Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

 
Pada 1983, perwira menengah Susilo Bambang Yudhoyono masih segar keluar dari barak sekolah militer Fort Benning, Amerika Serikat, saat Jakarta meminta dia melanjutkan jungle walfare school, sekolah seni perang hutan, di sebuah fasilitas pendidikan militer milik Amerika Serikat yang lain di Panama. Dua dekade lebih setelahnya, lepas dia menjadi orang nomer satu di Indonesia, seseorang yang menjadi bendahara di partai yang mendudukkan dia ke kursi presiden, jadi buron kakap dan kabur ke luar negeri dengan mengambil destinasi berbeda dari koruptor yang sudah-sudah. Muhammad Nazaruddin bersembunyi di negara tetangga tempat presiden dulunya belajar seni perang hutan: Kolumbia.
 
Bagaimana ceritanya hingga Nazaruddin bisa sampai ke Kolumbia, yang jaraknya hampir 20.000 kilometer dari Singapura, tempat dia kabur kali pertama pada pekan terakhir Mei 2011?
 
Ada dua ‘versi resmi’ yang saling ‘membunuh’ sejauh ini:
 
Versi pertama adalah keterangan perwira senior polisi Indonesia dan ini sempat tercantum di situs interpol Indonesia. Kata mereka, Nazaruddin sempat bersembunyi di Singapura, Vietnam, lalu sebuah negara di Eropa, sebelum akhirnya masuk Kolumbia.
 
Versi kedua adalah versi bos besar polisi Kolombia, Jenderal Carlos Mena, seperti dilansir The Associated Press. Saat mempertontonkan Nazaruddin ke kalangan wartawan di Bogota dalam sebuah konferensi pers pada 9 Agustus, Mena bilang kalau sang buron tertangkap pada “Sabtu malam (6 Agustus) saat mendarat di Cartegena dengan sebuah pesawat carter yang terbang langsung dari Washington DC, Amerika Serikat”.
 
Mena juga bilang kalau imigrasi Cartagena jadi curiga sebab Nazaruddin membawa paspor yang fotonya berbeda. Foto yang dilansir sebuah teve swasta Jakarta belakangan menunjukkan kalau Nazaruddin, kala tertangkap, membawa paspor atas nama Muhammad Syarifuddin. Yang terakhir adalah keluarga dekatnya di Medan. Wajah mereka sekilas memang bermiripan.
 
Imigrasi Cartegana jelas telah melakukan tugas dengan baik. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah ada apa dengan imigrasi negara lainnya – jika penjelasan versi polisi dan Interpol Indonesia harus dipercaya? Kenapa imigrasi Singapura atau Vietnam misalnya, seperti ‘kompak’ gagal mendeteksi kejanggalan dalam paspor yang digunakan Nazaruddin? Kenapa pula, jika kita membeli keterangan polisi Kolumbia, Amerika memberi ruang gerak yang leluasa pada Nazaruddin? Tidakkah dia buron Komisi Pemberatasan Korupsi, lembaga super pemberatasan korupsi yang dalam beberapa tahun terakhir mendapat banjir dukungan dan komitmen dari Kedutaan Amerika di Jakarta?
 
Wartawan di Bogota mungkin tak tahu dengan hubungan mesra Amerika dan KPK dan, tentu saja, dengan hampir seluruh institusi penegak hukum negara. Tapi di media Jakarta, anehnya, ‘sisi Amerika’ dalam pelarian Nazaruddin,  yang notabene terang benderang dalam penjelasan Jenderal Mena, belakangan seperti seperti kena senggol jin dan masuk ‘lumpur hidup probabilitas’.
 
Ini utamanya setelah seorang diplomat Amerika di Jakarta menyiramkan aki keraguan atas pertanyaan  sebuah situs ternama ihwal ‘koneksi Washington’ dalam pelarian Nazaruddin, seperti keterangan Jenderal Mena.
 
“Kami tidak bisa mengatakan apa-apa soal siapa yang dapat atau tidak dapat visa, karena aturan-aturan soal hak privasi,” kata juru bicara Kedutaan Amerika, Troy Pederson, seperti dikutip Detik.com, Rabu. Sebuah jawaban yang praktis mendaur-ulang ucapan Duta Besar Amerika Serikat, Scot Alan Marciel, saat kalangan jurnalis Jakarta bertanya soal benarnya tidaknya John Gerome Greece – buron dalam skandal pembuatan paspor palsu Gayus Tambunan – adalah seorang agen Dinas Intelejen Amerika, CIA, seperti yang diklaim Gayus, beberapa bulan yang lewat.
 
Cerita versi Jenderal Mena kemudian kian terpojok lepas muncul pernyataan Duta Besar Indonesia di Washington, Dino Patti Jalal, juga di Detik.com, yang bilang: “Kami sampai saat ini masih terus koordinasi dengan KBRI Bogota untuk cek paspor atas nama Syarifuddin, apakah ada US visanya dan apakah ada cap imigrasi AS.”
 
Sepintas, Duta Besar Dino serius dalam mencari tahu kebenaran. Tapi apa pasal sampai dia meragukan pernyataan Jenderal Mena? Adakah dia termasuk kalangan yang percaya kalau di paspor orang-orang Indonesia yang diam-diam keluar masuk Tel Aviv belakangan ini ada tertera cap imigrasi Israel?
 
Wallahualam. Tapi apapun yang terungkap nantinya, kisah pelarian Nazaruddin telah memunculkan kesan kalau dia berhasil mengadopsi semboyan serdadu elit yang telah menamatkan pendidikan seni perang hutan di Panama: “No Obstacles Too Difficult”. Tak ada pintu imigrasi, dari Singapura hingga Kolombia, yang terlalu susah untuk tidak bisa ditembus, baik seorang diri apalagi dengan bantu ‘tangan-tangan gaib’. *** [Islam Times/K-014]

http://www.islamtimes.org/vdch6inw.23nzxdryt2.html
 

On Label: | 0 Comment


Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar dan dahaga.” (Hr. Ahmad)
Pada bagian kedua ini, syaikh Abdul Aziz As Sadhan memaparkan koreksi beliau mengenai:
  1. mengakhirkan adzan maghrib
  2. mengakhirkan berbuka
  3. tidak bersiwak setelah matahari condong ke barat
  4. merasa tertekan karena di pagi hari dalam kondisi junub
Selamat membaca…
7. Mengakhirkan Adzan Maghrib
Kesalahan lain yang berkaitan dengan muadzin pada bulan Ramadhan, ada sebagian orang tidak mengumandangkan adzan kecuali setelah kegelapan merata, dan tidak cukup hanya dengan terbenamnya matahari saja. Mereka beranggapan bahwa itu merupakan sikap lebih berhati-hati dalam ibadah. Perbuatan ini termasuk menyelisihi sunnah. Sebab, menurut sunnah, hendaknya adzan dikumandangkan ketika matahari terbenam dengan sempurna, sedangkan acuan yang lain tidak dianggap. Allah Ta’ala berfirman:
“…kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…” (Al-Baqarah: 187)
Allah Ta’ala menjadikan batasan puasa dengan masuknya waktu malam. Sedangkan, masuknya waktu malam ditandai dengan terbenamnya matahari, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Apabila waktu malam telah tiba dari sini dan waktu siang telah pergi dari sini dan matahari telah terbenam, maka orang yang puasa (boleh) berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Muhammad bin Nashr Al-Marwazi rahimahullahu, setelah menyebutkan ayat di atas, mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa bila matahari telah terbenam, berarti telah masuk waktu malam dan orang yang puasa dibolehkan berbuka.”1
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang terbenamnya matahari, apakah dibolehkan bagi orang yang puasa berbuka dengan sekedar melihat terbenamnya matahari? Syaikhul Islam rahimahullah menjawab, “Bila bulatan matahari seluruhnya telah terbenam, maka orang yang berpuasa boleh berbuka. Sodangkan, warna merah menyala yang masih terlihat di ufuk itu tidak perlu dianggap. Bila bulatan matahari seluruhnya telah sirna, maka akan tampak warna hitam di ufuk timur, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
“Apabila waktu malam telah tiba dari sini dan waktu siang telah pergi dari sini dan matahari telah terbenam, maka orang yang puasa (boleh) berbuka” 2
8. Mengakhirkan Berbuka
Termasuk kesalahan yang banyak dilakukan kaum muslimin adalah mengakhirkan buka puasa. Di sini ada dua kesalahan;
pertama, hal itu pada umumnya akan menyebabkan terlambatnya pelaksanaan shalat Maghrib. Bahkan, terkadang bisa menyebabkan habisnya waktu shalat Maghrib secara keseluruhan. Ini tentu saja musibah yang lebih besar dan lebih pahit. Karena itu, seorang muslim harus segera buka puasa agar bisa shalat berjamaah bersama kaum muslimin.
Kedua, mengakhirkan buka puasa berarti menyelisihi sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan menyerupai kaum yahudi dan nasrani. Hal ini dijelaskan oleh dalil-dalil berikut. Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’ad, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
“Umatku senantiasa di atas sunnahku selama tidak menunggu munculnya bintang-bintang untuk berbuka puasa.” (HR. Ibnu Hibban).
Diriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata,
“Ada tiga akhlak kenabian; menyegerakan berbuka puasa; mengakhirkan makan sahur; dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dalam shalat.” (HR. Thabarani, hadits mauquf).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
‘Agama (Islam) ini akan senantiasa unggul selama pemeluknya menyegerakan berbuka, karena yahudi dan nasrani mengakhirkan (berbuka).” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan, “Ini merupakan dalil, bahwa kemenangan agama Islam yang didapatkan dengan menyegerakan berbuka puasa itu karena menyelisihi kaum yahudi dan nasrani. Bila menyelisihi mereka merupakan sebab kemenangan agama, sedangkan Allah mengutus para rasul agar agama yang hak dimenangkan-Nya terhadap semua agama, maka menyelisihi orang-orang yahudi dan nasrani termasuk tujuan terbesar diutusnya rasul.”
9. Tidak Bersiwak Setelah Matahari Condong ke Barat
Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah keengganan sebagian umat Islam bersiwak setelah matahari condong ke Barat. Mereka juga mengingkari orang yang bersiwak pada waktu tersebut. Di antara argumen pengingkaran mereka bahwa bersiwak itu menghilangkan bau mulut, padahal di sisi Allah, bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi dari minyak kasturi, sebagaimana yang tertera dalam sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kasturi.” (HR. Bukhari dan Muslim) 3
Imam Asy-Syaukani mengisyaratkan hal ini dalam kitab Nailul Author ketika menyebutkan perbedaan pendapat terkait bau mulut orang puasa, apakah itu terjadi di dunia atau di akhirat. Asy-Syaukani mengatakan, “Perbedaan pendapat ini berakibat munculnya pendapat yang memakruhkan bersiwak bagi orang berpuasa.” 4
Dalil lain yang mereka jadikan argumen adalah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Ath- Thabrani, dan Daruquthni dari Ali radhiyallahu anhu secara mauquf serta dari Khabbab radhiyallahu anhu secara marfu’ bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Bila kalian puasa, maka bersiwaklah pada pagi hari dan jangan bersiwak pada sore hari. Karena sesungguhnya, tidaklah kedua bibir orang puasa kering pada sore hari, kecuali akan menjadi cahaya antara kedua matanya pada hari kiamat.”
Ini adalah hadits dha’if marfu’, dan mauquf. Hadits ini dinyatakan lemah oleh Al-’Iraqi, Ibnu Hajar, dan Asy-Syaukani5
Orang yang enggan bersiwak saat matahari telah condong ke Barat atau sore hari, berdalil dengan riwayat yang berasal dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang berkata,
“kamu boleh bersiwah sampai waktu ashar. Bila kamu telah shalat (ashar), maka tinggalkan siwak itu. Sesungguhnya, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, ‘… bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah … “(HR. Daruquthni) 6
Asy Syaukani rahimahullahu berkata, “Perkataan Abu Hurairah -selain konteksnya tidak menunjukkan sebuah permintaan- tidak bisa dijadikan hujjah karena di dalam sanadnya terdapat Umar bin Qais. Ia tidak dipakai haditsnya. Pendapat yang benar, bersiwak itu disunnahkan bagi orang yang puasa, baik pada pagi maupun sore hari. Inilah pendapat jumhur ulama.” 7Dalil yang menunjukkan bolehnya bersiwak adalah keumuman sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Seandainya aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan shalat (Muttafaqun ‘Alaih)
Imam Bukhari mengatakan, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak memberikan kekhususan bagi orang yang puasa dari yang lain.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
“Siwak itu pembersih mulut dan diridhai Rabb.” 8
Dalil yang menguatkan pendapat di atas adalah riwayat yang dikeluarkan oleh Ath-Thabrani dengan sanad yang dinyatakan bagus oleh Ibnu Hajar.9
Disebutkan dari Abdurrahman bin Ghanmin, ia berkata, “Aku bertanya kepada Mu’adz bin Jabal,’ Apakah aku mesti bersiwak saat aku puasa?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ ‘Kapan waktunya?’ tanyaku. ‘Sesukamu, pagi atau sore,’ jawabnya. Aku bertanya lagi, ‘Orang-orang enggan bersiwak di sore hari. Mereka berkata bahwa Rasulullah bersabda, ‘Bau mulut orang puasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada minyak kasturi?’ Ia menjawab, ‘Subhanallah, beliau telah memerintahkan mereka bersiwak, sedang beliau mengetahui bahwa orang puasa itu pasti bau mulutnya tidak sedap, meski ia bersiwak. Orang yang menyuruh orang lain agar dengan sengaja membuat bau mulutnya tidak sedap, maka tidak ada kebaikannya sama sekali, bahkan yang ada adalah keburukan. Kecuali, bila orang tersebut sedang diuji dengan mendapat musibah dan tidak mendapatkan jalan keluarnya sama sekali’.Aku bertanya lagi, ‘Apakah debu akibat berjuang di jalan Allah akan dibalas dengan pahala, yaitu bagi orang yang dipaksa keluar ke sana dan tidak mendapatkan jalan keluar darinya?’ Ia menjawab, ‘Benar. Adapun, orang yang sengaja melemparkan dirinya ke dalam kebinasaan, maka ia tidak mendapatkan pahala’. 10
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata, “Orang yang puasa tidak batal puasanya hanya dengan bersiwak. Bahkan, siwak adalah sunnah baginya dan bagi selainnya di setiap waktu, baik pagi atau sore hari.” 11
10. Merasa Tertekan Karena di Pagi Hari Dalam Kondis Junub
Kesalahan lain adalah perasaan sangat tertekan yang dialami oleh sebagian umat Islam bila bangun pagi dalam kondisi junub. Kepada mereka, perlu disampaikan, “Tidak ada dosa atas kalian Sempurnakanlah puasa kalian. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah mendapatkan waktu Subuh dalam keadaan junub. Lalu, beliau mandi dan puasa.”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya tentang orang yang puasa yang mimpi basah pada siang hari bulan Ramadhan; apakah puasanya batal atau tidak dan apakah ia wajib segera mandi. Ia menjawab, “Mimpi basah tidak membatalkan puasa. Sebab, itu bukan atas kemauan orang puasa. Hendaknya ia mandi janabat bila ia mendapati air mani pada dirinya. Seandainya ia mimpi basah setelah shalat Subuh dan mengakhirkan mandi sampai waktu Zhuhur, maka hal tersebut tidaklah mengapa.
Pun demikian, seandainya ia mengauli istrinya pada malam hari dan baru mandi setelah terbit fajar, maka tidak ada dosa atasnya. Ada riwayat shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa pada waktu Subuh beliau pernah junub karena bersetubuh, lalu beliau mandi dan berpuasa.
Wanita yang sedang haid atau nifas juga sama, seandainya keduanya telah suci pada malam hari dan baru mandi setelah terbit fajar, maka tidak ada dosa atas mereka, dan puasanya tetap sah. Akan tetapi, keduanya tidak boleh mengakhirkan mandi atau shalat sampai terbitnya matahari. Mereka harus segera mandi sebelum terbit matahari, sehingga mereka bisa menunaikan shalat tepat waktunya. Seorang lelaki harus segera mandi janabat sebelum waktu shalat Subuh, sehingga ia bisa melaksanakan shalat dengan berjamaah. Wallahu waliyyut taufiq.” 12
Terkait masalah ini, Syaikh Muhammad bin Utsaimin mengatakan, “Bila fajar telah terbit, maka puasa orang yang sedang junub tetap sah dan tidak ada masalah dengannya. Dalil mengenai ini ada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Adapun dalil dari Al-Quran adalah firman Allah Ta’ala:
“Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. ..” (Al-Baqarah : 187)
Allah menghalalkan bersetubuh pada malam hari sampai fajar tampak jelas. Ini berkonsekuensi bahwa orang itu tidak mandi kecuali setelah terbit fajar. Sebab, bila perbuatan ini dibolehkan untuknya sampai terbit fajar, maka ia akan tetap dalam kondisinya sampai akhir malam yang singkat itu, dan pasti mandinya akan dilakukan setelah terbit fajar.
Adapun dalil dari As-Sunnah adalah riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, bahwa beliau pernah dalam keadaan junub pada waktu pagi dan beliau pun berpuasa. Akan tetapi, yang utama bagi orang yang junub hendaklah segera mandi agar ia dalam kondisi suci. Bila itu tidak mungkin, maka hendaklah ia berwudhu, karena wudhu dapat meringankan janabat.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang orang yang tidur dalam kondisi junub. Beliau menjawab,
“Bila ia telah wudhu, silakan tidur.” (HR. Bukhari).
Ini merupakan dalil bahwa wudhu bisa meringankan janabat, juga sebagai dalil bahwa seseorang itu semestinya tidur dalam keadaan suci. Bisa jadi suci secara sempurna yaitu dengan mandi atau suci yang meringankan yaitu dengan berwudhu.13

