Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

Sebuah studi baru menunjukkan, puasa dapat membantu memerangi pertumbuhan sel kanker. Menurut laporan yang dipublikasikan di Science Tsanslational Medicioe, puasa mampu memperlambat pertumbuhan berbagai bentuk kanker termasuk kanler payudara, melanoma, glioma dan neuroblastoma.

Studi tersebut menggunakan tikus sebagai hewan uji, dan menemukan sel tumor merespons berbeda terhadap stres yang ditimbulkan saat berpuasa dibandingkan sel normal. Sel-sel yang diketahui sebagai penyakit itu terus tumbuh dan membagi dan pada akhirnya menghancurkan diri mereka sendiri. 

Sel tersebut seperti melakukan bunuh diri. Sel kanker berusaha untuk mengompensasi kekurangan dari semua hal yang hilang dalam darah setelah puasa. Temuan baru ini menunjukkan, siklus pendek puasa memperlambat pertumbuhan dan penyebaran berbagai jenis kanker pada tikus. Puasa dikombinasikan dengan kemoterapi menghasilkan tingkat kelangsungan hidup lebih baik {bagi penderitanya} di semua kasus kanker yang dipelajari.

Dalam studi sebelumnya, peneliti telah menemukan bahwa puasa melindungi sel-sel normal terhadap kemoterapi dengan membawa mereka ke keadaan tidak aktif.

Sumber : majalah sakinah, ramadhan-syawal 1433 H.

On Label: , , | 0 Comment


“Janganlah pandang hina musuhmu karena jika ia menghinamu, itu ujian tersendiri bagimu,” (syair Imam Syafi’i).
**
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan Buya Hamka adalah ulama besar yang meninggalkan jejak kebaikan bagi umat dan bangsa ini.
Semasa hidup, ulama kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini dikenal sebagai sosok ulama yang santun dalam bermuamalah, namun tegas dalam akidah.
“Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak mana pun,” demikian tegasnya ketika dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Hamka  adalah salah seorang ulama yang mendapat gelar Doktor Honouris Causa dari Universitas Al-Azhar, Mesir, karena kiprah dakwahnya dalam membina umat. Ia dikenal dengan fatwanya ketika menjabat sebagai Ketua MUI, yakni fatwa haram bagi umat untuk Islam mengikuti “Perayaan Natal Bersama”.
Ia juga yang menolak undangan untuk bertemu Paus, pemimpin Katolik dunia, ketika sang Paus datang berkunjung ke Istana Negara pada masa Presiden Soeharto. Dengan tegas, Buya Hamka mengatakan perihal alasan penolakannya bertemu Paus tersebut.
“Bagaimana saya bisa bersilaturrahmi dengan beliau, sedangkan umat Islam dengan berbagai cara, bujukan dan rayuan, uang, beras, dimurtadkan oleh perintahnya?” demikian alasan Buya Hamka.
Begitulah ketegasan Buya Hamka dalam soal akidah. Namun dalam bermuamalah, ia  santun dan lembut. Sikapnya mencerminkan pribadinya. Ia sosok pemaaf, tak pernah menaruh dendam…
Baru-baru ini, anak kelima dari Buya Hamka, Irfan Hamka, merilis ulang sebuah buku yang menggambarkan tentang sosok dan pribadi ulama tersebut. Buku berjudul “Ayah” itu menceritakan pengalaman hidup Irfan Hamka bersama sang ayah, dan suka duka perjalanan hidup ayah tercintanya, baik sebagai tokoh agama, politisi, sastrawan, dan kepala rumah tangga.
Sebelumnya, putra kedua Buya Hamka, Rusjdi Hamka, juga pernah menulis buku yang mengisahkan tentang sosok sang ayah, yang berjudul “Pribadi dan Martabat Buya Hamka”.
Ada hal menarik yang diceritakan dalam buku “Ayah” tersebut. Terutama tentang bagaimana sosok pribadi Buya Hamka ketika menghadapi orang-orang yang pernah memfitnah, membenci, dan memusuhinya.
Sebagai ulama yang teguh pendirian, tentu ada pihak yang tak suka dengan sikapnya. Irfan Hamka menceritakan bagaimana sikap Buya Hamka terhadap tiga orang tokoh yang dulu pernah berseberangan secara ideologi, memusuhi, membenci, bahkan memfitnahnya.
Ketiga tokoh tersebut adalah Soekarno (Presiden Pertama RI), Mohammad Yamin (tokoh perumus lambang dan dasar negara RI), dan Pramoedya Ananta Toer (Budayawan Lekra/Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi seni dan budaya yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia).
Betapapun ketiga tokoh itu membenci dan memusuhi Buya Hamka, namun akhir dari kesudahan hidupnya mereka justru begitu menghormati dan menghargai pribadi dan martabat Buya Hamka.
Soekarno ketika menjabat sebagai Presiden RI dan memaksakan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), menahan Buya Hamka selama dua tahun empat  bulan dengan tuduhan yang tidak main-main: terlibat dalam rencana pembunuhan Presiden Soekarno.
Pada 28 Agustus 1964, Buya Hamka ditangkap dan dijerat dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No. 11.  Hamka ditahan tanpa proses persidangan dan tidak diberikan hak sedikit pun untuk melakukan pembelaaan. Tak hanya itu, buku-buku karyanya pun bahkan dilarang untuk diedarkan.
Hamka dijebloskan ke penjara, diperlakukan bak penjahat yang mengancam negara. Begitu zalimnya sikap Soekarno terhadap ulama tersebut.
Namun apa yang terjadi, setelah bebas dari penjara, dan Buya Hamka sudah mulai beraktivitas kembali, sementara kekuasaan Soekarno sudah terjungkal, peristiwa mengharukan pun terjadi.
Soekarno yang mulai hidup terasing dan sakit-sakitan, di akhir hayatnya kemudian menitipkan pesan kepada orang yang dulu pernah dizaliminya. Pesan tersebut disampaikan kepada Buya Hamka lewat ajudan Presiden Soeharto, Mayjen Soeryo, pada 16 Juni 1970.
Isi pesan tersebut berbunyi, “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku…”
Hamka terkejut. Pesan tersebut ternyata datang seiring dengan kabar kematian Soekarno. Tanpa pikir panjang, ia kemudian melayat ke Wisma Yaso, tempat jenazah Bung Karno disemayamkan.
Sesuai wasiat Soekarno, Buya Hamka pun memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara itu. Dengan ikhlas ia menunaikan wasiat itu, mereka yang hadir pun terharu.
Lalu, apakah Buya Hamka tidak menaruh dendam pada Soekarno. Dengan ketulusan ia mengatakan, “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa itu semua merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan kitab tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk menyelesaikan pekerjaan itu…”
Peristiwa mengharukan lainnya tentang kebesaran jiwa Buya Hamka dalam memaafkan orang-orang yang pernah membencinya adalah terkait dengan kematian Mohammad Yamin, salah seorang tokoh kebangsaan yang juga termasuk perumus dasar dan lambang negara.
Meski berasal dari Sumatera Barat, namun Yamin adalah produk pendidikan sekular. Ia aktif di Jong Sumatranen Bond (Ikatan Pemuda Sumatra) yang bercorak kesukuan dan sekular. Ia juga menjadi anggota Gerakan Theosofi, sebuah organisasi kebatinan (Yahudi) yang juga mengedepankan sekularisme dan paham kebangsaan.
Mohammad Yamin begitu membenci Buya Hamka karena perbedaan ideologi. Ia aktif di Partai Nasionalis Indonesia (PNI), sedangkan Buya Hamka aktif di Partai Masyumi. PNI menginginkan Pancasila sebagai dasar negara, sementara Partai Masyumi berpegang teguh pada sikap ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Kebencian Yamin tersulut, ketika dalam Sidang Majelis Konstituante, dengan lantang Buya Hamka berpidato dan mengatakan, “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka!”
Pidato Buya Hamka yang tegas tersebut kemudian menyulut kebencian Mohammad Yamin. Ia menyuarakan kebenciannya kepada Hamka dalam berbagai kesempatan, baik ketika di ruang Sidang Konstituante, ataupun dalam berbagai acara dan seminar.
“Rupanya bukan saja wajahnya yang memperlihatkan kebencian kepada saya, hati nuraninya pun ikut membeci saya,” begitu kata Buya Hamka.
Tahun 1962, Mohammad Yamin jatuh sakit dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Buya Hamka memantau perkembangannya lewat radio dan media massa cetak.
Hingga tiba pada suatu hari, Chaerul Saleh, menteri di kabinet Soeharto menelponnya dan ingin menyampaikan kabar mengenai kesehatan Mohammad Yamin.
Chaerul Saleh mengatakan kepada Hamka, “Buya, saya membawa pesan dari Pak Yamin. Beliau sakit sangat parah. Sudah berhari-hari dirawat. Saya sengaja menemui Buya untuk menyampaikan pesan dari Pak Yamin, mungkin merupakan pesan terakhir beliau,” ujarnya.
Hamka yang tertegun kemudian bertanya, “Apa pesannya?” Sang menteri itu kemudian mengatakan,”Pak Yamin berpesan agar saya menjemput Buya ke rumah sakit. Beliau ingin menjelang ajalnya, Buya dapat mendampinginya. Saat ini, Pak Yamin dalam keadaan sekarat,” terangnya.
Selain itu, kata sang menteri, “Beliau mengharapkan sekali, Buya bisa menemaninya sampai ke dekat liang lahatnya.” Kepada Buya Hamka, Menteri Chaerul Saleh juga mengatakan, “Yamin khawatir, masyarakat Talawi, Sumatera Barat, tempatnya berasal, tidak berkenan menerima jenazahnya.”
Mendengar penuturan Chaerul Saleh, saat itu juga Buya Hamka kemudian minta diantar ke RSPAD, tempat Yamin terbaring sakit. Melihat kedatangan Hamka, Yamin yang tergolek lemah kemudian melambaikan tangan. Hamka mendekatinya, kemudian menjabat hangat tangannya. Yamin memegang erat tokoh yang dulu pernah dimusuhinya itu. Sementara Hamka terus membisikkan ke telinga Yamin surat Al-Fatihah dan kalimat tauhid, “Laa ilaaha illallah.”
Dengan suara lirih, Yamin mengikuti. Namun tak berapa lama, tangannya terasa dingin, kemudian terlepas dari genggaman Buya Hamka.
Mohammad Yamin menghembuskan nafas terakhirnya di samping sosok yang dulu menjadi seterunya. Di akhir hayat, Yamin berpegangan erat dengan sosok yang pernah dibencinya itu, seolah ingin menghapuskan segala sengketa yang pernah ada.
Orang yang hadir ketika itu mungkin terlibat dalam keharuan yang sangat. Memenuhi wasiat Yamin, Hamka pun kemudian turut mengantar jenazah salah seorang tokoh nasional itu sampai ke pembaringan terakhirnya.
Cerita terakhir adalah tentang Buya Hamka dan Pramoedya Ananta Toer. Keduanya berseberangan secara ideologi. Pram, sapaan akrab sastrawan itu, menyuarakan aspirasi kaum kiri dan aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI.
Lewat rubrik Lentera di Surat Kabar Bintang Timoer, Pram dan kawan-kawannya tak henti-hentinya menyerang Hamka. Karya-karya novel Hamka dituding sebagai plagiat, pribadinya diserang sedemikian rupa. Fitnah dan penghinaan itu tak lain karena Buya Hamka adalah seorang sastrawan yang anti Komunis, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi.
Namun takdir perseteruan itu menemukan jalan ceritanya yang sungguh mengharukan. Suatu ketika, Astuti, putri Pramoedya mengutarakan keinginannya untuk menikah. Ia sudah menentukan calon pendamping bernama Daniel Setiawan.
Pram tentu bersenang hati atas keinginan anaknya tersebut. Namun ada satu ganjalan di hatinya. Sang calon menantu yang berasal dari peranakan etnis Tionghoa, ternyata berlainan keyakinan dengan putrinya.
“Saya tidak rela anak saya kawin dengan orang yang secara kultur dan agama berbeda,” ujar Pram, sebagaimana disampaikannya kepada Dr Hoedaifah Koeddah, dokter yang mengobatinya dan dekat dengan keluarganya.
Singkat cerita, Pram kemudian meminta putri dan calon menantunya itu untuk datang menemui Buya Hamka, sosok ulama yang menjadi seterunya. Ia meminta calon menantunya itu untuk belajar Islam kepada Hamka.
“Saya lebih mantap mengirimkan calon menantuku untuk di-Islamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik,” demikian Pram menjelaskan.
Bersama Astuti, sang calon menantu Pram itu kemudian mendatangi kediaman Buya Hamka. Ia menceritakan maksud kedatangan, agar Buya bersedia mengajarkan calon suaminya itu ajaran-ajaran Islam. Setelah itu, ia memperkenalkan diri sebagai anak dari Pramoedya Ananta Toer.
Buya Hamka tertegun sejenak, raut wajahnya seperti ingin meneteskan air mata. Ia kemudian dengan ikhlas membimbing sejoli itu untuk belajar Islam. Tak lupa pula, ia menitipkan salam untuk ayah sang putri itu. Suasana begitu haru.
Astuti, putri Pramoedya itu tak menyangka, sosok yang dulu begitu dibenci oleh ayahnya, ternyata adalah lelaki yang bersahaja dan berlapang dada. Ia sungguh terharu, dan berterimakasih bisa diterima untuk menimba ilmu (Islam). Mereka kemudian larut dalam kehangatan dan melupakan segala dendam.
Begitulah sosok Buya Hamka. Ulama yang tegas dan bersahaja. Lelaki yang tak pernah memelihara dendam dalam hatinya, meski musuh yang begitu membencinya sudah tak berdaya.
Buya Hamka adalah sosok yang berjiwa besar, berlapang dada, dan menganggap segala kebencian bisa sirna dengan saling memaafkan dan menebarkan cinta. Keteladanannya kini, tetap bersinar seperti mutiara… (Artawijaya/salam-online.com)
- See more at: http://salam-online.com/2013/07/belajar-memaafkan-pada-buya-hamka.html#sthash.0u22qBac.dpuf

On Label: , , | 0 Comment

Oleh: Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D
PENDAHULUAN
Kemendikbud telah menyiapkan Kurikulum 2013 yang diklaim sebagai penyempurnaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diluncurkan pada tahun 2006 lalu. Benarkah demikian  ? Hemat saya KTSP secara konsep jauh lebih baik, tapi dibiarkan gagal oleh Kemendikbud sendiri dengan tidak menyiapkan guru yang cakap dalam jumlah yang memadai.
Kurikulum 2013 dinyatakan sebagai respons terhadap perkembangan mutakhir sekaligus hasil sigi internasional seperti PISA, TIMSS dan PIRLS yang menempatkan warga muda Indonesia di papan bawah komunitas global di bidang matematika, sains, dan ketrampilan membaca.
Hemat saya, wacana Kurikulum 2013 berpotensi  menyembunyikan dua akar masalah pokok pendidikan Indonesia saat ini, yaitu tata kelola pendidikan yang buruk (poor education governance) dan guru yang tidak kompeten. Otak-atik kurikulum jauh lebih gampang dan enak daripada memperbaiki tata kelola pendidikan dan menyiapkan guru yang kompeten.
Kurikulum terbaik sekalipun pasti akan gagal di tangan guru yang tidak kompeten. Sebaliknya, di tangan guru yang kompeten, kurikulum yang sederhana akan menghasilkan proses belajar yang bermutu. Otak-atik kurikulum adalah cara gampangan yang tidak mendasar dalam perbaikan pendidikan Indonesia, dan sekaligus membiarkan ketidakcakapan dan ketidakberdayaan komunitas guru sebagai pintu masuk bagi intervensi politik dan pragmatisme proyek hingga ketingkat sekolah seperti pengadaan buku-buku wajib yang tidak bermutu tapi menghabiskan ratusan Milyar atau bahkan Triliunan Rupiah.
Banyak studi di dunia menunjukkan bahwa Tata Kelola Pendidikan yang buruk adalah sumber korupsi. Saat ini pengelolaan pendidikan Indonesia sangat centralised and executive-heavy sehingga terlalu berorientasi pasokan. Akibatnya pendidikan semakin tidak relevan dan kebutuhan murid yang beragam cenderung tidak diperhatikan. Amanat UU 20 tentang Sisdiknas pasal 38 terlanggar oleh praksis pendidikan saat ini apalagi oleh Kurikulum 2013.
Salah satu agenda penting dalam perbaikan Tata Kelola Pendidikan adalah desentralisasi dan diversifikasi pendidikan. Desentralisasi pendidikan yang penting tidak saja dengan penguatan prakarsa Kabupaten dan Kota dalam pengelolaan pendidikan daerah, tapi juga penguatan organisasi profesi guru dan penguatan Dewan Pendidikan Daerah serta asosiasi wali murid (Parents Association)sebagai wakil konsumen pendidikan. Sertifikasi guru seharusnya dilakukan secara independen oleh organisasi profesi guru, bukan oleh Kemendikbud atau LPTK.
Agenda setting pengelolaan pendidikan, termasuk evaluasi dan kurikulum baru, seharusnya dilakukan oleh Dewan Pendidikan Daerah setelah berkonsultasi dengan Asosiasi Wali Murid di daerah, bukan ditentukan oleh penerbit buku atau kontraktor proyek Kemendikbud dan Dinas Pendidikan Daerah. Dalam era otonomi dan demokrasi ini, Kemendikbud seharusnya tidak “segemuk” sekarang.
Di dasar analisis saya, wacana kurikulum sebagai taruhan bonus atau tagihan demografi dipijakkan pada paradigma sekolah : Memperbaiki kurikulum adalah memperbaiki sekolah, dan memperbaiki sekolah adalah memperbaiki pendidikan. Padahal belajar sebagai inti dari pendidikan sebenarnya tidak membutuhkan sekolah. Artinya, pendidikan universal yang bermakna tidak mungkin tercapai dengan mengandalkan sistem persekolahan, apalagi sekedar otak-atik kurikulum belaka. Fakta empiris Indonesia maupun global tidak membuktikan secara meyakinkan bahwa semakin banyak sekolah menjadikan masyarakat semakin terdidik.
PENDIDIKAN DI ERA INTERNET
Di era internet ini ternyata iman kebanyakan kita pada sekolah tidak tergoyahkan sama sekali. Oleh Mendikbud otak-atik kurikulum sebagai bagian penting sebuah sekolah seakan-akan menjadi taruhan besar  bangsa ini. Padahal taruhan besar itu tidak di persekolahan, apalagi di kurikulum, tapi di pendidikan. Inti pendidikan adalah belajar. Tidak bersekolah tidak perlu membuat kita khawatir. Yang merisaukan adalah jika anak-anak tidak belajar.
Dengan internet belajar semakin tidak membutuhkan sekolah, apalagi kurikulum. Membentuk karakter pun hanya bisa dilakukan secara efektif dengan praktek di luar sekolah. Selama beberapa dekade terakhir ini terlihat bahwa semakin banyak sekolah tidak menyebabkan masyarakat kita makin terdidik. Hasil sigi internasional terbaru oleh PISA maupun TIMSS serta PIRLS juga menunjukkan murid Indonesia tertinggal pada kemampuan berpikir tingkat tinggi, dan kemampuan membacanya juga tertinggal dibanding teman-teman sebayanya. Artinya, sekolah Indonesia tidak membekali murid dengan kompetensi yang penting untuk hidup di abad 21.
KURIKULUM
Kurikulum adalah serangkaian hasil belajar yang diharapkan, dan seluruh proses yang menghasilkan pengalaman belajar, serta mekanisme evaluasi hasil belajar murid di bawah panduan guru di sekolah. Jadi kurikulum adalah atribut penting sistem persekolahan. Segera perlu dicatat bahwa mekanisme evaluasi merupakan komponen kurikulum yang penting. Salah satu penyebab kegagalan KTSP adalah Ujian Nasional yang ikut menentukan kelulusan sehingga menggiring proses belajar yang tidak pernah menghasilkan hasil belajar yang diharapkan. Kurikulum 2013 akan digagalkan oleh UN yang sama, kecuali jika dilakukan reposisi UN.
Siapa yang membutuhkan kurikulum  ? Sekolah, Yayasan pengelola sekolah,  guru yang bekerja di sekolah, Dinas Pendidikan, Kemendikbud,  para ahli kurikulum, dan penerbit yang mau mencetak buku wajib yang akan dipakai di sekolah. Asumsi dasar pada setiap penyusunan kurikulum adalah bahwa anak akan mencapai prestasi belajar maksimal jika  melalui serangkaian instruksi dan lingkungan buatan, serta mekanisme evaluasi yang terstruktur dan terencana.  Saya berkeyakinan asumsi ini agak meremehkan kecanggihan manusia beserta semua perangkat belajarnya yang telah diciptakan oleh Tuhan sebagai ciptaan terbaik. Manusia bisa belajar dalam situasi apapun, bahkan dalam situasi yang paling getir sekalipun. Bahkan manusia belajar jauh lebih banyak dari pengalamannya di luar sekolah.
Murid sekolah sebenarnya tidak membutuhkan kurikulum resmi yang kaku. Bahlan anak yang cerdas sebenarnya tidak membutuhkan sekolah. Kebanyakan anak-anak kita sebenarnya cerdas. Di banyak sekolah kecerdasan mereka sering diremehkan oleh proses belajar yang tidak menantang yang disajikan oleh guru yang tidak kompeten. Kecerdasan merekapun sering diukur oleh instrumen yang tidak cocok, seperti tes pilihan ganda. Puncak penghinaan atas kecerdasan ini adalah Ujian Nasional yang dibantu oleh mesin pemindai ikut-ikutan menentukan kelulusan mereka. Akibat proses yang salah ini, kecerdasan anak-anak ini justru menurun dan mereka justru kehilangan jati diri dan percaya diri.
Di Sulawesi Selatan, anak nelayan yang cerdas tidak pergi ke sekolah, tapi membantu ayahnya melaut mencari ikan. Anak yang tidak terlalu cerdas justru disuruh ke sekolah. Para nelayan Bugis itu secara intuitif tahu bahwa bagi anak yang cerdas, tidak banyak yang bisa dipelajari di sekolah. Gejala seperti ini terjadi juga di Madura. Statistik yang menyatakan bahwa lama bersekolah menunjukkan tingkat keterdidikan seseorang atau suatu daerah tidak sepenuhnya benar. Asumsi statistik itu adalah semakin lama bersekolah makin baik dan makin terdidik. Asumsi ini harus dipertanyakan.
Sesungguhnya hanya anak yang malas dan berkebutuhan khusus yang memerlukan kurikulum yang“well-designed” oleh para teknokrat ahli. Anak-anak normal tidak membutuhkannya. Dengan bermain di ruang terbuka dan di alam anak-anak belajar jauh lebih banyak daripada di kelas yang sempit di sebuah tempat yang kita sebut sekolah. Neurosains menemukan bahwa ruang kelas adalah tempat paling buruk bagi proses belajar. Bekal terpenting bagi anak-anak normal ini adalah akhlaq yang baik, kegemaran membaca, ketrampilan menulis, berhitung, berbicara dan kesempatan praktek yang memadai bagi ketrampilan-ketrampilan untuk hidup secara produktif.
SCHOOLISM
Kita sudah kecanduan sekolah sehingga tidak mampu membayangkan dunia tanpa sekolah. Padahal masyarakat tanpa sekolah itu ada dan pernah ada dengan kualitas kehidupan yang jauh lebih baik daripada sebuah schooled society yang dengan congkak kita sebut modern ini. Masyarakat adat yang jauh dari sekolah yang ada di daerah pedalaman lebih tahu caranya hidup bersahabat dengan alam daripada masyarakat Jakarta yang tidak tahu caranya membuang sampah. Tapi orang kota memandang remeh masyarakat adat sebagai kampungan dan terbelakang.
Dalam perspektif sejarah, sekolah semula dibuat untuk menyiapkan buruh yang akan mengisi pabrik-pabrik yang tumbuh akibat revolusi industri di Inggris sekitar abad 17 setelah James Watt menemukan mesin uap. Sebelum itu masyarakat tidak mengenal sekolah. Tradisi universitas muncul jauh mendahului tradisi sekolah. Oxford, Cambridge umurnya sudah 700 tahun. Baitul Hikmah di Baghdad ada beberapa ratus tahun sebelum Oxford. Sebelum pergi ke universitas masyarakat pra-revolusi industri praktis belajar secara otodidak atau melalui proses belajar non-formal atau  bahkan informal. Yang dikenal hanya ijazah sarjana, magister atau doktor. Itupun diberikan jika mahasiswanya meminta. Jadi, sekolah adalah fenomena yang umurnya kurang dari 200 tahun. Dalam 200 tahun itulah proses perusakan ekosistem global terjadi secara masif yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah evolusi manusia.
JEJARING BELAJAR
Untuk memastikan pendidikan universal bagi kebanyakan anak-anak Indonesia, yang diperlukan bukan pembesaran sistem persekolahan. Yang diperlukan adalah pengembangan sebuah jejaring belajar(learning webs) yang lentur, luwes, lebih non-formal, bahkan informal. Sekolah hanya salah satu simpul dalam jejaring belajar tsb. Bengkel, toko, klinik, studio, lembaga penyiaran, penerbit, perpustakaan kecamatan, restoran, koperasi, gereja, kuil, dan masjid dapat menjadi simpul-simpul belajar. Simpul belajar yang pertama dan utama adalah keluarga di rumah. Bukti kompetensi bisa ditunjukkan dengan sertifikat kompetensi profesi yang diterbitkan oleh asosiasi profesi, bukan dengan ijazah. Namun syarat-syarat formalistik inipun sebaiknya diberlakukan secara sukarela. Sertifikat kompetensi bisa menjadi indikator kompetensi yang lebih baik daripada ijazah.
Kegagalan sistem persekolahan ditunjukkan secara gamblang di abad 21 di depan mata kita oleh krisis hutang (pribadi, korporasi dan negara) di Amerika Serikat dan Eropa yang dengan kekaguman kita sebut modern itu. AS adalah negara dengan hutang terbesar di dunia. Keberlimpahan “negara kesatu” itu ternyata dicapai melalui hutang untuk membiayai gaya hidup yang sangat konsumtif, boros energi dan merusak lingkungan. Padahal baik AS maupun Eropa adalah masyarakat yang “paling bersekolah” dengan “kurikulum yang paling canggih”.
Formalisme kronis persekolahan harus dikurangi seminimal mungkin. Oleh Illich ini disebut deschooling. Saat ini di Indonesia schoolism sudah pada tingkat yang berbahaya. TK saja mengeluarkan ijazah. Ijazah seolah menjadi bukti kompetensi seseorang. Kasus ijazah palsu yang marak terjadi adalah bukti bahwa memang masyarakat lebih membutuhkan ijazah daripada kompetensi. Hanya yang butuh ijazah yang butuh sekolah. Kita yang tidak butuh ijazah tidak butuh sekolah, apalagi kurikulum. Tanpa kurikulum resmi sekolah akan baik-baik saja. Tanpa sekolahpun kita sebenarnya baik-baik saja. Kita boleh mulai khawatir kalau kita tidak belajar.
PENUTUP
Hiruk pikuk Kurikulum 2013 berpotensi menyembunyikan masalah pokok pendidikan Indonesia : tata kelola yang buruk dan guru yang tidak cakap. Jikapun kita masih percaya dan membutuhkan sekolah, kita tidak membutuhkan kurikulum baru. KTSP dan Standar Nasional Pendidikan secara konsep sudah memadai dan memberi ruang bagi diversifikasi dan inovasi.
Yang kita butuhkan adalah guru-guru yang cakap yang bersama Komite Sekolah mengembangkan kurikulum yang cocok dengan potensi daerah yang unik, dan relevan dengan kebutuhan murid sebagai subyek yang cerdas yang unik pula. Kita membutuhkan guru yang cakap yang menghargai kecerdasan murid-muridnya, yang dapat kita percayai untuk mengevaluasi penguasaan kompetensi murid-muridnya secara multi-ranah multi-cerdas. Kita tidak membutuhkan guru pemalas dan tidak bertanggungjawab yang mengevaluasi murid-muridnya dengan tes tulis pilihan-ganda yang bisa diserahkan kepada mesin pemindai.
Jika pendidikan hendak kita jadikan sebagai strategi kebudayaan, maka yang kita harus kerjakan adalah membangun dan menghargai tradisi otodidak. Kita harus mengurangi kecenderungan sekolah memonopoli pendidikan, merampasnya dari tanggungjawab pribadi dan keluarga. Kesaktian kurikulum dan sekolah hanyalah mitos belaka.
*Prof. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D adalah guru besar pada Jurusan Teknik Kelautan ITS, mantan Ketua Dewan Pendidikan Jatim, Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Cab. Surabaya.
http://syukriy.wordpress.com/2013/02/21/kita-tidak-butuh-sekolah-apalagi-kurikulum/

On Label: , , | 0 Comment

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.