menjauhkannya dari hantu kebosanan dan futur.


On Label: , | 0 Comment

Apa yang menjadi rahasia kesuksesan tarbiyah?

Yang pertama dan paling utama, adalah istiqamah. Yang menghiasi jiwa para murobbi dan mad’u atau mutarobbi dalam melewati putaran roda da’wah adalah istiqamah dalam hidayah, istiqamah dalam keikhlasan, istiqamah dalam kesabaran. Inilah hal terberat bagi setiap da’i dan bahkan nabi. Ayat yang membuat nabiyullah Muhammad SAW beruban rambutnya, adalah perintah untuk istiqamah. "Maka istiqamahlah (kamu) sebagaimana yang Aku perintahkan…" (Qs. Hud: 112).



Dan inti dari istiqamah adalah kesabaran.

"Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru RabbNya di pagi dan senja hari, dengan mengharap keridhaanNya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (Qs. Al-Kahfi: 28).



Dalam perjalanan panjang da’wah dan tarbiyah ini, istiqamah dibangun melalui tarbiyah imaniyah yang terus-menerus, baik secara jama’i (bersama) maupun dzati (mandiri). Liqo tarbawi sangat dipenuhi dengan suasana ruhiyah dan peribadahan, dan berbagai aktifitas jama’i untuk peningkatan sensitivitas ruhiyyah dan tazkiyatun nafs (pembersihan jiwa) dilakukan secara periodik dan konsisten. Kemudian, ditopang oleh suasana saling menasehati dalam kebenaran, dalam kesabaran dan dalam kasih sayang.



Rahasia sukses kedua adalah disiplin dalam tanggung jawab (indibath bil-mas’uliyah). Pada masa-masa lalu kita akan menemukan seorang mutarobbi yang sangat menyesal dan memiliki rasa bersalah yang dalam, ketika datang terlambat ke liqo. Atau ketika ia udzur (berhalangan), esok harinya ia sibuk mendatangi saudaranya yang lain hanya untuk menyalin materi yang diberikan. Juga begitu banyak para Murabbi yang meninggalkan berbagai urusan pribadi dan keluarganya, karena ia harus mengisi liqo yang secara rutin dilakukan.

"Katakanlah: jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya." (Qs. At-Taubah: 24).



Membolos bagi seorang murabbi, sepertinya melemparkan sebuah amanah sebesar gunung Uhud.

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Qs. Al-Anfal: 27).

Bila kita menemukan ada Mutarabbi yang punya ongkos pas-pasan untuk hadir dalam liqo atau halaqah, tidak sedikit kita temukan, Murabbi yang harus pulang berjalan kaki – karena tidak tersisa lagi uang satu sen pun. Bukan karena para Mutarabbi tidak membantu, tetapi bahkan sang Murabbi tidak pernah menampilkan wajah dirinya sedang mengalami kesulitan di hadapan para mutarabbinya.

"… orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena (mereka) memelihara diri dari meminta-minta…" (Qs. Al-Baqarah: 272).



Tanggungjawab yang berangkat dari kesadaran akan amanah da’wah ini, menjadi tradisi yang diwariskan para Murabbi kepada mutarabbinya. Nyatanya, semakin mereka disiplin pada tanggung jawab da’wah dan tarbiyah, semakin Allah memudahkan semua urusan mereka. Dan bahkan, seringkali Allah menganugerahkan jalan keluar yang tidak disangka-sangka atas berbagai kesulitan yang dihadapi.

"Dan bersabarlah, karena Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang orang yang berbuat kebaikan." (Qs. Huud: 115).



Rahasia ketiga, adalah kemenyeluruhan dalam peran tarbiyah (at-takamuliyah fi daur at-tarbawi). Seorang Murabbi atau Murabbiyah – ketika mentarbiyah mutarabbinya – tidak hanya memerankan diri sebagai seorang guru (muwajjih) yang menyampaikan ilmu-ilmu Islam. Tetapi pada saat bersamaan, ia menjadi seorang syaikh/ustadz dalam memelihara dan meningkatkan ruhiyah dan ma’nawiyah mutarabbinya. Ketika menghadapi masalah-masalah yang dialami sang mutarabbi, ia menjadi bapak atau ibu (walid) bagi mutarabbinya. Dengan penuh kasih sayang dan kesabaran, ia membimbing sang anak untuk mampu menyelesaikan persoalan-persoalannya. Memuji keberhasilannya dan memotivasi untuk bangkit dari kegagalannya. Ketika berada di medan da’wah dan amal jama’i, ia berperan sebagai pemimpin yang ikhlas, bijak dan juga tegas. Ia tahu kapan harus berdiskusi dan kapan harus memeberikan instruksi. Ia buka ruang partisipasi dan syura (musyawarah) untuk menghasilkan yang terbaik. Ia senantiasa mengambil keputusan setelah memohon taufiq dan hidayah dari Allah Swt. Dan ketika ia sedang rihlah (jalan-jalan/tamasya) atau dalam suasana santai dengan para mutarabbinya, ia menjadi teman bicara dan bermain yang mengasyikkan. Kemenyeluruhan peran-peran tarbiyah inilah yang telah menghasilkan kader-kader terbaik dari kalangan sahabat-sahabat Rasul Saw (as-sabiqunal awalun) dan juga generasi berikutnya. Dengan ini, setiap mad’u atau Mutarabbi merasa nyaman dalam rumah tarbiyah mereka, memiliki semangat penerimaan (ruhul-istijabah) yang kuat terhadap segala arahan dan bimbingan dari sang Murabbi tercinta. Sehingga, sebentar saja ada di rumah tarbiyah, mereka mengalami perubahan kepribadian yang cepat (qabil lit-taghyir) dan selanjutnya mereka keluar dari rumah tarbiyah sebagai penyeru perubahan ke arah kebaikan.

Demikianlah, liqo/halaqoh tarbiyah menjadi sarana efektif untuk membangkitkan kesadaran umat dan membalikkan orientasi hidup mereka. Halaqah ammah (umum) dan halaqah khashshah (khusus/liqo) menghiasi malam-malam dan siang, di mana ribuan spidol menuliskan kalimat-kalimat Islam di atas whiteboard setiap harinya. Sebuah irama yang terus bergema tak pernah henti. Persis ungkapan nabi Nuh as:

"Ya Rabbi, sesungguhnya aku telah menda’wahi kaumku malam dan siang." (Qs. Nuh: 5).

Saat-saat liqo tarbawi merupakan yang paling dirindukan. Rasa haus akan ilmu, kerinduan bertemu sesama ikhwan atau akhwat, berbagi masalah dan pengalaman dengan sang Murabbi atau murabbiyah, dan pulang kembali ke rumah dengan dada yang penuh dengan keindahan iman dan kesempurnaan tawakal kepada Allah Swt. Enam hari berikutnya, adalah hari-hari da’wah dan tarbiyah. Sang Mutarabbi pada sisa enam hari berikutnya menjelma sebagai Murabbi dan da’i bagi umat. Ilmu dan pemahaman yang didapatkan dalam liqo tarbawi kemarin, telah menjadi tema berbagai liqa’at tarbawi pada keesokan harinya. Merekalah sosok-sosok Rabbaniyyun.

"Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani. Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya." (Qs. Ali Imran: 79).



Tidak ada keraguan sedikit pun untuk menyampaikan ilmu Islam kepada mad’u (obyek da’wah). Meski usia mereka muda, bukan lulusan pesantren dan sebagian besar belum menguasai bahasa Arab, namun ada "izzah" (keyakinan dan kebanggaan) akan fikrah Islam yang mereka miliki. Ada "hamasah" (semangat menggelora) untuk mengamalkan Islam dan menyerukannya kepada orang lain. Dan ada "ghirah" (kecemburuan dan semangat pembelaan) terhadap Islam yang diabaikan oleh ummatnya sendiri. Inilah tiga unsur yang menghiasi militansi tarbiyah dan da’wah mereka pada tingkat individu. Izzah, hamasah dan ghirah Islamiyah. Ketiga hal ini tidak lahir kecuali dari mata air keimanan yang jernih, lautan pemahaman yang luas dan gelombang keikhlasan yang tidak pernah surut. Militansi individu semakin diperkokoh dengan semangat keterikatan (ruhul-irtibath) antar anggota dalam sebuah halaqah, semangat persaudaraan (ruhul-ukhuwah) yang terpancar dari cahaya wajah-wajah yang mudah saling mengenali, walaupun belum pernah berjumpa sebelumnya. Serta semangat kerjasama (ruhul amal-jama’i) untuk menopang berbagai tanggungjawab dan beban da’wah melalui semangat saling memberi dan berkorban. Semua ini menjadikan himpunan mereka sebagai bangunan yang kokoh dan saling menopang (al-bunyan al-marshush).

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur rapi, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh". (Qs. As-Shaf: 4).



Wallahu’alam bishowab

@ dari buku Tarbiyah Menjawab Tantangan


On Label: | 0 Comment

Tarbiyah Islamiyah telah melewati usia 20 tahunnya. Fenomena yang berawal dari sekolah-sekolah dan kampus ini, terus berkembang menjadi arus besar yang ikut menentukan gerak perubahan di negeri ini. Ketika terjadi transisi kekuasaan tiga tahun lalu, kekuatan tarbiyah mentransformasikan dirinya ke dalam Hizbud-Da’wah. Di panggung politik yang terbuka dan kompetitif, masyarakat bisa menyaksikan buah-buah tarbiyah yang direpresentasikan para kader-kadernya.


Beragam respon muncul; mulai dari kekaguman dan harapan-harapan besar yang digantungkan kepadanya hingga kecemasan yang menggiring rasa ingin tahu banyak pihak untuk lebih mengenali apa, siapa dan bagaimana Hizbud-Da’wah yang lahir dari rahim tarbiyah ini? Kini, di mihwar muassasi, akankah tarbiyah tetap menjadi semangat zaman sebagaimana di dua fase perjalanan dakwah sebelumnya?

Penerimaan Umat terhadap Tarbiyah

Ada hal yang menggembirakan hati kita ketika bicara soal tarbiyah. Yaitu meluas dan berkembangnya respon positif masyarakat terhadap aktifitas tarbiyah dan produk manusia muslim yang dilahirkannya. Hal ini bisa diukur dari meluasnya penerimaan berbagai segmen masyarakat muslim terhadap aktifitas tarbiyah. Halaqah dan ta’lim yang semula marak di sekolah dan kampus, kini mulai bermunculan di perkantoran, pabrik-pabrik, masjid, organisasi dan berbagai perkumpulan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Ukuran lainnya, meningkatnya harapan masyarakat terhadap peran-peran perubahan yang bisa dilakukan kader-kader tarbiyah di berbagai bidang kehidupan.

Bentuk penerimaan dan harapan ini, sepertinya telah melampaui berbagai kecurigaan, keterasingan dan ketakutan yang pernah hinggap di ruang pikiran dan perasaan masyarakat terhadap para aktifis tarbiyah. Sesuatu yang kita temukan pada sepuluh atau bahkan dua puluh tahun lalu. Banyak sekolah, kampus, masjid dan kantor-kantor telah menjadikan tarbiyah sebagai program resmi mereka. Tentu saja dalam berbagai kemasan dan bentuk yang berbeda-beda. Kalau dulu, para aktifis mendatangi orang per-orang untuk menawarkan tarbiyah, sekarang masyarakat seakan antri menunggu para aktifis yang mau mentarbiyah mereka.

Hal menggembirakan ini tentu saja patut kita syukuri. Kebahagiaan seorang da’i adalah ketika menemukan masyarakat menerima seruannya, dan mengikuti jalan Islam dalam kehidupannya. Syukur kita kepada Allah SWT menunjukkan keikhlasan amal yang akan terus melahirkan kekuatan motivasi untuk berkembang. Dan keikhlasan, pada akhirnya akan menjadi kunci terbukanya pintu ridha dan pertolongan dari Allah SWT. Rasa syukur pun harus kita berikan ketika kader-kader tarbiyah ini mendapatkan penerimaan dan penghargaan yang baik di tengah masyarakat, karena kebaikan Islamnya. Termasuk, ketika penerimaan dan penghargaan masyarakat itu berbentuk hal-hal materiil. Sesuatu yang pada gilirannya akan memperkaya sarana-sarana kekuatan da’wah untuk mengembangkan aktifitas tarbiyahnya.

Rasa syukur kita kali ini, tentu saja bagian dari mata-rantai sikap syukur yang tak henti-hentinya sejak da’wah ini memulai nasy’ah (Pembentukan)-nya. Pada awal mihwar tanzhimi, kebersamaan kita dalam tarbiyah dan da’wah dirasakan seperti hidayah dan ni’mat Allah yang membawa kita keluar dari kelamnya kegelapan jahiliyah menuju ruang baru Islam yang terang-benderang. Ada semangat kuat untuk membedakan diri. Dan keterasingan menjadi sebuah keberuntungan dalam benak dan perasaan para kader tarbiyah.

Ruang perbedaan dan keterasingan antara kader tarbiyah dan masyarakat pada masa itu, harus dibayar dengan pengorbanan. Sekian puluh atau ratus akhwat muslimah dikeluarkan dari sekolah atau kampus, lantaran jilbab panjangnya. Sederetan anak muda tidak lagi menjadi anak kesayangan mami dan papi, lantaran fikrah baru Islam yang diyakininya. Berjilid-jilid kisah semacam ini bisa kita himpun dari para saksi da’wah yang masih istiqamah di jalan-Nya.

Salah satu nasyid yang dihafal adalah “Ghuraba” atau “Orang-orang yang Asing”. Dan salah satu hadits yang sangat dihafal dengan fasih adalah:

“Islam pertama kali datang asing, dan akan kembali menjadi asing. Maka beruntunglah orang-orang yang asing. Yaitu mereka yang memperbaiki sunnahku setelah manusia merusaknya.”

Kebenaran tidak akan pernah bisa dipadamkan, sekalipun pengikutnya ditekan atau bahkan dimusnahkan.

Demikianlah, deretan dan kumpulan “orang-orang asing” justru semakin banyak. Sejak pertengahan tahun 70-an, para pendekar pembaharuan Islam meneriakkan desakralisasi dan desimbolisasi Islam. Mereka menyerang jilbab dan jenggot, misalnya. Arus besar yang muncul, justru parade akhwat muslimah berjilbab dan kumpulan pemuda berjenggot. Kalimat salam menjadi nada merdu yang menghiasi bis-bis kota, jalan-jalan, koridor sekolah, gerbang kampus dan rumah-rumah kontrakan dimana dua aktifis tarbiyah atau lebih bertemu satu-sama lain. Arus yang tidak bisa dibendung dan bahkan menghempaskan berbagai buih kampanye sekulerisasi Islam ke tepian pantai. Villa-villa mewah di kawasan wisata pegunungan dan ruang-ruang tamu beralas tikar tanpa sofa berukuran 3×3 meter, menjadi saksi hidup bagaimana riak-riak ombak itu digerakkan dan lalu menghimpun dirinya menjadi arus besar yang sangat dahsyat.

Nafas syukur semakin menguat, ketika da’wah meluaskan langkahnya ke dalam mihwar sya’bi. Ada misi besar yang diamanatkan da’wah kepada para kader tarbiyah sekitar tujuh tahun lalu. Yaitu mendatangi sanak-keluarga, kerabat, handai-taulan dan masyarakat luas untuk mendengar dan menerima seruan da’wah Islam. Doktrin yang ditanamkan ikut berkembang. “Anda istimewa” dan bukan “Anda berbeda”. Allah SWT – melalui da’wah ini – telah menganugerahkan keistimewaan aqidah, fikrah dan manhaj kepada para kadernya. Misi besar dalam mihwar sya’bi adalah menebarkan keistimewaan Islam itu kepada masyarakat seluas-luasnya. Kader tarbiyah bukan lagi Ashabul-Kahfi yang sedang ditidurkan Allah di dalam gua, tetapi mereka yang keluar dari gua untuk menemui masyarakat yang lama ditinggalkannya.

“Dan demikianlah, Kami mempertemukan manusia dengan mereka, agar manusia itu mengetahui bahwa janji Allah itu benar…” (Al-Kahfi:21)

Ada begitu banyak campuran rasa menghiasi dada setiap kader tarbiyah saat itu. Perasaan ragu, waspada, sungkan sampai rasa bahasa yang berbeda. Tetapi, alhamdulillah, Allah SWT menunjukkan keistimewaan Islam yang mereka miliki. Masyarakat ta’jub dan dengan sangat lahap mengkonsumsi berbagai kebaikan yang dimiliki para kader tarbiyah. Menjawab respon yang luar biasa, para kader da’wah pun lebih mengorganisir amalnya melalui berbagai wajihat dan muassasat. Ada yang bergerak di bidang pendidikan, pelayanan da’wah, sosial dan ekonomi. Kredibilitas lembaga akhirnya ikut mendongkrak kredibilitas personilnya. Sejumlah kader da’wah mulai dikenal sebagai public figure.

Prestasi dan gelar akademik yang mulai diperhatikan kembali, ikut mengakselerasi dan mengeskalasi posisi publik kader-kader da’wah di tengah masyarakatnya.

Tarbiyah sebagai Semangat Zaman

Demikianlah, dua fase awal da’wah – mihwar tanzhimi dan mihwar sya’bi – dilalui dengan semangat zaman untuk mentarbiyah umat. Daurah-daurah rekrutmen yang dilakukan hampir di setiap akhir pekan, menjadi sarana efektif untuk membangkitkan kesadaran umat dan membalikkan orientasi hidup mereka. Halaqah ammah dan halaqah khashshah menghiasi malam-malam dan siang, di mana ribuan spidol whiteboard menuliskan kalimat-kalimat Islam setiap harinya. Sebuah irama yang terus bergema tak pernah henti. Persis ungkapan nabi Nuh as:

“Ya Rabbi, sesungguhnya aku telah mendakwahi kaumku malam dan siang.” (Nuh: 5).

Saat-saat liqa’ tarbawi merupakan yang paling dirindukan. Rasa haus akan ilmu, kerinduan bertemu sesama ikhwah atau sesama akhwat, berbagi masalah dan pengalaman dengan sang murabbi atau murabbiyah, dan pulang kembali ke rumah dengan dada yang penuh dengan keindahan iman dan kesempurnaan tawakal kepada Allah SWT. Enam hari berikutnya, adalah hari-hari da’wah dan tarbiyah. Sang mutarabbi pada sisa enam hari berikutnya menjelma sebagai murabbi dan da’i bagi umat. Ilmu dan pemahaman yang didapatkan dalam liqa tarbawi kemarin, telah menjadi tema berbagai liqa’at tarbawi pada keesokan harinya. Merekalah sosok-sosok Rabbaniyyun.

“Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani. Karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali Imran: 79).

Tidak ada keraguan sedikitpun untuk menyampaikan ilmu Islam kepada mad’uwin atau obyek da’wah. Meski usia mereka muda, bukan lulusan pesantren dan sebagian besar belum menguasai bahasa Arab, namun ada “izzah”, keyakinan dan kebanggaan akan fikrah Islam yang mereka milika. Ada “hamasah”, semangat menggelora untuk mengamalkan Islam dan menyerukannya kepada orang lain. Dan ada “ghirah”, kecemburuan dan semangat pembelaan terhadap Islam yang diabaikan oleh umatnya sendiri.

Inilah tiga unsur yang menghiasi militansi tarbiyah dan da’wah mereka pada tingkat individu. Izzah, hamasah dan ghirah Islamiyah. Ketiga hal ini tidak lahir kecuali dari mata air keimanan yang jernih, lautan pemahaman yang luas dan gelombang keikhlasan yang tidak pernah surut. Militansi individu semakin diperkokoh dengan semangat keterikatan (ruhul-irtibath) antar anggota dalam sebuah halaqah, semangat persaudaraan (ruhul-ukhuwah) yang terpancar dari cahaya wajah-wajah yang mudah saling mengenali, walaupun belum pernah berjumpa sebelumnya. Serta semangat kerjasama (ruh amal jama’i) untuk menopang berbagai tanggungjawab dan beban da’wah melalui semangat saling memberi dan berkorban (ruhul badzl wat tadh-hiyah). Semua ini menjadikan himpunan mereka sebagai bangunan yang kokoh dan saling menopang (al-bunyan al-marshush). Firman Allah:

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur rapi, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (As-Shaf: 4).

Rahasia Sukses Tarbiyah

Apa yang menjadi rahasia kesuksesan tarbiyah dalam melahirkan itu semua?

Yang pertama dan paling utama, adalah istiqamah.

Yang menghiasi jiwa para du’at dan kader tarbiyah dalam melewati putaran roda da’wah –yang harus mendaki bukit terjal (aqabah)– adalah

- istiqamah dalam hidayah,

- istiqamah dalam keikhlasan,

- istiqamah dalam keta’atan dan

- istiqamah dalam kesabaran.

Inilah hal terberat bagi setiap da’i dan bahkan nabi. Ayat yang membuat nabiyullah Muhammad SAW berubah rambutnya, adalah perintah untuk istiqamah.

“Maka istiqamahlah (kamu) sebagaimana yang Aku perintahkan…” (Hud: 112).

Dan inti dari istiqamah adalah kesabaran.

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-Nya di pagi dan senja hari, dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28).

Dalam perjalanan panjang da’wah dan tarbiyah ini, istiqamah dibangun melalui tarbiyah imaniyah yang terus-menerus, baik secara jama’i maupun dzati (mandiri). Liqa’ tarbawi sangat dipenuhi dengan suasana ruhiyah dan peribadahan (munakh ruhi wa ta’abbudi), dan berbagai aktifitas jama’i untuk tarqiyah ma’nawiyah dan tazkiyatun-nafs dilakukan secara periodik dan konsisten. Kemudian, ditopang oleh suasana saling menasehati (munakh tanashi) dalam kebenaran (bil-haq), dalam kesabaran (bis-shabr) dan dalam kasih-sayang (bil-marhamah).

Rahasia sukses kedua adalah disiplin dalam tanggung-jawab (indhibath bil-mas’uliyah).

Pada masa-masa itu kita akan menemukan seorang ikhwah yang sangat menyesal dan memiliki rasa bersalah yang dalam, ketika datang terlambat ke halaqah. Atau ketika ia udzur, esok harinya ia sibuk mendatangi saudaranya yang lain hanya untuk menyalin materi yang diberikan. Juga begitu banyak para murabbi yang meninggalkan berbagai urusan pribadi dan keluarganya, karena ia harus mengisi halaqah yang secara rutin dilakukan.

“Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (At-taubah: 24).

Membolos bagi seorang murabbi, sepertinya melemparkan sebuah amanah sebesar gunung Uhud.

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfal: 27).

Bila kita menemukan ada mutarabbi yang punya ongkos pas-pasan untuk hadir dalam halaqah, tidak sedikit kita temukan, murabbi yang harus pulang berjalan kaki – karena tidak tersisa lagi uang sesenpun. Bukan karena para mutarabbi tidak membantu, tetapi bahkan sang murabbi tidak pernah menampilkan wajah dirinya sedang mengalami kesulitan di hadapan para mutarabbinya.

“… orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena (mereka) memelihara diri dari meminta-minta…” (Al-Baqarah: 272)

Tanggungjawab yang berangkat dari kesadaran akan amanah da’wah ini, menjadi tradisi yang diwariskan para murabbi kepada mutarabbinya. Nyatanya, semakin mereka disiplin pada tanggungjawab da’wah dan tarbiyah, semakin Allah memudahkan semua urusan mereka. Dan bahkan, seringkali Allah menganugerahkan jalan keluar yang tidak disangka-sangka atas berbagai kesulitan yang dihadapi.

“Dan bersabarlah, karena Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Huud: 115)

Rahasia ketiga, adalah kemenyeluruhan dalam peran tarbiyah (at-takamuliyah fid-daur at-tarbawi).

Seorang murabbi atau murabbiyah –ketika mentarbiyah mutarabbinya– tidak hanya memerankan diri sebagai seorang guru atau muwajjih yang menyampaikan ilmu-ilmu Islam. Tetapi pada saat bersamaan, ia menjadi seorang syaikh dalam memelihara dan meningkatkan ruhiyah dan ma’nawiyah mutarabbinya. Ketika menghadapi masalah-masalah yang dialami sang mutarabbi, ia menjadi bapak atau ibu (walid) bagi mutarabbinya. Dengan penuh kasih-sayang dan kesabaran, ia membimbing sang anak untuk mampu menyelesaikan persoalan-persoalannya. Memuji keberhasilannya dan memotivasi untuk bangkit dari kegagalannya. Ketika berada di medan da’wah dan amal jama’i, ia berperan sebagai pemimpin (qaid) yang ikhlas, bijak dan juga tegas. Ia tahun kapan harus berdiskusi dan kapan harus instruksi. Ia buka ruang partisipasi dan syura untuk menghasilkan yang terbaik. Ia senantiasa mengambil keputusan setelah memohon taufik dan hidayah dari Allah SWT. Dan ketika ia sedang rihlah atau dalam suasana santai dengan para mutarabbinya, ia menjadi teman bicara dan bermain yang mengasikkan.

Kemenyeluruhan peran-peran tarbiyah inilah yang telah menghasilkan kader-kader terbaik dari kalangan as-sabiqunal awwalun dan juga generasi berikutnya. Dengan ini, setiap mad’u atau mutarabbi merasa nyaman dalam rumah tarbiyah mereka, memiliki semangat penerimaan (ruhul-istijabah) yang kuat terhadap segala arahan dan bimbingan dari sang murabbi tercinta. Sehingga, sebentar saja ada di rumah tarbiyah, mereka mengalami perubahan kepribadian yang cepat (qabil lit-taghyir) dan selanjutnya mereka keluar dari rumah tarbiyah sebagai penyeru perubahan (anashir taghyir).

Menyiapkan Anashir Taghyir

Adalah tadbir Rabbani yang penuh dengan hikmah Rabbaniyah, ketika tarbiyah ini menanam bibit-bibit awalnya di kalangan pelajar dan mahasiswa. Masyarakat muslim negeri ini sebagian besarnya adalah kaum ummiyyun, orang-orang yang jahlu ‘anil-Islam atau tidak memahami agamanya.

“Dan di antara mereka ada orang-orang ummiyyun, tidak memahami al-Kitab, kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (Al-Baqarah: 78).

Secara sosio-politis, gerak kehidupan mereka sangat ditentukan oleh elit-elit penguasanya. Mereka menggiring masyarakatnya kepada kejahiliyahan, sebagai sesuatu yang dipandang sebagai jalan kebaikan.

“Fir’aun berkata: Aku tidak mengemukakan kepadamu melainkan apa yang aku pandang baik. Dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.” (Al-Mu’min: 29)

Sehingga, baik-buruknya negeri ini dan gerak perubahan di masyarakatnya akan sangat ditentukan oleh para elit masyarakatnya. Ini merupakan fenomena zaman berbagai umat terdahulu dan menjadi bagian dari sunnah perubahan.

Para pemuda yang terdidik adalah calon-calon pemimpin di masa depan. Sehingga, secara historis, apa yang ditanam sejak awal oleh tarbiyah adalah menginvestasikan calon-calon pemimpin bagi proses perubahan besar di negeri ini. Mereka adalah kaum yang mewarisi sikap kritis nabi Ibrahim.

“Dan ingatlah di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar: Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” (Al- An’am: 74).

Mereka juga kaum yang mewarisi keluasan ilmu dan sikap penjagaan diri yang dimiliki nabi Yusuf. Dan mereka juga tampil sebagai sosok-sosok Musa baru yang kuat, berani dan bisa dipercaya.

Perjalanan waktu, membawa mereka untuk menjadi bagian dari masyarakat profesional yang bekerja di berbagai sektor pemerintahan, bisnis dan industri. Sebagian lagi tampil sebagai akademisi dan intelektual yang memberi warna baru bagi dunia pendidikan negeri ini. Kepedulian sosial mereka telah melahirkan berbagai wajihat dan muassasat yang bekerja bagi pelayanan umat dan berperan sebagai agen-agen perubahan sosial. Ketika mereka menikah, berkeluarga dan memiliki keturunan, mereka juga menjadi bagian penting dari masyarakat sosialnya. Kehadiran mereka bukan sekedar pelengkap, tetapi menjadi subyek penting bagi gerak-dinamika masyarakatnya. Banyak diantara mereka menjadi pengurus masjid, pengelola lembaga-lembaga pendidikan atau bahkan ada yang menjadi ketua RT/RW.

Calon-calon pemimpin masa depan negeri ini telah menyebar ke berbagai sendi umat, dan nyatanya mereka senantiasa menjadi rujukan (marja’) bagi masyarakatnya. Kredibilitas moral dan sosial yang dimiliki, telah membuka jalan bagi mereka untuk berperan sebagai pemimpin masyarakatnya (qiyadatul-mujtama’). Keberadaan mereka diberbagai segmen dan lini masyarakat inilah, yang menghasilkan berbagai manuver (munawarah) dan perluasan (tausi’ah) da’wah yang spektakuler. Tarbiyah –pada titik ini– telah menjalankan tugas pentingnya, melahirkan anashir taghyir yang akan melakukan misi qiyadatul-mujtama’.

Momentum dan Tugas Perubahan

Kini –atas izin Allah SWT– tarbiyah berada pada mihwar muassasi. Da’wah ini telah mentransformasikan dirinya sebagai Hizbud-Da’wah di tengah-tengah kancah perubahan pada masa transisi (ahdul-intiqal) yang diwarnai iklim keterbukaan dan kompetisi. Bagi para abnaa at-tarbiyah, terbentang sebuah lahan amal yang sangat luas dan menantang. Inilah lahan jihad yang dijanjikan Allah SWT, untuk membuktikan kebenaran iman dan janji kita. Di lahan luas ini, juga bertebaran para penyeru kebatilan yang bersemangat untuk menarik umat dari lubang kegelapan lama kepada lubang kegelapan yang baru. Kemenangan hanya akan diraih oleh orang-orang yang sungguh-sungguh beramal dan berjihad di jalan-Nya. Bila tidak, tunggulah saat kehancuran.

“Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfal: 73)

Apa sesungguhnya tugas besar yang ada di pundak abnaa at-tarbiyah sekarang ini? Ketahuilah, ada empat tugas besar dihadapan kita semua saat ini. Masa depan Islam di negeri ini ditentukan pada kemauan dan kemampuan kita merealisasikan keempatnya. Tidak ada tempat bagi orang yang ragu, dan tidak ada jalan bagi orang yang berlambat-lambat. Cukuplah sahabat Ka’ab bin Malik sebagai pelajaran berharga bagi kita!

1. Tugas kita yang pertama, terlibat sekuat tenaga untuk membebaskan umat dari belenggu kejahiliyahan dan kazhaliman politik. Momentum perubahan tidak akan berulang dua kali dalam waktu yang sama. Daud muda telah menemukan momentum terbaiknya ketika dengan tangan kecilnya mampu merobohkan raja Jalut dan menghancurkan seluruh sendi-sendi kekuatan dan kekuasaannya.

2. Tugas kedua, memenuhi arus negeri ini dengan solusi Islam, bukan saja pada tataran opini dan wacana, tetapi sampai tingkat praksis dan aplikasi. Hampir seluruh tatanan masyarakat dan bangsa ini telah mencapai usia rapuhnya atau bahkan telah mati. Umat membutuhkan sesuatu yang baru yang bisa menyelamatkan mereka. Pelajar SLTP yang mulai hobi tawuran butuh solusi konkrit. Pelajar SMU yang terjerat miras dan narkoba butuh solusi segera. Mahasiswa yang gandrung seks bebas butuh solusi jitu. Kaum pekerja yang lama tereksploitasi oleh kaum majikan butuh pembelaan dan pemberdayaan. Pelaku ekonomi kecil dan menengah yang terhimpit konglomerasi dan terinjak birokrasi butuh dukungan politik dan keadilan ekonomi. Rakyat kecil yang semakin menjerit karena harga yang melangit, rumah yang tergusur, pekerjaan yang hilang dan kriminalitas yang mengancam. Mereka membutuhkan orang-orang yang memihak dan membela mereka atas nama kebenaran dan keadilan. Organisasi-organisasi yang saling sikut dan gembos antar elit pemimpinnya, telah menyeret massa pendukungnya ke dalam arena tawuran massal. Mereka butuh ruh baru yang bisa menyatukan dan mendamaikan dirinya.
Jawaban atas semua ini sudah sampai pada tataran aksi, bukan lagi diskusi. Setiap kader da’wah dan tarbiyah adalah orang-orang cerdas yang mampu menggerakkan komunitas di sekelilingnya, untuk bersama-sama melakukan perubahan dan perbaikan. Jangan biarkan umat menanti terlalu lama, hingga akhirnya mereka dituntun oleh orang yang buta. Da’wah ini memiliki puluhan ribu kader dengan beragam ilmu, kemampuan, profesi dan sarana. Organisasi da’wah ini pun memiliki seperangkat lini-lini organisasi yang dipersiapkan untuk menjadi ujung-tombak perubahan di berbagai bidang.

“Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu. Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui.” (Az-Zumar: 39).

3. Tugas ketiga adalah mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk menerima Islam dan menjadi pendukung da’wah ini. Ingatlah, Rasulullah SAW akan bangga dengan umatnya yang banyak. Jalan demokrasi akan memberikan kekuasaan kepada mereka yang memiliki pendukung yang banyak, meskipun perubahan biasanya dilakukan hanya sekelompok kecil orang. Untuk ini, pekerjaan pertama kita adalah da’i. Pekerjaan kedua kita adalah murabbi, dan pekerjaan ketiga kita adalah pemimpin. Setiap waktu, kita seru manusia kepada Islam, kita tarbiyah mereka untuk menjadi sosok muslim sejati, lalu kita pimpin mereka untuk meraih kemenangan dan kebahagiaan. Setelah itu, kita tidak punya pekerjaan lain hingga Allah SWT membebaskan kita dari semua pekerjaan itu di surga kelak. Insya Allah!

4. Dan terakhir, tugas keempat kita adalah terus-menerus menyiapkan diri dan mengembangkan segala kemampuan yang dibutuhkan oleh da’wah. Tarbiyah adalah madrasah tempat kita membina diri. Bagi mereka yang menyadari dan memahami ini semua, sikap apa yang akan diberikan terhadap tarbiyah? Hanya satu jawaban, kokohkan kembali tarbiyah. Suatu umat tidak akan pernah bangkit untuk kedua kali, selama mereka tidak mampu memenuhi syarat-syarat yang dimiliki kebangkitannya yang pertama. Dalam kaidah da’wah kita; “Pemimpin tidak muncul, kecuali dilahirkan oleh tarbiyah”.

Sekali lagi, rahasia kesuksesan tarbiyah di mihwar tanzhimi dan mihwar sya’bi adalah: istiqamah, indhibath bil-mas’uliyah dan at-takamuliyah fid-daur at-tarbawi. Ketiga hal itu pula yang sangat dibutuhkan pada saat ini.

Semoga Allah SWT menunjuki kita dalam kebenaran dan dalam kesabaran. Amin.

On Label: | 0 Comment


Oleh : Drs. Ahmad Yani
Sumber : dakwatuna.com

Pada masyarakat Islam, persatuan dan kesatuan atau lebih sering disebut dengan ukhuwah Islamiyah merupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar, apalagi hal ini merupakan salah satu ukuran keimanan yang sejati. Karena itu, ketika Nabi Saw berhijrah ke Madinah, yang pertama dilakukannya adalah Al-Muakhah, yakni mempersaudarakan sahabat dari Makkah atau muhajirin dengan sahabat yang berada di Madinah atau kaum Anshar. Ini berarti, ketika seseorang atau suatu masyarakat beriman, maka seharusnya ukhuwah Islamiyah yang didasari oleh iman menjelma dalam kehidupan sehari-hari, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” [QS Al-Hujurat (49):10]

Satu hal yang harus diingat bahwa, ketika ukhuwah islamiyah hendak diperkokoh atau malah sudah kokoh, ada saja upaya orang-orang yang tidak suka terhadap persaudaraan kaum muslimin, mereka berusaha untuk merusak hubungan di antara sesama kaum muslimin dengan menyebarkan fitnah dan berbagai berita bohong. Dalam kehidupan umat Islam, kita akui bahwa ukhuwah Islamiyah belum berwujud secara ideal, namun musuh-musuh umat ini tidak suka bila ukhuwah itu berwujud, mereka terus berusaha menghambatnya. Karena itu, setiap kali ada berita buruk, kita tidak boleh langsung mempercayainya, tapi lakukan tabayyun atau cek dan ricek terlebih dahulu kebenaran berita itu. Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu.” [QS Al-Hujurat (49): 6]

Asbabun nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut di atas adalah, suatu ketika Al-Harits datang menghadap Nabi Muhammad saw., beliau mengajaknya masuk Islam, bahkan sesudah masuk Islam ia menyatakan kemauan dan kesanggupannya untuk membayar zakat. Kepada Rasulullah, Al-Harits menyatakan, “Saya akan pulang ke kampung saya untuk mengajak orang untuk masuk Islam dan membayar zakat dan bila sudah sampai waktunya, kirimkanlah utusan untuk mengambilnya.” Namun ketika zakat sudah banyak dikumpulkan dan sudah tiba waktu yang disepakati oleh Rasul, ternyata utusan beliau belum juga datang. Maka Al-Harits beserta rombongan berangkat untuk menyerahkan zakat itu kepada Nabi.

Sementara itu, Rasulullah saw. mengutus Al-Walid bin Uqbah untuk mengambil zakat, namun di tengah perjalanan hati Al-Walid merasa gentar dan menyampaikan laporan yang tidak benar, yakni Al-Harits tidak mau menyerahkan dana zakat, bahkan ia akan dibunuhnya. Rasulullah tidak langsung begitu saja percaya, beliau pun mengutus lagi beberapa sahabat yang lain untuk menemui Al-Harits. Ketika utusan itu bertemu dengan Al-Harits, ia berkata, “Kami diutus kepadamu.” Al-Harits bertanya, “Mengapa?” Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Al-Walid bin Uqbah, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat bahkan mau membunuhnya.”

Al-Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang datang kepadaku.” Maka ketika mereka sampai kepada Nabi saw., beliau pun bertanya, “Apakah benar engkau menahan zakat dan hendak membunuh utusanku?” “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah ayat itu.

Surat Al Hujurat ayat 6 di atas menggunakan kata naba’ bukan khabar. M. Quraish Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi halaman 262 membedakan makna dua kata itu. “Kata naba’ menunjukkan berita penting, sedangkan khabar menunjukkan berita secara umum. Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa berita yang perlu diperhatikan dan diselidiki adalah berita yang sifatnya penting. Adapun isu-isu ringan, omong kosong, dan berita yang tidak bermanfaat tidak perlu diselidiki, bahkan tidak perlu didengarkan karena hanya akan menyita waktu dan energi.”

Enam Perusak Ukhuwah

Mengingat kedudukan ukhuwah islamiyah yang sedemikian penting, maka memeliharanya menjadi sesuatu yang amat ditekankan. Disamping harus mengecek kebenaran suatu berita buruk yang menyangkut saudara kita yang muslim, ada beberapa hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah bisa tetap terpelihara. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokan) dan jangan pula wanita wanita-wanita mengolok-olokan wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [QS Al-Hujurat (49): 11-12]

Dari ayat di atas, ada enam hal yang harus kita hindari agar ukhuwah islamiyah tetap terpelihara: Pertama, memperolok-olokan, baik antar individu maupun antar kelompok, baik dengan kata-kata maupun dengan bahasa isyarat karena hal ini dapat menimbulkan rasa sakit hati, kemarahan dan permusuhan. Manakala kita tidak suka diolok-olok, maka janganlah kita memperolok-olok, apalagi belum tentu orang yang kita olok-olok itu lebih buruk dari diri kita. Kedua, mencaci atau menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan, apalagi bila kalimat penghinaan itu bukan sesuatu yang benar. Manusia yang suka menghina berarti merendahkan orang lain, dan iapun akan jatuh martabatnya.

Ketiga, memanggil orang lain dengan panggilan gelar-gelar yang tidak disukai. Kekurangan secara fisik bukanlah menjadi alasan bagi kita untuk memanggil orang lain dengan keadaan fisiknya itu. Orang yang pendek tidak mesti kita panggil si pendek, orang yang badannya gemuk tidak harus kita panggil dengan si gembrot, begitulah seterusnya karena panggilan-panggilan seperti itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Memanggil orang dengan gelar sifat yang buruk juga tidak dibolehkan meskipun sifat itu memang dimilikinya, misalnya karena si A sering berbohong, maka dipanggillah ia dengan si pembohong, padahal sekarang sifatnya justru sudah jujur tapi gelar si pembohong tetap melekat pada dirinya. Karenanya jangan dipanggil seseorang dengan gelar-gelar yang buruk.

Keempat, berburuk sangka, ini merupakan sikap yang bermula dari iri hati (hasad). Akibatnya ia berburuk sangka bila seseorang mendapatkan kenimatan atau keberhasilan. Sikap seperti harus dicegah karena akan menimbulkan sikap-sikap buruk lainnya yang bisa merusak ukhuwah islamiyah. Kelima, mencari-cari kesalahan orang lain, hal ini karena memang tidak ada perlunya bagi kita, mencari kesalahan diri sendiri lebih baik untuk kita lakukan agar kita bisa memperbaiki diri sendiri. Keenam, bergunjing dengan membicarakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu tidak menyukainya, apalagi bila hal itu menyangkut rahasia pribadi seseorang. Manakala kita mengetahui rahasia orang lain yang ia tidak suka bila hal itu diketahui orang lain, maka menjadi amanah bagi kita untuk tidak membicarakannya.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ketika ukhuwah islamiyah kita dambakan perwujudannya, maka segala yang bisa merusaknya harus kita hindari. Bila ukhuwah sudah terwujud, yang bisa merasakan manfaatnya bukan hanya sesama kaum muslimin, tapi juga umat manusia dan alam semesta, karena Islam merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Karenanya mewujudkan ukhuwah Islamiyah merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan ini.

On Label: | 0 Comment

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.