disalin dari buku ‘Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia! terjemahan dari: Mukhalafat Ramadhan, Syaikh Abdul Aziz As Sadhan, Penerbit Qiblatuna – Solo, hal 41-64

Catatan kaki:
  1. Mukhtashar Qiyamil Lail, hal. 58 []
  2. Majmu’ul Fatawa, XXV : 215-216 []
  3. Potongan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Al-Fath, IV : 103 []
  4. Nailul Authar, IV : 236 []
  5. Silsilatudh Dha’ifah, I : 394; dan Naitul Authar, I : 129 untuk lebih jelasnya tentang masalah bau mulut ini silahkan membaca buku ini []
  6. Potongan hadits yang dikeluarkan Bukhari & Muslim dari A Hurairah m,Al-Fath, IV : 103 []
  7. Nailul Authar, I: 129 []
  8. Shahih Al-Jami’ush Shaghir, III : 234 []
  9. Dalam kitab At-Talkhishul Habir []
  10. Syaikh Al-Albani mencantumkannya dalam As-Silsilatudh Dha’ifah, 1: 395.Ia berkata, “Sanadnya mengindikasikan baik []
  11. Risalah Fushul fish Shiyam wat Tarawih waz Zakah, hal. 15 []
  12. Kitabud Dakwah, hal. 121 []
  13. Fatawa Nur’alad Darb, hal. 53 []

On Label: | 0 Comment

 Dikirim Sutikno bin Tumingan 

Puasa Ramadhan adalah karunia luar biasa bagi umat Islam. Maka, sungguh merugi, bila puasa yang dikerjakan selama bulan ini tak mendatangkan pahala lantaran tidak sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi mereka tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya itu kecuali lapar dan dahaga”(HR. Ahmad).
Syaikh Abdul Aziz As Sadhan, dalam buku  ‘Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia!’ -terjemahan dari ‘mukhalafat ramadhan’ menjelaskan berbagai kesalahan-kesalahn yang sering dilakukan ketika bulan puasa. Tulisan beliau, insya Allah mampu membimbing kita dalam mengoreksi berbagai praktik yang salah tersebut. Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat menjadi panduan setiap muslim dalam menjalani bulan penuh berkah ini. Semoga, kita mampu menjalankan puasa sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam; dan tidak membiarkannya sia-sia tanpa mendapatkan apa-apa, kecuali lapar dan dahaga.Selamat membaca!
1. Tetap Makan Sahur Sampai Mendengar Lafazh Adzan : Hayya ‘Alash Shalah
Sebagian orang bila mendengar muadzin mengumandangkan adzan shalat Subuh,mereka baru bangun tidur untuk makan dan minum. Bila Anda menasihati dan menjelaskan bahwa itu salah,mereka akan menjawab bahwa hal itu dibolehkan sampai muadzin mengucapkan: Hayya ‘alash shalah. Bila muadzin mengucapkan kalimat ini, maka makan dan minum tidak dibolehkan lagi. Pendapat ini tentu membutuhkan dalil yang shahih.Setelah kami teliti dan tanyakan, bahwa hal itu tidak ada dalilnya. Bahkan, itu hanyalah perbuatan yang dianggap baik oleh sebagian orang dan tertolak berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya, maka itu tertolak.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam lafal riwayat yang lain:
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atas dasar perintah kami, maka itu tertolak.” (HR. Muslim)
Nash Al-Quran dan As-Sunnah telah menetapkan batasan imsak, yaitu ketika telah terang benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Bila fajar telah diketahui, maka orang yang sahur hendaklah meninggalkan makan dan minum. Inilah yang benar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“…Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”(Al-Baqarah: 187).
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya, Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Maka, makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (Subuh).” (HR. Bukhari).
Ibnu Ummi Maktum adalah sahabat yang buta. Ia tidak akan mengumandangkan adzan sebelum ada orang yang mengatakan kepadanya, “Waktu Subuh telah tiba. Waktu Subuh telah tiba.”
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa batasan imsak itu adalah terbitnya fajar, sedangkan adzan hanya sebagai pemberitahuan hal itu. Maka, saat muadzin mulai mengumandangkan adzan, berarti waktu imsak telah masuk. Jadi, waktu imsak itu bukan dibatasi pada ucapan muadzin: Hayya ‘alash shalah.
2. Makan Sahur Lebih Awal
Kesalahan lain yang dilakukan oleh orang yang puasa adalah bersegera makan sahur pada awal waktu. Ini merupakan tindakan menyia-nyiakan pahala yang banyak. Sebab, menurut As-Sunnah, seorang muslim hendaknya mengakhirkan makan sahur agar mendapatkan pahala karena mencontoh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Anas radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit  radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Kami pernah makan sahur bersama Nabi. Setelah itu, beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya, ‘Berapa lama waktu antara adzan dan makan sahur?’ Zaid bin Tsabit menjawab, ‘Kira-kira selama bacaan 50 ayat’.” (HR. Bukhari dan Muslim).
3. Sengaja Minum Saat Adzan Subuh
Kesalahan lain terkait dengan puasa, sengaja minum saat adzan Subuh kedua yang dilakukan sebagian orang. Menjelang adzan dikumandang, Anda melihatnya hanya duduk santai. Namun, saat muadzin mulai mengumandangkan adzan, ia justru bergegas untuk mengambil air dan meminumnya. Bila diingatkan, ia menjawab, “Aku boleh makan dan minum sampai adzan selesai.” Dengan perbuatannya itu, ia telah merusak puasanya, terutama bila muadzin teliti dalam melihat jadwal adzan. Allah Ta’ala telah mensyariatkan waktu imsak ketika masuk waktu shubuh dengan firman-Nya:
“.. .dan makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.’(Al-Baqarah: 187).
Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,
“Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari. Maka, maka makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan (Subuh).” (HR. Bukhari-Muslim).
Kata ‘hatta’ dalam ayat dan hadits di atas berarti masuk, maksudnya kalian boleh makan dan minum sampai waktu Subuh. Hanya saja, ada permasalahan yang harus dijelaskan berkaitan dengan hal ini. Yaitu, seorang muslim boleh minur air di gelas yang telah berada di tangannya saat muadzin mengumandangkan adzan. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Bila salah seorang di antara kalian mendengar seruan adzan sedangkan gelas minuman masih di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya sebelum melaksanakan keinginannya untuk minum.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Jarir, Hakim, Baihaqi, dan lainnya. Hadits ini memiliki banyak penguat).
Perlu ditambahkan juga terkait hal ini, bahwa seorang muslim masih dibolehkan makan dan minum setelah adzan bilamana muadzin mengumandangkan adzan sebelum waktunya. Adzan tersebut tidak berlaku, sehingga orang yang puasa tidak diharamkan dari apa pun yang dibolehkan oleh Allah baginya di waktu ifthar. Shalat Subuh juga tidak dianjurkan untuk segera dilaksanakan karena waktunya belum masuk.
Syaikhul Islam mengatakan, “Bila muadzin mengumandangkan adzan sebelum fajar terbit, sebagaimana Bilal mengumandangkan adzan sebelum fajar pada masa Nabi dan adzannya para muadzin di Damaskus dan kota lainnya, maka makan dan minum setelah itu tidak ada masalah dengan waktu secukupnya.”1
Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan, “Adzan shalat Subuh, baik setelah terbit fajar atau sebelumnya, jika dikumandangkan setelah terbit fajar, maka orang yang sahur wajib berhenti makan dan minum dengan sekedar mendengar adzan saja. Sebab, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya, Bilal mengumandangkan adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum. Dia tidak mengumandangkan adzan kecuali fajar telah terbit.” (HR. Bukhari-Muslim).
Jika kalian mengetahui bahwa muadzin mengumandangkan adzan setelah terbit fajar Subuh, maka berhentilah makan dan minum ketika mendengar adzan itu.”2
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan saat menjawab masalah ini dan hal-hal yang berkaitan dengannya, “Seorang mukmin yang berpuasa wajib menahan diri dari makan dan minum serta lainnya bila terbitnya fajar sudah ia ketahui. Itu dalam puasa wajib, seperti; puasa Ramadhan, puasa nadzar, dan puasa kafarat. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“… Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187).
Selain itu, bila ia mendengar adzan dan mengetahui bahwa itu adzan Subuh, maka ia wajib berhenti dari makan dan minum. Bila muadzin mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar atau setelahnya, maka yang utama dan selamat adalah berhenti makan dan minum bila telah mendengarnya. Tidak ada masalah, seandainya seseorang minum atau makan sekedarnya ketika terdengar adzan, karena ia tidak mengetahui terbitnya fajar.
Telah diketahui bersama bahwa masyarakat yang tinggal di tengah-tengah kota yang terdapat banyak cahaya listrik mereka tidak bisa mengetahui terbitnya fajar dengan mata kepalanya sendiri pada waktu tersebut. Namun, ia hendaknya berhati-hati dalam menggunakan jadwal adzan dan kalender waktu yang membatasi terbitnya fajar dengan jam dan menit sebagai bentuk pengamalan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. Bukhari)
Juga sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam,
“Barangsiapa menjauhi sesuatu yang samar (syubhat), berarti ia telah menjaga agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Hanya Allah sebagai pelindung dan pemberi taufiq.”3
4. Memajukan Waktu Adzan Subuh
Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah adzan Subuh beberapa saat sebelum waktunya yang dilakukan sebagian muadzin. Mereka menganggap bahwa itu merupakan bentuk kehati-hatian dalam beribadah. Perbuatan mereka ini sangat buruk. Mereka tidak berhak mendapatkan citra baik yang diberikan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada muadzin, dengan sabda beliau:
“Muadzin itu dipercaya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu mengatakan, “Di antara bid’ah munkar yang diada-adakan pada zaman sekarang adalah mengumandangkan adzan kedua sebelum terbit fajar sekitar 1/3 jam dalam bulan Ramadhan. Demikian juga, mematikan lampu-lampu sebagai tanda larangan makan dan minum bagi siapa saja yang ingin berpuasa. Orang yang mengadakan bid’ah itu mengklaim bahwa itu untuk kehati-hatian dalam beribadah, dan hanya segelintir orang yang tahu hal itu. Perbuatan itu telah menyeret mereka untuk tidak mengumandangkan adzan kecuali beberapa menit setelah matahari terbenam untuk memantapkan waktu. Dengan keyakinan itu, mereka telah mengakhirkan buka puasa dan menyegerakankan sahur. Mereka telah menyelisihi sunnah. Karena itu, kebaikan mereka hanya sedikit, sedangkan keburukan mereka bertambah banyak. Hanya kepada Allah kita meminta pertolongan.”4
Di samping menyelisihi sunnah, memajukan waktu adzan juga menyebabkan seorang muslim terhalang untuk makan yang pada dasarnya itu masih dibolehkan oleh Allah baginya. Akibatnya, shalat sunah qabliyah dikerjakan sebelum waktunya.
5. Merasa Berdosa Karena Lupa Makan dan Minum Saat Berpuasa
Sebagian orang terkadang merasa berdosa sekali bila mengingat dirinya telah makan atau minum saat puasa karena faktor lupa. Ia bahkan merasa ragu terhadap keabsahan puasanya. Untuk masalah seperti ini dan semisalnya, perlu dikatakan, bahwa tidak ada dosa seberat biji sawi pun, dan puasa tersebut tetap sah, insya Allah. Hendaklah puasa tersebut tetap disempurnakan. Inilah pendapat yang benar. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR.Bukhari)5
Dalam hal ini, tidak ada bedanya apakah makanan dan minuman itu sedikit atau banyak. Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Hadits tersebut mengandung makna kelembutan Allah kepada para hamba-Nya dan bentuk kemudahan bagi mereka, serta diangkatnya kesukaran dan kesempitan dari mereka.” 6
Syaikh Muhammad bin Utsaimin ketika menjawab pertanyaan terkait masalah ini mengatakan, “Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa karena lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya. Adapun, dalil sempurnanya puasa karena lupa makan adalah hadits shahih yang disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu anhu: ”Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (HR. Muslim).
Karena, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum karena mengerjakan perbuatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (Al-Baqarah [2]: 286). Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni’.”
6. Tidak Mengingatkan Orang Lain yang Makan dan Minum Karena Lupa
Kesalahan lain yang berkaitan dengan puasa adalah sebagian orang membiarkan orang lain makan dan minum karena lupa hingga ia menyelesaikannya. Orang yang mengetahui hal itu beranggapan bahwa bila orang yang lupa itu diingatkan, maka ia akan terhalang mendapatkan rezeki dari Allah. Orang tersebut tidak sadar kalau sikapnya itu merupakan sebuah kemunkaran dan menyetujui kemunkaran dengan kebodohannya itu.
Di sini, kami akan menyampaikan fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz yang berkaitan dengan permasalahan ini. Ada orang yang bertanya, “Sebagian orang mengatakan, ‘Bila Anda melihat seorang muslim berpuasa, lalu makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa, maka Anda tidak semestinya mengingatkannya. Sebab, Allah telah memberinya makan dan minum sebagaimana disebutkan dalam hadits. Apakah tindakan ini benar? Berilah kami fatwa, semoga Anda dibalas pahala.”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Siapa pun yang melihat orang berpuasa yang minum atau makan, atau menelan apa saja pada siang hari bulan Ramadhan, maka ia wajib mengingkarinya. Sebab, memperlihatkan makan dan minum pada siang hari bulan puasa adalah bentuk kemunkaran, meskipun pelakunya memiliki alasan dalam perkara itu. Tujuannya, agar orang-orang tidak akan berani terang-terangan melanggar larangan Allah, dengan makan dan minum pada siang hari bulan puasa dengan alasan lupa.Bila pelakunya memang jujur dalam hal klaim kelupaannya itu, maka ia tidak mengganti (menqadha’) puasanya itu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
“Bila salah seorang dari kalian lupa, sehingga ia pun makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.” (Muttafaqun’Alaih).
Pun demikian dengan musafir, ia tidak boleh menampakkan makan dan minumnya di hadapan orang-orang yang tidak bepergian karena mereka tidak mengetahui statusnya. Ia harus mencari tempat tertutup supaya tidak dituduh melanggar larangan Allah, juga agar orang lain tidak berani berbuat serupa.Orang-orang kafir juga sama, mereka dilarang memperlihatkan makan, minum dan semisalnya di hadapan kaum muslimin. Celah penyepelean ini harus ditutup rapat. Sebab, mereka dilarang menampakkan syi’ar agama mereka yang batil di hadapan kaum muslimin. Hanya Allah sebagai pelindung dan pemberi taufiq.”7
Kami sampaikan juga fatwa Syaikh Muhammad bin Al Utsaimin terkait masalah ini. Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang hukum makan dan minum karena lupa, apakah orang yang melihat pelakunya wajib mengingatkan puasanya?
Ia menjawab, “Siapa saja yang makan atau minum saat berpuasa karena lupa, maka puasanya tetap sah. Akan tetapi, bila ia teringat, maka ia harus berhenti dan mengeluarkan makanan atau minuman yang ada di mulutnya. Adapun dalil yang menunjukkan kesempurnaan puasa karena lupa makan adalah hadits shahih yang disabdakan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu anhu,
‘Barangsiapa terlupa sedang ia berpuasa sehingga terlanjur makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Allah telah memberinya makan dan minum.’ (HR. Muslim).
Karena, lupa itu tidak menyebabkan seseorang dihukum karena mengerjakan perbuatan terlarang. Ini berdasarkan firman Allah yang menyebutkan orang yang meminta ampun akibat lupa, “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami khilaf.” (Al-Baqarah [2]: 286). Allah pun menjawab, ‘Telah Aku ampuni.’Adapun orang yang melihat orang makan dan minum saat berpuasa karena lupa, maka ia wajib mengingatkannya. Karena, ini termasuk mengubah kemunkaran. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
‘Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Bila tidak mampu maka hendaklah mengubah dengan lisannya. Bila tidak mampu, maka dengan hatinya! (HR. Muslim)
Tidak diragukan lagi bahwa tindakan makan dan minum yang dilakukan oleh orang yang berpuasa adalah bentuk kemungkaran. Akan tetapi, pelakunya dimaafkan bila dalam kondisi lupa karena memang tidak ada sangsi hukuman baginya. Adapun, orang yang melihat perbuatan itu, maka tidak ada alasan baginya untuk tidak mengingkarinya.”8
Berkaitan dengan masalah ini, Syaikh Ibnu Jibrin mengatakan, “Ada sebagian orang yang mengatakan, ‘Kami tidak akan mengingatkan orang yang lupa. Kami tidak akan menghentikan rezeki makanan dan minuman yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya.’ Yang benar, orang yang melihat hendaknya mengingatkannya, karena itu wajib hukumnya dan lermasuk bentuk amar makruf nahi munkar. Hal yang sama juga berlaku, ketika seseorang melakukan sesuatu yang bisa membatalkan puasa selain makan dan minum karena dianalogikan dengan kedua hal tersebut.”9 Bersambung pada tulisan kedua, insya Allah.

disalin dari buku ‘Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia! terjemahan dari: Mukhalafat Ramadhan, Syaikh Abdul Aziz As Sadhan, Penerbit Qiblatuna – Solo, hal 41-64

Catatan kaki:
  1. majmu’ul fatawa, XXV: 216 []
  2. durus wa fatawa fil haramil makki, hal 144 []
  3. kitabud dakwah hal.1014 []
  4. Fathul Bari, IV:199 []
  5. Fathul Bari, IV: 155 []
  6. Fathul Bari, IV: 158 []
  7. Majalah Ad-Da’wah, edisi : 1186, 30 Sya’ban 1409 H []
  8. Fatawash Shiyam, karya Syaikh Ibnu Jibrin dan Syaikh Ibnu Utsaimin, hal.27-28 []
  9. Dinukil dari penjelasan Syaikh Jibrin dalam ulasan singkat tentang buku Manarus Sabil pada 10 Rabi’ul Awal 1406 H []

On Label: | 0 Comment


*diketik Ulang oleh Sutikno dari  buku: “Jangan Biarkan Puasa Anda Sia-Sia!”, Penyusun: Syaikh Abdul Aziz As Sadhan, terbitan ‘Qiblatuna – Solo’ halaman 25-29]*
Terkait dengan bulan Ramadhan,manusia terbagi menjadi beberapa macam :
PERTAMA
kelompok yang menunggu kedatangan bulan ini dengan penuh kesabaran. Ia bertambah gembira dengan kedatangannya,hingga ia pun menyingsingkan lengan dan bersungguh-sungguh mengerjakan segala macam bentuk ibadah seperti; puasa, shalat, sedekah, dan lain sebagainya. Ini merupakan kelompok yang terbaik.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan,
“’Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang paling berderma. Namun, beliau lebih berderma lagi pada bulan Ramadhan, ketika beliau selalu ditemui Jibril.Setiap malam pada bulan Ramadhan, Jibril menemui beliau hingga akhir bulan.  Nabi shallallahu alaihi wa sallam membacakan Al-Quran kepadanya.  Bila beliau bertemu Jibril,beliau lebih berderma daripada angin yang bertiup.”  1
KEDUA
kelompok yang sejak bulan Ramadhan datang sampai berlalu, keadaan mereka tetap saja seperti sebelum Ramadhan. Mereka tidak terpengaruh oleh bulan puasa itu serta tidak bertambah senang atau bersegera dalam hal kebaikan.  Kelompok ini adalah orang-orang yang menyia-nyiakan keuntungan besar yang nilainya tidak bisa diukur dengan apa pun.  Sebab, seorang muslim akan bertambah semangatnya pada waktu-waktu yang banyak terdapat kebaikan dan pahala di dalamnya.
KETIGA
kelompok yang tidak mengenal Allah, kecuali pada bulan Ramadhan saja.Bila bulan Ramadhan datang Anda dapat melihat mereka ikut rukuk dan sujud dalam shalat. Tetapi, bila Ramadhan berakhir, mereka kembali berbuat maksiat seperti semula.Mereka adalah kaum yang disebutkan kepada Imam Ahmad dan Al-Fudhail bin Iyadh dan keduanya berkata, “Mereka adalah seburuk-buruk kaum lantaran tidak mengenal Allah kecuali pada bulan Ramadhan.”
Karena itu, setiap orang yang termasuk dalam kelompok ini semestinya tahu bahwa ia telah menipu dirinya sendiri dengan perbuatannya tersebut. Setan pun juga memperoleh keuntungan besar darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
 ”Setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (Muhammad: 25)
Sebagai bentuk ajakan dan peringatan untuk kelompok seperti mereka, hendaklah mereka bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat. Kami menghimbau agar mereka memanfaatkan bulan ini untuk kembali dan tunduk ke pada Allah serta meminta ampun dan meninggalkan perbuatan buruk yang telah lalu. Allah Subhanahu wa Ta’ala  berfirman:
“Dan sesungguhnya, Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap dijalan yang benar.”  (Thaha 20: 82)
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.”
(Al-Furqan : 70) 
Bila Allah telah mengetahui ketulusan dan keikhlasan mereka, maka Dia akan memaafkan mereka sebagaimana yang Dia janjikan.  Karena, Allah tidak akan mengingkari janji-Nya. Namun, bila mereka tetap saja berbuat maksiat, maka kita harus mengingatkan perbuatan mereka, dan menyampaikan bahwa mereka dalam bahaya besar. Bahaya macam apalagi yang lebih besar daripada meremehkan kewajiban, batasan-batasan, perintah, dan larangan-Nya.
KEEMPAT
kelompok yang hanya perutnya saja yang berpuasa dari segala macam makanan, namun tidak menahan diri dari selain itu. Anda akan melihatnya sebagai orang yang paling tidak berselera terhadap makanan dan minuman. Akan tetapi, mereka tidak merasa gerah ketika mendengar kemungkaran, ghibah, adu domba, dan penghinaan. Bahkan, inilah kebiasaannya pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya.
Kepada orang-orang seperti ini, perlu kita sampaikan bahwa kemaksiatan pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya itu diharamkan, tetapi lebih diharamkan lagi pada bulan Ramadhan, menurut pendapat sebagian ulama. Dengan kemaksiatan tersebut berarti mereka telah menodai puasa dan menyia-nyiakan pahala yang banyak.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka tidak ada kebutuhan bagi Allah dalam diri orang yang meninggalkan makanan dan minumannya.”  2
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
“Puasa itu bukan sekedar menahan makan dan minum, tetapi puasa itu adalah meninggalkan perbuatan sia-sia dan perkataan keji.”  3
KELIMA
kelompok yang menjadikan siang hari untuk tidur, sedangkan malam harinya untuk begadang dan main-main belaka. Mereka tidak memanfaatkan siangnya untuk berdzikir dan berbuat kebaikan, tidak pula membersihkan malamnya dari hal-hal yang diharamkan.
Kepada orang-orang seperti ini perlu kita sampaikan agar mereka takutlah kepada Allah berkenaan dengan diri mereka. Janganlah menyia-nyiakan kebaikan yang datang kepada mereka.  Mereka telah hidup sejahtera dan makmur. Hendaklah mereka bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha dan dan bergembira dengan berita dari Allah yang menyenangkan.
KEENAM
kelompok yang tidak mengenal Allah pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya. Mereka adalah kelompok yang paling buruk dan berbahaya. Anda akan melihat mereka tidak memperhatikan shalat atau puasa. Mereka meninggalkan kewajiban itu secara sengaja, padahal kondisinya sehat dan segar bugar. Setelah itu mereka mengaku sebagai orang Islam. Padahal, Islam sangat jauh dari mereka, bagaikan jauhnya Barat dan Timur. Orang-orang Islam pun berlepas diri dari mereka.Kepada orang-orang semacam ini perlu dikatakan,
 ”Segeralah bertaubat dan kembalilah kepada agama kalian. Lipatlah lembaran hitam hidup kalian. Sesunguhnya, Rabb kalian Maha penyayang kepada siapa saja yang mentaati-Nya, dan sangat keras siksanya kepada orang yang mendurhakai-Nya.”
Demikianlah, klasifikasi manusia secara global berkaitan dengan bulan Ramadhan. Meski mungkin sebagian kelompok masuk pada pada kelompok lainnya, namun ini perlu dijelaskan.

Catatan kaki:
  1. HR. Bukhari []
  2. Hr. Bukhari dan Abu Dawud []
  3. HR. Ibnu Hibban []

On Label: | 0 Comment

"Musuh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan ditengah badai tak akan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang."-KH Rahmat Abdullah-



Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah dan semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus.

Edaran yang pasti dari keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun –dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH– menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan grativasi “bumi jasad” memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala.

Kini –dibulan ini (Ramadlan)– ia begitu ringan, menjelajah langit ruhani. Carilah bulan diluar Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama dimalam hari, saat orang menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan “ular harta” yang membelitnya.

Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.

Marhaban ya syahra ramadlan Marhaban ya syahra’ as-shiyami
Marhaban ya syahra ramadlan Marhaban ya syahra’ al-qiyami.

Keqariban ditengah keghariban (pendekatan diri ditengah keterasingan)

Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya : “Ya Rasul ALLAH, dekatkah tuhan kita? Sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-NYA?”

Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika beban-beban orang bertuhan telah mereka persetankan.

Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap, syahwat dan seterusnya, padahal mereka masih berpijak dibumi-NYA.

Betapa menyedihkan orang yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-NYA. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikutnya, meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.

Semua ayat dari 183 – 187 surah Al Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. “Dan apabila hamba-hambaku bertanya tentang Aku, maka katakanlah : sesungguhnya Aku ini dekat…( Al Baqarah : 185).

Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa kekariban (kedekatan) ini? Mereka jadi pandai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa menit sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun langsung kebangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukangtiru yang rakus.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang pohon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi Negara, bisniskan hukum, atau jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa berstatus bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi bandit? Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak lagi kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?

Al Qur’an dulu baru yang lain

Bacalah Al-Qur’an, ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscahya Islam itu terasa nikmat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Al-Qur’an membentuk frame berfikir. Al-Qur’an mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolak ukur keadilan, kewajaran, dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz’i. penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh, aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi umat.

Betapa da’wah Al-Qur’an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan dijantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad digaris depan, jauh sejak awal sejarah ini bermula. Bila Rasullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur’annya. Bila menyusun komposisi pasukan, diletakannya pasukan yang lebih banyak hafalannya. Bahkan dimasa awal sekali ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan “Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di ka’bah?” Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukul musyrikin kota Makkah.

Nuzul Qur’an di Hira, Nuzul Qur’an di hati

Ketika pertama kali Al-Qur’an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh manusia. Ia menjadi petunjuk sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalakan rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan jadi kacau. Ada juga orang berfikir malam qodar itu selesai sudah karena ALLAH menyatakan dengan anzalnahu ( kami telah menurunkannya) tanpa melihat tajam-tajam pada kata tanazzalu’l Malaikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah para malaikat dan ruh), dengan kata kerja permanen.

Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya, munafiqnya dan shiddiqnya. Yahudi dan nasraninya? Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang dikawasan?

Jadi ketika Ramadhan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahaginya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Al-Qur’an dihati pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badanpun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan dalam setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah keterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya kegembiraan dipuncak kesenangan. Batas nikmatnya dunia ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!

Puasa: Da’wah, Tarbiyah, Jihad dan Disiplin

Orang yang tertempa makan (sahur) disaat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan, setelah siangnya berlapar haus atau menahan semua pembantal lahir bathin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan.

Musuh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan ditengah badai tak akan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air diakhir malam, lapar dan haus diterik siang.

Mereka biasa berburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai keakhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? “Fadiqu’s Syai’la Yu’thihi’ (yang tak punya apa-apa tak kan mampu memberi apa-apa).

Wahyu pertama turun dibulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.

Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yang menunggu jawaban serius. ~KH. Rahmat Abdullah~

*)http://iqronews.wordpress.com/2011/07/28/renungan-ramadlan/

On Label: | 0 Comment

Oleh Taufiq Ismail (Penyair, Sastrawan)


Di bulan Ramadhan tahun 60-an, di rumah orang tua saya di Pekalongan, biasanya tarawih dipimpin oleh seorang hafiz yang mengimami shalat dengan membaca satu juz sepanjang 8 rakaat tambah 3 rakaat witir. Dengan demikian, imam yang hafal Quran ini meng-khatam-kan 30 juz sebulan puasa dalam shalat tarawih.

Kaki yang berdiri puluhan menit luar biasa pegal terasa pada lutut karena produksi asam laktat yang melimpah pada sendi-sendi. Gerakan sujud dan tahiat terasa melegakan betul, karena sekaligus jadi permulaan istirahat. Tanpa pengeras suara, bacaan imam terdengar lantang dan indah.

Peserta yang bertahan ikut terus jumlahnya tidak banyak. Yang tidak kuat, boleh melakukannya sambil bersimpuh saja.

Selepas tarawih, ibu saya dan murid-murid beliau menyediakan kolak dan makanan kecil. Orang-orang memijit kaki masing-masing sambil menyandar ke dinding. Sambil melepaskan lelah dan menyendok kolak, terasa kenikmatan batin yang sukar menjelaskannya.

Pada tahun 1993, tarawih Ramadhan saya lalui di Mesjid Kampung Pandan Kuala Lumpur. Imam kami hafiz buta. Suaranya merdu dan kuat. Satu juz satu malam itu dibaginya merata ke dalam 23 rakaat. Di saf paling depan sebelah kiri, sebuah mushaf Quran besar terbentang miring di atas meja, dan dua orang makmum bertugas mengontrol bacaan imam. Jarang terjadi kesalahan baca.

Sehabis tarawih, berlangsung festival memijit kaki. Sambil ngobrol, imam kami memijit-mijil kaki sendiri di-rubung jamaah, yang juga memijit-mijit betis kaki. Kami merasa-kan kenikmatan batin yang sukar menjelaskannya.

Rasa heran yang kemudian berkembang jadi rasa hormat pada orang-orang yang hafal Quran, dimulai sejak saya merasakan tidak mudahnya menghafalkan surah-surah panjang Kitab Suci itu. Ada rasa menyesal mengapa waklu kecil dulu tidak rajin menghafal, ketika ingatan masih segar dan daya serap kuat.

Salah satu surah favorit keluarga adalah surah ke-15, yaitu al-Kahfi. Dalam keluarga kami, surah ini menempati posisi khusus, karena ayah dan ibu, nenek pihak ibu, kemudian nenek dan kakek pihak ayah, hafal surah ini. Mereka mewiridkan membacanya pada malam Jumat. Karena tidak hafal surah ini, mana mungkin saya memiliki kartu anggota Klub Kahfi dalam keluarga. Menghafal Surah Yasin saja yang panjangnya lebih sedikit seperdua Surah Kahfi, sering bingung sendiri pada bagian “inkaanat illa shaihatan waahidatan…” karena tertukar-tukar lanjutannya pada ’ain kedua atau ’ain ketiga. Tapi kenikmatan batin yang sukar dijelaskan selalu berlangsung setiap sehabis kontak dengan Alquran.

Sesudah beberapa kali tidak berhasil mengikuti pertemuan para penghafal Quran, barulah pada 1983 atau 1984 saya dapat menyertainya. Tentu saja bukan sebagai anggota, cuma sebagai seorang simpatisan saja.

Pertemuan ini tanpa genderang publikasi, tidak ada sambutan pejabat negara, dan jangan dibayangkan ada fasilitas seperti di kota besar. Kesederhanaan yang sejati mewarnai peristiwa itu. Seingat saya, kurang lebih ada 600 penghafal Quran yang berkumpul waktu itu dari seluruh Indonesia. Di luar dugaan saya, mayoritas mereka muda-muda, masih pada umur dua puluh-tiga puluhan, dan mungkin lebih banyak wanita ketimbang prianya.

Pertemuan berlangsung di kota kecil Brebes di pesisir utara Jawa Tengah, daerah pertanian yang menghasilkan bawang yang terkenal itu. Acaranya adalah silaturahmi dan bersama mengkhatamkan Quran. Mereka tersebar menginap di rumah-rumah penduduk yang menerima mereka dengan ramah. Mereka mulai secara terpisah-pisah di rumah-rumah itu membaca Quran (tentu tanpa melihat mushaf) di malam hari, disambung keesokannya, kemudian lepas tengah hari berkumpul di bawah tenda sederhana membaca juz terakhir bersama-sama.

Saya ikut duduk di belakang, paling pinggir di bawah tenda. Matahari menjelang Ashar yang terik menyinari kota kecil itu. Aroma bawang yang baru habis dipanen mengembang di udara. Ayam berlarian ke sana kemari, suara burung tekukur terdengar sekali-sekali.

Satu surah demi satu surah dari Juz Amma mengalun bersama-sama. Iramanya teratur. Ketukannya tepat. Keindahan bacaannya luar biasa mengharukan. Tak ada kabel yang menghubungkan peristiwa ini dengan stasiun transmisi, tak ada kontak dengan media elektronika dunia karena jamaah ini tidak memerlukannya. Kabel yang menghubungkan mereka tidak kasat-mata. Kabel mereka langsung ke atas sana tanpa batas.

Ini bukan MTQ yang didukung uang belanja negara, memperebutkan hadiah dan dahaga liputan media massa. Mereka adalah para hafiz dan hafizah yang sangat sederhana, nyaris miskin serta tidak dikenal di atas buminya sendiri tapi insya Allah mereka masyhur fissama’.
Saya bayangkan malaikat berjuta-juta melindungi jamaah Quran ini, melingkari tanah dan melindungi langit di atas tenda itu. Sayap-sayap mereka berkelepakan. Lewat Surah Ad-Dhuha menuju An-Nas, bacaan makin menggetar mengharukan dalam paduan suara mereka. Selesai minal jinnati wannas, jamaah melaju ke Fatihah dan Baqarah 284-286. Lalu ditutup dengan serangkaian doa panjang, yang dibasahi oleh air mata penduduk yang hadir. Betapa beruntungnya saya ikut di kursi pinggir menadahkan dua telapak tangan dan mengucapkan “amin” bersama para hafiz dan hafizah itu.

Kedahsyatan doa khatam Quran para hafiz dan hafizah di kawasan petani bawang itu, menurut catatan pengalaman pribadi saya, cuma dua-tiga derajat di bawah kedahsyatan doa Arafah di bulan Zulhijjah dan doa tahajud sepertiga Ramadhan di Masjidil Haram.

Sesudah beberapa kali mcngalami gebyar-gebyar MTQ dunia di kota-kota besar, MTQ akhirat yang amat bersahaja dan tidak cari publikasi di kawasan petani bawang ini terasa jauh lebih ikhlas dan rendah hati dalam perasaan saya.
Sumber: Majalah UMMAT No. 17 Thn. I. 19 Februari 1996/29 Ramadhan 1416 H

On Label: | 0 Comment

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog