Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi


MARS RISMA BARU

Berlandaskan Alqur’an dan Sunnah
Kita Bersatu Berukhuwah Di Risma
Dengan Keikhlasan Dan Kejujuran
Mari Bekerja Berjuang Dan Berjihad 2X


REF
Bukan Mengejar Pangkat Dan Harta
Bukan Mencari Uang Dan Kekayaan
Demi Berkhidmat Kepada Bangsa
Untuk mendapat Rido Ilaahi

Teman Di Risma Kita Jadikan
Saudara Sahabat Yang Sejati
Bersatu Teguh Dan Istiqamah
Miliki Sifat Mukmin Mulia 2x


Bertolong Bantu Karena Allah
Contohi Peribadi Rasul
Berjuanglah Bersama Risma
Untuk Agama Negara Dan Bangsa

Bersama Risma Kita Berjihad
Ikuti Sunnah Rasull
Berjuanglah ....Berkorbanlah,,,,,
Semoga Amal Diterima Allah
DALAM IKATAN Risma WikaRya


On Label: | 2 Comments

“Dan Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka katakanlah sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka memenuhi (panggilan/perintah)Ku, dan beriman kepadaKu agar mereka mendapat petunjuk (bimbingan)”. (Al-Baqarah: 186)


Ayat ini meskipun tidak berbicara tentang Ramadhan seperti pada tiga ayat sebelumnya (Al-Baqarah: 183-185) dan satu ayat sesudahnya (Al-Baqarah: 187), namun keterkaitannya dengan Ramadhan tetap ada. Jika tidak, maka ayat ini tidak akan berada dalam rangkaian ayat-ayat puasa seperti dalam susunan mushaf. Karena setiap ayat Al-Qur’an menurut Imam Al-Biqa’I merupakan satu kesatuan (wahdatul ayat) yang memiliki korelasi antar satu ayat dengan yang lainnya, baik dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya. Disinilah salah satu bukti kemu’jizatan Al-Qur’an.
Kedekatan Allah dengan hambaNya yang dinyatakan oleh ayat di atas lebih khusus daripada kedekatan yang dinyatakan dalam surah Qaaf ayat 16: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” yang bersifat umum. Kedekatan Allah dengan hambaNya dalam ayat di atas merupakan kedekatan yang sinergis, kedekatan yang aplikatif, tidak kedekatan yang hampa dan kosong, karena kedekatan ini terkait erat dengan doa dan amal shalih yang berhasil ditunjukkan oleh seorang hamba di bulan Ramadhan, sehingga merupakan motifasi terbesar yang memperkuat semangat ber Ramadhan dengan baik dan totalitas.
Dalam konteks ini, korelasi ayat doa dan kedekatan Allah yang khusus dengan hambaNya dengan ayat-ayat puasa (Ayatush Shiyam) paling tidak dapat dilihat dari empat hal berikut ini: Pertama, Salah satu dari pemaknaan Ramadhan sebagai Syahrun Mubarok yang menjanjikan beragam kebaikan adalah Syahrud Du’a dalam arti bulan berdoa atau lebih jelas lagi bulan dikabulkannya doa seperti yang diisyaratkan oleh ayat ini. Karenanya Rasulullah saw sendiri menjamin dalam sabdanya: “ Bagi orang yang berpuasa doa yang tidak akan ditolak oleh Allah swt.” (HR. Ibnu Majah). Kondusifitas ruhiyah seorang hamba di bulan Ramadhan yang mencapai puncaknya merupakan barometer kedekatannya dengan Allah yang juga berarti jaminan dikabukannya setiap permohonan dengan modal kedekatan tersebut. Dalam kitab Al-Ma’arif As-Saniyyah Ibnu Qayyim menuturkan: “Jika terhimpun dalam doa seseorang kehadiran dan keskhusyuan hati, perasaan dan kondisi kejiwaan yang tunduk patuh serta ketepatan waktu yang mustajab, maka tidaklah sekali-kali doanya ditolak oleh Allah swt. Padahal di bulan Ramadhanlah kondisi dan situasi ‘ruhiyah’ yang terbaik hadir bersama dengan keta’atan dan kepatuhannya dengan perintah Allah swt.
Kedua, Ungkapan lembut Allah “ Sesungguhnya Aku dekat” merupakan komitmen Allah untuk senantiasa dekat dengan hambaNya, kapanpun dan dimanapun mereka berada. Namun kedekatan Allah dengan hambaNya lebih terasa di bulan yang penuh dengan keberkahan ini dengan indikasi yang menonjol bahwa hambaNya juga melakukan pendekatan yang lebih intens dengan berbagai amal keshalihan yang mendekatkan diri mereka lebih dekat lagi dengan Rabbnya. Padahal dalam sebuah hadits qudsi Allah memberikan jaminan: “Tidaklah hambaKu mendekat kepadaku sejengkal melainkan Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Tidaklah hambaKu mendekat kepadaKu dengan berjalan melainkan Aku akan mendekat kepadanya dengan berlari dan sebagainya”. (Muttafaqun Alaih)
Ketiga, Istijabah (falyastajibu li) yang dimaknai dengan kesiapan hamba Allah untuk menyahut dan melaksanakan setiap panggilanNya merupakan media dikabulkannya doa seseorang. Hal ini pernah dicontohkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw yang menceritakan tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Masing-masing dari ketiga orang tersebut menyebutkan amal shalih yang mereka lakukan sebagai media dan wasilah mereka berdoa kepada Allah. Dan ternyata Allah swt serta merta memenuhi permohonan masing-masing dari ketiga orang itu dengan ‘jaminan amal shalih yang mereka lakukan’. Padahal bulan Ramadhan adalah bulan hadirnya segala kebaikan dan berbagai jenis amal ibadah yang tidak hadir di bulan yang lain; dari ibadah puasa, tilawah Al-Qur’an, Qiyamul Lail, Zakat, infaq, Ifthorus Shoim dan beragama ibadah lainnya. Kesemuanya merupakan rangkaian yang sangat erat kaitannya dengan pengabulan doa seseorang di hadapan Allah swt. Dalam hal ini, Abu Dzar menyatakan: “Cukup doa yang sedikit jika dibarengi dengan kebaikan dan keta’atan seperti halnya garam yang sedikit cukup untuk kelezatan makanan”.
Keempat, Kata ‘la’alla secara bahasa menurut pengarang Tafsir Al-Kasyaf berasal dari kata ‘alla’ yang kemudian ditambah dengan lam di awal yang berarti ‘tarajji’ merupakan sebuah harapan yang langsung dari Zat Yang Maha memenuhi segala harapan. Logikanya, jika ada harapan maka ada semangat, apalagi yang berharap adalah Allah swt terhadap hambaNya sehingga tidak mungkin hambaNya menghampakan harapan Tuhan mereka. Karenanya rangkaian ayat-ayat puasa diawali dengan khitab untuk orang-orang yang beriman: “hai orang-orang yang beriman”. Dalam konteks ini, setiap hamba yang selalu mendekatkan diri dengan Allah tentu besar harapannya agar senantiasa mendapat bimbingan dan petunjuk Allah swt. Demikian redaksi ‘La’alla’ yang selalu mengakhiri ayat-ayat puasa termasuk ayat doa ini, menjadi korelasi tersendiri dalam bentuk keseragaman dengan ayat-ayat puasa sebelum dan sesudahnya ‘La’allakum Tattaqun, La’allakum Tasykurun, La’allahum Yarsyudun, dan La’allahum Yattaqun’.
Demikian pembacaan terhadap satu ayat yang disisipkan dalam rangkaian ayat-ayat puasa. Tentu tidak semata untuk memenuhi aspek keindahan bahasa. Namun lebih dari itu, terdapat korelasi dan hikmah yang patut diungkap untuk memperkaya pemaknaan terhadap Ramadhan yang terus akan mendatangi kita setiap tahun. Karena pemaknaan yang komprehensif terhadap ayat-ayat puasa akan turut mewarnai aktifitas Ramadhan kita yang berdampak pada peningkatan kualitas keimanan kita dari tahun ke tahun. Saatnya momentum special kedekatan Allah dengan hamba-hambaNya di bulan Ramadhan dioptimalisasikan dengan doa yang diiringi dengan amal shalih dan keta’atan kepadaNya.
________________________________________


On Label: | 0 Comment

“Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepadanya (Dzul Qarnain) di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu”. (Al-Kahfi : 84).

Ayat di atas dan ayat anugerah kekuasaan kepada para Nabi pilihan Allah swt lainnya cukup menjadi bukti dan argumentasi yang kuat untuk menjawab mispersepsi atau miskonsepsi yang masih hadir di tengah-tengah umat bahwa kekuasaan sangat bertentangan dengan dakwah. Kekuasaan adalah simbol kediktatoran dan cermin kezaliman, sedangkan dakwah adalah cermin keteladanan dan simbol kasih sayang.
Persepsi negatif ini wajar muncul karena beberapa orang –bisa jadi mayoritas orang- yang diberi kesempatan untuk berkuasa ternyata tidak mampu memanfaatkan kekuasaan itu untuk kemaslahatan dan kesejahteraan bangsa. Malah sebaliknya, kekuasan itu dimanfaatkan untuk mempekaya diri dan justifikasi tindakan kesewenangannya.
Di sisi lain, ada sekelompok orang yang memiliki cita-cita luhur menyebarkan kemasalahatan dan kesejahteraan kepada semua pihak, namun tidak dapat merealisasikannya karena tidak memiliki alat kekuasaan (power).
Dua realitas yang menggejala di tengah umat ini tentunya tidak bisa dijadikan alasan menyalahkan kekuasaan atau memaksakan kekuasaan. Kehadiran kekuasaan dalam konteks dakwah, merupakan sunnatullah yang pernah berlaku kepada umat terdahulu, bahkan melalui manusia unggulan pilihan Allah swt, yaitu para Nabi dan hamba-hamba-Nya yang shalih.
Tentu, anugerah kekuasaan yang Allah swt berikan kepada salah seorang dari hamba-Nya yang sholeh tidak bisa dilepaskan dari misi dakwah menyebarkan ajaran Islam dan menegakkannya di tengah-tengah umat manusia.
Dzul Qarnain yang diabadikan namanya pada ayat di atas merupakan figur penguasa yang sekaligus aktifis dakwah. Ia mampu merealisasikan dakwah dan kekuasaan secara bersamaan. Bahkan dengan kekuasaan yang dimilikinya, ia mampu menghadirkan kemajuan dan kemaslahatan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Al-Qur’an menyuguhkan kisah prestasi positif Dzul Qarnain dalam bidang dakwah dengan kekuasaan yang diraihnya dalam surah Al-Kahfi : 83-98.
Pengabadian kisah dakwah dan kekuasaan Dzul Qarnain oleh Al-Qur’an jelas merupakan petunjuk sekaligus jawaban bahwa sebuah dakwah akan lebih memberikan hasil yang maksimal manakala didukung oleh sarana kekuasaan. Simaklah ketegasan Dzul Qarnain dalam ayat berikut ini,
“Berkata Dzulkarnain: “Adapun orang yang aniaya, maka kami kelak akan mengazabnya, kemudian dia kembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang tidak ada taranya. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami.” (Al-Kahfi: 87-88).
Pernyataan yang demikian tegas ini tentunya tidak akan terlontar kecuali dari seorang penguasa. Dalam hadits Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, Rasulullah saw malah mengawali perubahan kemunkaran itu dengan “biyadihi” yaitu kekuasaan dan kekuatan, barulah langkah di bawah berikutnya dengan lisan dan dengan doa, meskipun termasuk tanda iman yang lemah.
Pada realitasnya, dengan kekuatan dan kekuasaan yang Allah swt anugerahkan, justru memudahkan Dzul Qarnain untuk melakukan ekspansi dakwah ke seluruh penjuru bumi dari belahan timur hingga ke belahan barat, sekaligus mendapatkan ketaatan umat manusia, yang selanjutkan ia manfaatkan untuk melancarkan program pemberdayaan, pembangunan dan penyejahteraan. Bahkan dengan kekuasaannya yang besar, memudahkannya untuk merealisasikan apapun nantinya yang dapat memajukan dan mensejahterakan kehidupan bersama.
Bukti lain dari Dzul Qarnain yang disebutkan kisahnya dalam surah Al-Kahfi, bahwa ia bukan sekedar penguasa biasa. Ia sekaligus seorang hamba Allah yang sholeh yang tak kenal lelah melakukan safari dakwah untuk mensosialisasikan ajaran Allah.
Allah swt menggambarkan jaulah dakwahnya yang cukup padat ke berbagai penjuru dunia yang tidak bisa dicapai oleh orang lain, “Kemudian dia menempuh jalan (yang lain). Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur) dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah. dan sesungguhnya ilmu Kami meliputi segala apa yang ada padanya. (Al-Kahfi: 89-91).
Dalam konteks kekuasaan sebagai bagian dari sarana dakwah Islam, nabi Yusuf as sangat layak untuk dijadikan contoh nyata bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang da’i akan memuluskan kerja dan tujuan dakwah. Al-Qur’an menyebutkan permintaan Nabi Yusuf as kepada raja Mesir, “Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf : 55).
Permintaan ini disampaikan manakala raja menawarkan jabatan kepadanya, “Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku.” Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami.” (Yusuf : 54).
Peluang dan kesempatan yang terbuka di depannya tidak disia-siakan lagi oleh Nabi Yusuf as demi kepentingan dakwah.
Ayat meminta jabatan oleh nabi Yusuf as di sini harus difahami dari sudut pandang yang positif bahwa sesungguhnya Nabi Yusuf as tidak meminta jabatan melainkan yang diyakininya dapat mengatasi krisis di masa depan. Jabatan yang diyakini akan mampu melindungi rakyatnya dari kelaparan dan kematian serta melindungi Negara dari kehancuran. Jabatan yang akan diembannya justru memiliki konsekuensi dan tanggung jawab yang berat di masa paling sulit ketika krisis terjadi. Nabi Yusuf as harus bertanggung jawab atas kecukupun stok makanan bagi seluruh bangsa Mesir dan bangsa-bangsa sekitarnya selama tujuh tahun ke depan, dimana selama itu tidak ada kegiatan pertanian dan peternakan.
Memang suatu jabatan yang tidak menguntungkan bagi Yusuf as. namun justru dengan kekuasaan tersebut, nabi Yusuf as dapat lebih leluasa bergerak dan berdakwah merealisasikan tujuan dan misi Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin,
“Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (Yusuf : 56).
Sayid Qutb mengomentari kekuasaan yang telah diraih oleh nabi Yusuf di Mesir dalam kaca mata dakwah bahwa sesungguhnya penghalang terbesar bagi peralihan sebuah masyarakat dari jahiliyah menuju Islam adalah keberadaan para thagut (penguasa) yang enggan berhukum kepada undang-undang Allah swt. Ditambah dengan keberadaan bangsa yang masih taat dan tunduk kepada thagut. Di sini, nabi Yusuf as melihat kondisi yang memungkinkannya untuk menjadi seorang pemimpin yang ditaati dan bukan tunduk kepada norma jahiliyah. Sehingga dengan kekuasaanya itulah, ia bebas berdakwah dan menyerbarkannya di tengah masyarakat Mesir pada masa pemerintahannya.
Demikianlah tabiat dakwah Islam. Berawal dari individu, kemudian diikuti oleh sekelompok orang. Lantas kempulan ini begerak melawan jahiliyah dengan segala resiko sehingga Allah swt memutuskan dengan hukum-Nya antara orang-orang yang tunduk kepada-Nya dengan mereka yang ingkar dan durhaka. Lalu Allah swt menganugerahkan kepada mereka kekuatan dan kekuasaan di muka bumi, sehingga orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Allah swt.
Nabi lain yang dianugerahkan oleh Allah swt kekuasaan adalah nabi Sulaiman as. Bahkan kekuasaan beliau adalah kekuasaan yang luar biasa tidak
terbatas dan tidak akan berulang untuk kedua kalinya. Kekuasaan yang diterima Sulaiman as adalah berawal dari permintaannya kepada Allah swt,
”Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (Shaad : 35).
Pemahaman yang paling dekat dengan ayat ini adalah bahwa Nabi Sulaiman as memohon kepada Allah kekuasaan yang istimewa yang tidak akan ada lagi setelahnya. Karena hanya dengan kekuasaan seperti itulah, kerajaan-kerajaan di sekitarnya akan tunduk dan menerima seruan dan dakwah nabi Sulaiman as.
Dengan kekuasaan yang meliputi seluruh makhluk Allah swt ayang tidak terbatas itulah, nabi Sulaiman melakukan dakwahnya, sampai akhirnya bergetarlah salah seorang penguasa yang menyembah matahari melihat kekuasaan Sulaiman as yang tidak terhingga. Lantas ia dan seluruh rakyatnya menyatakan keIslamannya.
“Berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (An-Naml : 44).
Jika seorang Nabi yang dijadikan teladan oleh Allah swt dibenarkan untuk berdoa memohon agar diberi kekuasaan dan kekuatan, maka tentunya permohonan itu adalah permohonan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam yang konprehensif. Karena Allah swt tidak mengajarkan sesuatu melainkan untuk kebaikan hamba-hamba-Nya.
Kekuasaan yang telah memberikan kontribusi yang besar kepada dakwah pernah dibangun juga oleh sahabat Umar bin Khattab dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Kesejahteraan dan ketenangan bukan hanya dirasakan oleh umat Islam, tetapi oleh seluruh umat manusia, bahkan hewan pun mendapatkan berkah dari kekuasaan keduanya.
Begitulah, ketika kekuasaan ditangan orang-orang yang sholeh, maka tujuan dakwah dapat direalisasikan dengan sempurna. Dan manakala tujuan dakwah terealisir, maka pada masa yang sama sesungguhnya kemaslahatan dan kepentingan manusia juga terjamin, karena dakwah Islam diarahkan untuk membangun kebaikan kepada sesama. Maha benar Allah dengan firmanNya,
”Sesungguhnya bumi ini akan diwariskan kepada hamba-hamba-Ku yang sholeh”. (Al Anbiya’: 105).
Disinilah urgensi kekuasaan dalam dakwah Islam. Dengan kekuasaan, pintu dan peluang dakwah dan amal sholeh akan lebih terbuka luas. Efektifitas kekuasaan dalam menegakkan dakwah telah terbukti dalam sejarah dakwah para manusia pilihan Allah; Nabi Sulaiman, nabi Yusuf, Dzul Qarnain, bahkan Rasulullah saw sendiri ketika berhasil menguasai dan menaklukkan Mekah, sehingga berbondong-bondong penduduk Mekah memeluk Islam.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”. (An-Nashr: 1-3).
Saatnya kita menjadikan dan memanfaatkan kekuasaan dalam bentuk dan skala apapun sebagai sarana untuk menyempurnakan dakwah Islam sehingga integralitas Islam mampu kita jabarkan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Karena sesungguhnya Islam adalah Din sekaligus Negara (Din Wa Daulah), bukan dipersempit dengan batasan ruang rutinitas ibadah mahdloh –ritual- sehari-hari semata. Allahu A’lam.

On Label: | 0 Comment

dakwatuna.com - Sebagai dai kita bergembira sebentar lagi akan bertemu dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan. Bukan karena kita akan mendapat banyak jadwal ceramah, tapi karena semua aktivitas Ramadhan (ansyithah ramadhaniyah) mendorong kita untuk kembali kepada fitrah.



Kita juga tahu betul bahwa Ramadhan sebagai bulan tarbiyah bukanlah program yang berdiri sendiri. Jika lulus dari program Ramadhan dan kita telah masuk program Allah dalam bentuk tajdid al-fitrah di bulan Syawal (Idul Fitri), program pembekalan ruhul badzl wa tadh-hiyah di bulan Dzulhijah (Idul Adha) sudah menunggu. Di bulan itu kita disiapkan untuk menjadi pribadi yang total dalam berdakwah dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada.
Syakhshiyah (figur) dai yang seperti tersurat dalam ayat 207 Al-Baqarah dan ayat 111 At-Taubah lah yang diinginkan Allah swt. terbentuk di diri kita.
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 207)
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah: 111)
Karena itu, kita sangat berharap nanti saat orang banyak bergembira lantaran meninggalkan Ramadhan, kita justru bersuka cita karena memiliki perbaikan fitrah. Sebab, hanya dengan kefitrahan yang utuhlah, kita akan sanggup menjalani kehidupan ini secara benar sesuai dengan syariat Islam yang Allah turunkan sebagai way of life (lihat Ar-Rum ayat 30). Jika fitrah kita tak utuh, maka daya serap dan aplikasi keislaman kita akan tidak sempurna.
Begitu pula saat Idul Adha tiba. Kebanyakan orang bergembira lantaran mendapat daging yang bisa disate bareng bersama tetangga, kita justru bergembira dengan ikrar kesiapan untuk berkorban secara total dalam berdakwah. Bagi kita, semangat fitrah tanpa pengorbanan bagaikan mesin tanpa bahan bakar. Mesin dakwah Islam tidak akan bergerak tanpa kesiapan memberi dan kesiapan korban di jalan Allah dari diri para penghasungnya.
Karena itu, bagi kita, mempertahankan fitrah dengan melanjutkan tradisi ibadah di bulan Ramadhan –meski dengan intensitas yang mungkin agak berkurang– menjadi kebutuhan. Dalam kerangka pengelolaan dakwah, setidaknya ada lima bentuk kegiatan yang harus kita jaga dalam iklim Ramadhan sepanjang tahun yang kita ciptakan.
Pertama, senantiasa memperhatikan aktivitas intelektual (ansyithah fikriyah). Sebab, memelihara keutuhan fitrah sama artinya dengan merealisasikan ibadah yang terdiri dari dua aktivitas –seperti yang disebut ayat 190 surat Ali Imran–, yaitu tadzakur (dzikir) dan tafakur (berpikir).
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Jadi, keutuhan fitrah bukan hanya dijaga dengan ibadah dalam bentuk dzikir (baca: ibadah ritual), tapi juga dengan tafakur mempelajari rambu-rambu alam semesta hingga sampai pada pemahaman yang mencapai hakikat. Inilah aktivitas yang menjadi kelebihan Bapak kita, Adam, sehingga ia mendapat derajat yang lebih tinggi daripada makhluk-makhluk lain yang lebih senior sekalipun, baik malaikat maupun jin.
Fitrah manusia, orisinalitas keislaman, dan dakwah harus dibangun melalui proses ansyithah fikriyah. Dakwah tidak boleh hanya berorientasi pada ashalah aqidah, fikrah, dan manhaj saja. Sebab, jika ketiganya berlangsung tanpa pengembangan, kita akan terjebak pada kejumudan yang membawa malal (kebosanan) dan futur (kemandegan).
Padahal, kereta dakwah yang kita ada di dalamnya bertujuan untuk membangun sebuah peradaban baru yang menghidupkan nilai-nilai Islam dalam dimensi kekinian. Kita bukan saja ingin membentuk setiap individu dalam masyarakat kita sebagai muslim yang berakidah shahihah, tapi juga lokomotif peradaban baru berdasarkan nubuwah yang dibawa Nabi Muhammad saw. Karena itu, kerja-kerja pikir menjadi tuntutan yang harus dilakukan para dai jika ingin bisa mengendarai peradaban (rukub al-hadharah). Inilah hukum besi sejarah yang tidak bisa ditawar. Itulah tiket yang wajib kita miliki jika ingin menang di kancah pertarungan peradaban.
Dengan fitrah yang senantiasa terjaga keutuhannya dan visi-misi ibadah, seorang dai harus bisa memfungsikan peran kekhilafahan yang Allah swt. bebankan di atas pundaknya. Jadi, seorang dai memang bukan saja harus mampu memahami dinamika sejarah, tapi harus selangkah lebih maju dari isu-isu kemanusiaan, trend peradaban, dan perkembangan sosial-budaya-politik yang tengah terjadi.
Kedua, selalu memperhatikan pengembangan kerjasama dan penataan tatanan dakwah (tathwir amal jama’i wa tanzhimi). Sebagai dai kita harus memiliki al-fahm as-syamil wal iltizam al-kamil (pemahaman dan komitmen paripurna) untuk bisa menggerakkan dakwah dengan konsepsi syumuliyah mutakamilah. Fase-fase dakwah yang terus berkembang pesat, dari fase pembentukan kader, pembentukan keluarga-keluarga Islami, membentuk masyarakat Islami, hingga memperbaiki negeri, menuntut dipenuhinya unsur-unsur penyempurna dalam pendekatan dakwah yang sesuai dengan realitas dunia yang berkembang cepat.
Dakwah tidak bisa lagi hanya melakukan pengkaderan, tapi aktivitas yang beragam sesuai dengan fase dan skup dakwahnya. Namun, dalam fase apa pun, sumber daya penggerak dakwah (dalam bentuk waktu, jumlah kader, dan dana dakwah) selalu lebih sedikit dari yang dibutuhkan. Karena itu, kita harus cerdas mengelolanya dengan membuat prioritas amal jama’i yang tepat, syukur-syukur bisa ikut menggerakan program-program yang menjadi prioritas sekunder.
Dalam aktivitas dakwah yang telah menyentuh fase memperbaiki negara dan skup dakwah dengan spektrum yang luas, tidak lagi sekadar mencetak kader, dakwah memerlukan para pengusung yang siap memikul beban, bukan menjadi beban. Dakwah harus dipikul oleh kumpulan dai-dai sehat yang saling bersinergi memberi dan berkorban, saling membantu, senasib dan sepenanggungan untuk mengobati penyakit yang mengidap di tubuh umat.
Memang betul Rasulullah saw. pernah bersabda, “An-naasu ka ibili mi’ah laa takaadu tajidur rahhilah, manusia itu bagaikan seratus unta, tapi hampir saja dari jumlah yang banyak itu kamu tidak mendapatkan unta rahilah, yang sanggup membawa beban berat.” Karena itu, kita berdoa semoga kita adalah yang satu itu. Persis seperti perkataan Umar bin Khaththab, “Jika ada seribu orang muhajid berjuang di garis depan, aku satu di antaranya; jika ada seratus orang mujahid berjuang di garis depan, aku satu di antaranya; jika ada sepuluh orang mujahid berjuang di garis depan, aku satu di antaranya; jika ada satu orang muhajid berjuang di garis depan, itulah aku!” Mari kita tingkatkan kapasitas dan kapabilitas diri kita selalu cocok untuk memikul beban dakwah di setiap fase.
Ketiga, senantiasa memberi perhatian pada pengembangan ilmu, wawasan dan perabadan (tathwir ilmi wa tsaqafi wa hadhari). Ini aspek penting untuk meningkatkan penguasaan kita terhadap wasail (sarana) dan asalib (metoda) dalam memperjuangkan peradaban yang kita idamkan.
Kita harus mampu mengantisipasi masa depan dengan memahami perkembangan trend ilmu dan teknologi, trend ekonomi, politik dan budaya. Bahkan, kita harus maju melangkah dengan menjadikannya sebagai sarana dakwah. Karena itu, belajar dan tingkatkan terus wawasan kita. Serap informasi dunia, khususnya yang terkait dengan tathwir ilmi wa tsaqafi, sehingga kita mampu mengokohkan pemahaman masyarakat melalui unsur-unsur peradaban.
Keempat, memperhatikan pengembangan sosial dan ekonomi (tathwir ijtima’i wa iqtishadi). Berdakwah tentu saja berarti kita harus berinteraksi dengan masyarakat berikut dinamika peradaban yang melingkupnya yang terus menerus berubah. Tentu saja tanpa kita menanggalkan prinsip dan kepribadian Islam yang telah menjadi jati diri kita.
Untuk itu, Rasulullah memberi empat resep pola pendekatan yang jitu: pertama, pendekatan budaya dan bahasa, khatibun naas ala qadri lughatihim, berbicara dengan manusia sesuai bahasa mereka. Kedua, pendekatan intelektual, khatibun naas ala qadri uqulihim, bicaralah dengan manusia sesuai kemampuan nalarnya. Ketiga, pendekatan sosial, anzilun nas manazilahum, tempatkanlah manusia sesuai dengan kedudukan mereka. Keempat, pendekatan ekonomi, tu’khadzu min aghniyaaihim wa turaddu ila fuqaraihim, ambillah sebagai harta orang kaya dan bagikanlah kepada orang-orang miskin di antara mereka.
Namun, Rasulullah saw. juga bersabda, “Orang yang tidak punya, tidak bisa memberi.” Karena itu, di kalangan para dai harus ada ta’awun ijtima’i dan iqtishadi. Jangan sampai ada teman seperjuangan kita yang mengeluh masalah pemenuhan kehidupan sehari-hari.
Kelima, perhatian pada pengembangan politik (tathwir siyasi). Bentuknya berupa kemampuan mendayagunakan apa yang ada untuk tujuan dakwah. Kisah Nabi Yusuf mengajarkan kepada kita bahwa sumber daya kafir sekalipun (struktur kerajaan dan masyarakat Mesir waktu itu) bisa dikendalikan sang dai untuk mensukseskan misi dakwahnya.
Begitu juga Rasulullah saw. dengan Piagam Madinahnya di awal-awal hijrah. Beliau mampu membuat rekayasa politik yang positif dengan membentuk kerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat lain untuk mempertahankan kota Madinah jika diserang musuh.
Jadi, seorang dai tidak alergi untuk membentuk aliansi strategis dengan kelompok-kelompok yang memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama ingin mempertahankan kedaulatan negara dan menyejahterakan masyarakat. Dengan stabilitas politik dan ekonomi yang tercipta, dakwah akan bisa dilakukan lebih masif dan mengcover semua penduduk negeri. Itulah rahasia kemenangan perjanjian Hudaibiyah yang baru belakangan diketahui oleh para sahabat. Setelah perjanjian itu ditandatangani, dakwah bisa disebarkan melampaui batas-batas wilayah Arab (sampai ke Persia dan Romawi), sebab para dai tidak lagi disibukan dengan kegiatan perang.
Begitulah cara dai memaknai Ramadhan dan beraktivitas menciptakan suasana Ramadhan di luar Ramadhan.

On Label: | 0 Comment


Anda mungkin pernah mengalami kejadian-kejadian yang menyebalkan dikarenakan lupa akan: nama teman baru atau teman lama Anda, password ATM, komputer atau website Anda, di mana menyimpan kunci rumah Anda, di mana meletakkan kacamata Anda, tugas-tugas yang harus segera dilakukan hari ini, judul film yang baru Anda tonton semalam, di mana memarkirkan mobil Anda, atau bahkan lupa sesuatu yang baru terlintas di pikiran kita 50 detik yang lalu.



Memang lupa seringkali membuat kita frustasi dan memalukan. Lupa akan hal-hal tersebut di atas adalah suatu tanda betapa sibuknya kita. Mungkin akan beruntung bagi Anda yang termasuk orang yang rajin mencatat segala sesuatunya, mengorganisasinya baik pada catatan manual maupun elektronik seperti ponsel ataupun PDA.

Namun, bagi Anda tipe orang yang tidak suka mencatat dan yang tidak mempunyai akses terhadap alat-alat bantu elektronik, atau bagi Anda semua yang ingin meningkatkan daya ingat otak Anda, ada beberapa tips / cara untuk melatih atau meningkatkan daya ingat otak kita sebagai berikut:

1. Tips Mengingat Nama Teman / Kolega / Konsumen Anda

a. Putuskan bahwa Anda benar-benar ingin mengingat namanya.

b. Perhatikan dengan saksama.

Ketika Anda dikenalkan dengan seseorang, lihat mukanya baik-baik dan dengar baik-baik namanya. Tanyakan ejaan yang benar misalkan sesuai pendengaran Anda, ia bernama Kathy, Anda tanyakan kepadanya, “Apakah Kathy dengan K atau C?”. Berilah tanda tentang namanya untuk membantu mengunci dalam ingatan kita (“Oh, Carpenter – teman terbaikku masa kecil), dan gunakan namanya beberapa kali selama bercakap-cakap dengan teman baru Anda tersebut dan pada saat mengucapkan salam perpisahan.

c. Visualisasikan.

Perhatikan dengan baik-baik mukanya dan bagian-bagiannya yang membedakan dengan orang lain. Misalkan Sissy teman Anda bermuka oriental, Anda bisa lekatkan di pikiran Anda dengan negeri bambu atau pikirkan “Oriental Sissy”.

d. Membuat nama teman Anda menjadi lebih bermakna.

Misalkan kenalan baru Anda namanya Robert Alltoff, Anda bisa mengasosiasikannya dengan Robert yang semua tentangnya adalah top.

e. Mengimajinasikan

Teknik ini dilandasi bahwa otak pada dasarnya mempunyai kesulitan mengingat simbol-simbol abstrak, seperti nama-nama dan nomor-nomor. Kunci dari teknik ini adalah melekatkan gambar (image) yang jelas pada simbol-simbol yang akan kita ingat.
Misalkan konsumen baru Anda bernama Deb, Anda bisa mulai menggambarkan sebuah website di atas kepalanya – web di atas Deb. Teknik ini akan memudahkan Anda bila suatu ketika bertemu dengan orang tersebut.

f. Mengasosiasikan atau menghubungkan dengan sesuatu yang sudah Anda kenal

Misalkan:
-Nama kolega bisnis baru Anda adalah Dhani, Anda bisa menghubungkan dengan Dhani Ahmad (Band Dewa 19).
-Nama teman kuliah Anda dulu namanya Muhammad Zia Ul Haq, Anda bisa menghubungkannya dengan nama Presiden Pakistan zaman dulu (Zia Ul Haq).

g. Memenggal nama teman Anda yang terlalu panjang menjadi beberapa suku kata / bunyi karena memikirkan seluruh nama pada saat yang sama akan membebani memori anda.

Misalkan nama teman Anda adalah Azprilianputraardiwidyanto, Anda bisa memenggalnya menjadi April-putra-ardi-widya, kemudian anda membuat gambaran pada bulan April ada anak laki-laki dari suatu padepokan turun gunung (ardi) untuk menyebarkan ilmu (widya) yang bermanfaat.

On Label: | 0 Comment

KLIK DITULISAN TEBALNYA YA..

On Label: | 0 Comment

KLIK DI TULISAN TEBALNYA UNTUK MENDOWNLOAD YA
MOHON MAAF UNTUK ANAK2 XI UJP SMK N 6 JIKA ADA KELAMBATAN DAN PERMASALAHAN DALAM DOWNLOAD MATERI... SELAMAT MENIKMATI DAN SELAMAT BELAJAR, DOA KAMI UNTUK KEBERHASILAN KITA SEMUA

On Label: , , | 0 Comment

UNTUK ANAK2KU SMK N 6 SKA, KELAS XI DAN XII AP, SILAKAN KLIK PADA TULISAN TEBAL DI ATAS UNTUK MENDOWNLOAD MATERI..SELAMAT BELAJAR..SEMOGA ALLAH SWT MERAHMATIMU


On Label: | 0 Comment









On Label: | 0 Comment


Wahai ikhwan……
Dengarkanlah pula sejenak pesan kami barisan akhwat
untuk kalian..

Wahai ikhwan…………
Sungguh kami itu senang jika diperhatikan,
apalagi jika kalian adalah ikhwan yang dewasa,
atau ikhwan yang alim, atau ikhwan yang cool, atau ikhwan yang cerdas
padahal kami belum mampu berhijab secara baik,
karena itu tundukkanlah pandangan kalian dengan makna yang sebenarnya,
dan janganlah kalian ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya.


Jangan pernah kautatap kami penuh
Bahkan tak perlu kaulirikkan matamu untuk melihat kami.
Bukan, bukan karena kami terlalu indah,
tapi karena kami seorang yang masih kotor.
kami biasa memakai topeng keindahan pada wajah buruk kami,
mengenakan pakaian sutra emas yang akan bisa memalingkan diri kalian.

Wahai Akhi,
berhati-hatilah ketika kalian menyapa kami dengan chating didunia maya,
diskusi dengan hal-hal yang tidak perlu,
katanya dakwah di dunia maya, tetapi yang diobrolkan jauh dari nilai esensi dakwah


Duhai Akhi……
Kami juga inginnya terus dekat dengan kalian para ikhwan,
tapi maaf…bukan karena apa-apa tapi lebih karena perhatian yang kalian berikan kepada kami,
meskipun sesungguhnya kami sangat malu akan hal ini,
terkadang kami pun terlepas kata dan tingkah laku,
yang malah menjadikan kami dan kalian semakin tak mengenal batas,
karena itu pertama nasihatilah kami akan azab Allah dan setelahnya jangan pernah memberi dan membalas bentuk perhatian kami

Akhi....
Wanita adalah makhluk yang sempit akal dan mudah terbawa emosi.
Terlepas bahwa aku tidak suka pernyataan tersebut, tapi itu fakta.
Sangat mudah membuat wanita bermimpi.

Akhi,
Tolong, berhentilah memberi angan-angan kepada kami.
Mungkin kami akan melengos kalau disapa.
Atau membuang muka kalau dipuji.
Tetapi, jujur saja, ada perasaan bangga.
Bukan kami suka pada antum (mungkin)..
Tapi suka karena diperhatikan “lebih”.

Diantara kami, ada golongan Maryam yang pandai menjaga diri.
Tetapi tidak semua kami mempunyai hati suci.
Jangan antum tawarkan sebuah ikatan bernama ta’aruf bila antum benar-benar belum siap akan konsekuensinya.
Sebuah ikatan ilegal yang bisa jadi berumur tak cuma dalam hitungan bulan
tetapi menginjak usia tahun, tanpa kepastian kapan akan dilegalkan.

Duhai akhi,
Tolong, kami hanya ingin menjaga diri.
Menjaga amal kami tetap tertuju padaNYA.Karena janji Allah itu pasti.
Wanita baik hanya diperuntukkan laki-laki baik.

Jangan ajak mata kami berzina dengan memandangmu,
jangan ajak telinga kami berzina dengan mendengar pujianmu,
jangan ajak tangan kami berzina dengan menerima hadiah kasih sayangmu
jangan ajak kaki kami berzina dengan mendatangimu,
jangan ajak hati kami berzina dengan berkhalwat denganmu

Wahai akhi,
kalian Sebagai saudara kami,
tolong, jaga kami.
Karena kami akan kuat menolak rayuan preman,
Tapi bisa jadi kami lemah dengan surat cinta kalian.
Bukankah akan lebih indah bila kita bertemu dengan jalan yang diberkahiNYA?
Bukankah lebih membahagiakan bila kita dipertemukan dalam kondisi diridhoiNYA?

Karenanya saudaraku…
Janganlah kita berbuka sebelum waktunya
Memanen sebelum masanya
Bersabarlah, tunggulah hingga saatnya tiba

Allahu a’lam bish shawwab…

~Peringatan buat sahabat2 dan jua pada diri ini yg sentiasa khilaf padaNya,
Akhir kata aku memohon Ampun kepada Allah..
Robb yang Maha Penyayang dan Maha Pemberi Petunjuk~

On Label: | 0 Comment

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog