Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

On Label: | 1 Comments

SILAKAN DI DOWNLOAD DI SINI http://www.4shared.com/file/lRPMBkwy/JAWABAN_KAS_KECIL_PT_ANDIKA.html
http://www.4shared.com/file/lRPMBkwy/JAWABAN_KAS_KECIL_PT_ANDIKA.html

On Label: , , | 0 Comment

Rasulullah & Saintis

6
“Dari Abi Hurairah r.a berkata bahawa Rasulullah SAW telah bersabda yang bermaksud: Apabila lalat jatuh ke dalam minuman salah seorang di antara kamu maka rendamkanlah lalat itu kemudian buanglah. Kerana pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat ubat.
Hadis ini benar-benar pelik. Bolehkah lalat yang dikenali sebagai binatang pengotor mempunyai penawar kepada penyakit yang dibawanya?
Secara Logik
Lalat memang dikenali sebagai binatang pengotor dan pembawa penyakit. Hal ini sepertimana yang telah diterangkan dalam hadis di atas ‘sesungguhnya pada sebelah sayapnya terdapat penyakit’. Namun perlu difikirkan kenapakah kekotoran, iaitu merujuk kepada pelbagai jenis bakteria yang terdapat pada tubuh badan lalat ini tidak mengakibatkan penyakit kepada lalat itu sendiri?
Jawapannya adalah kerana lalat memiliki daya tahanan badan semulajadi yang menghasilkan sejenis toksin yang bertindak sebagai penawar (antidote) yang memelihara dirinya daripada bahaya bakteria-bakteria tersebut.
Secara Saintifik
Islam menghendaki kita supaya menjaga kebersihan bukan sahaja pada pakaian dan tempat tinggal malah pada makanan dan juga minuman. Rasulullah SAW amat menitikberatkan hal ini sehinggakan apabila seekor lalat pun yang memasuki makanan atau minuman, baginda menyuruh kita berwaspada terhadap penyakit yang bakal menimpa seperti keracunan makanan dan sebagainya.
Sitoplasma dapat membunuh kuman dari lalat
Apa yang disebutkan di dalam hadis di atas telah pun dibuat kajian oleh para saintis pada zaman kemudiannya. Contohnya pada tahun 1871, Prof. Brefild, Ilmuwan Jerman dari Universiti Hall menemui mikroorganisma jenis Fitriat yang diberi nama Ambaza Mouski dari golongan Antomofterali. Mikroorganisma ini hidup di bawah tingkat zat minyak di dalam perut lalat. Ambaza Mouski ini berkumpul di dalam sel-sel sehingga membentuk kekuatan yang besar. Kemudian sel-sel itu akan pecah dan mengeluarkan sitoplasma yang dapat membunuh kuman-kuman penyakit. Sel-sel tersebut terdapat di sekitar bahagian ke tiga dari tubuh lalat, iaitu pada bahagian perut dan ke bawah.
Kemudian pada tahun 1947, Ernestein seorang Inggeris juga menyelidiki Fitriat pada lalat ini. Hasil penyelidikannya menyimpulkan bahawa fitriat tersebut dapat memusnahkan pelbagai bakteria.
Tahun 1950, Roleos dari Switzerland juga menemui mikroorganisma ini dan memberi nama Javasin. Para peneliti lain iaitu Prof. Kock, Famer (Inggeris), Rose, Etlengger (German) dan Blatner (Switzerland) melakukan penyelidikan dan membuat kesimpulan yang sama tentang mikroorganisma pada lalat sekali gus membuktikan bahawa pelbagai penyakit dan bakteria pada lalat hanya terdapat pada hujung kakinya saja dan bukan pada seluruh badannya. Justeru mikroorganisma yang dapat membunuh kuman itu tidak dapat keluar dari tubuh lalat kecuali setelah disentuh oleh benda cair. Cairan ini dapat menambah tekanan pada sel-sel yang mengandungi mikroorganisma penolak kuman sehingga pecah dan memercikkan mikroorganisma istimewa ini.
Maka adalah ternyata bahawa apa yang dikatakan oleh Rasulullah adalah benar iaitu saranan baginda kepada kita agar menenggelamkan lalat terlebih dahulu ke dalam air bagi mengeluarkan mikroorganisma penolak kuman dari badan lalat tersebut, dalam erti kata bahawa badannya harus dibasahkan sebelum membuangnya dan air yang menjadi tempat pendaratan lalat tadi dapat diminum dengan selamat. Subhanallah betapa hebatnya junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.

On Label: , | 0 Comment


Hatta Syamsuddin
Trainer Motivasi Keislaman dan Keluarga Romantis
Penulis Buku Muhammad SAW The Inspiring Romance


  1. Kamis pagi (kemarin) pekan gaji jadwal saya di masjid agung surakarta, pagi tadi mengambil inspirasi dari #inspiringMiqdad , slamat menyimak tweeps.
  2. Miqdad bin Amir dikenal sebagai penunggang kuda (pasukan kavaleri) pertama dalam sejarah Islam. Penunggang kuda bukan tugas biasa2 saja.
  3. Penunggang Kuda /Fursan adalh pasukan yang berada digaris depan, dan menjadi target empuk sasaran panah lawan, dialah daya dobrak pasukan.
  4. Dalam perang badar, hanya tiga saja penunggang kuda ! yang lainnya berjalan kaki dan mengendarai onta. maka Miqdad fursan utama.
  5. Miqdad termasuk yang pertama masuk islam, dia ada dalam urutan ke tujuh mereka yang gagah memproklamirkan keislamannya.
  6. Perannya dalam perang Badr, membuat ibnu Mas'ud 'iri' seraya menyatakan : posisi miqdad saat itu lebih aku cintai dari dunia seisinya !
  7. Perang badar ujian berat kaum muslimin yg masih sedikit, tak terduga menyambut musuh yg begitu kuat tertata, pilihan berat ada dihadapan.
  8. Maka Rasul yang mulia pun membuka majelis musyawarah, agar yang ragu menjadi kuat, yang takut menjadi semangat, semua bebas berpendapat.
  9. Setelah abu bakar dan umar mengungkapkan persetujuannya untuk terus mendukung Rasul bergerak maju, giliran Miqdad mengajukan pendapatnya.
  10. Ucapan Miqdad melenggang melintasi sejarah, terngiang begitu gagah melibas gundah dan ragu di dada sebagian besar prajurit badar.
  11. Miqdad : Ya Rasulullah, jangan ragu! Laksanakan apa yang dititahkan Allah. Kami akan bersamamu.
  12. Demi Allah kami tdk akan berkata spt yg dikatakan Bani Israel kpd Musa, ‘Pergilah kamu bersm Tuhanmu & berperanglah! Kami duduk2 di sini.’
  13. Miqdad : Tetapi kami akan mengatakan kepadamu, ‘Pergilah bersama Tuhanmu dan berperanglah! Kami akan berperang di sampingmu.’
  14. Demi yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran! Seandainya engkau membawa kami menerjuni lautan lumpur, kami akan patuh.
  15. Kami akan berjuang bersamamu dengan gagah berani hingga mencapai tujuan, dan kami akan bertempur di sebelah kanan dan di sebelah kirimu, di bagian depan dan di bagian belakangmu, sampai Allah memberimu kemenangan.”
  16. Ucapan tersebut memotivasi sahabat lainnya, membakar semangat untuk total berjuang, bahkan membuat Saad bin Muadz dari Anshor terpana.
  17. Bahkan Rasulullah SAW pun tersenyum dan mendoakannya, dilain kesempatan sabda beliau begitu menggugah kita ttg sosok #InspiringMiqdad.
  18. Testimoni Rasulul ttg #InspiringMiqdad : Tuhanku memerintahkanku untuk mencintaimu, dan memberitahukan kepadaku bahwa Dia mencintaimu !
  19. Pasukan badar pun bergejolak hebat, siap menerjang pasukan kekufuran .#InspiringMiqdad sang penunggang kuda mendobrak di barisan depan.

*)https://twitter.com/#!/hattasyamsuddin

*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia

On Label: , , | 0 Comment


KulTwit @SalimAfillah : Kisah Sang Penguasa

Diposkan olehDPC PKS PIYUNGANdiSabtu, Oktober 08, 2011


Salim A. Fillah
Dewan Syariah PKS Kota Jogja
Pembina Majelis Jejak Nabi Masjid Jogokariyan Jogja


  1. Ini salah satu #kisah tentang Zhu Yuanzhang (1328-1398); pendiri Dinasti Ming yang mengakhiri penjajahan Mongol atas Cina; Kaisar Hongwu.
  2. Beberapa tahun setelah dia bertahta (1368), kekaisaran baru yang dipimpinnya mengalami paceklik; dampak perang mengusir penjajah.
  3. Sang Kaisar prihatin; terlebih dia melihat, dalam kesengsaraan rakyatnya itu, beberapa pejabat & menteri masih bermewah & berfoya.
  4. Maka pada suatu hari; Sang Kaisar menyelenggarakan pesta ulangtahun permaisurinya dengan mengundang semua pejabat & para menteri.
  5. Hadir pula para satrawan, sarjana, & para panglima. Saat masing-masing sudah menghadap meja makan, Sang Kaisar memanggil pelayan.
  6. "Sajikan hidangan pertama!", perintahnya. Para dayang pun menghantarkan piring-piring berisi LOBAK REBUS. Hadirin ternganga.
  7. "Ah", ujar Kaisar tertawa, "Leluhur mengatakan lobak lebih bagus daripada obat. Ada pepatah 'Lobak masuk kota, toko obat tutup!"
  8. "Para pejabat terkasih, setelah kalian memakan lobak ini, rakyat akan berkata: Pejabat masuk kota, masalahpun sirna! Mari makan!"
  9. Sebab Kaisar memberi contoh & lahap sekali makan lobak; para pejabat tak punya pilihan selain ikut bersantap. Lalu hidangan kedua!
  10. Ternyata makanan selanjutnya ialah Jiu Cai (sawi hitam) yang biasa dimakan rakyat fakir. "Sayur hitam; lambang hati yang tulus!"
  11. "Siapa yang memakannya, akan dicintai rakyat! Mari semuanya, kita bersantap!", perintahnya sambil memberi contoh dengan semangat.
  12. "Alangkah jujur & bersihnya lobak, alangkah lembut & harumnya Jiu Cai. Demikianlah kita menjadi pejabat, menikmati kekayaan kerajaan, harus mampu menyelesaikan persoalan rakyat!"
  13. Lalu Kaisar bertepuk aba-aba, datanglah hidangan berikutnya.
  14. Kali ini semangkuk Sup Tahu dengan Bawang. "Tahu & bawang ini bersih & bercahaya, bagaikan matahari & bulan umpama!", sambutnya.
  15. "Ya adalah ya, tidak adalah tidak; dengan keadilan, dinasti kita akan jaya selamanya!", pungkas Kaisar sambil menyesap supnya.
  16. Hadirin mengira, setelah hidangan bersahaja tapi penuh arahan itu usai; akan disajikan jamuan utama yang mewah seperti umumnya.
  17. Tapi lama dinanti, dayang & pelayan tak kunjung muncul. Hadirin mulai tegang & gelisah. Melihat itu Kaisarpun berdiri & bertitah.
  18. "Semua pejabat berlutut & dengarkan titahku! Mulai hari ini, tiap pesta hanya boleh menghidangkan paling banyak 3 sayur & 1 sup!"
  19. Mendengar suara Kaisar yang tegas, tak cuma berlutut, sebagian pejabat bahkan bersujud. "Ulangtahun permaisuri ini jadi contoh!"
  20. "Siapa yang berani melanggar; kepalanya akan dipenggal." Semua hadirin terpaku. Para menteri mematuhi. Para panglima mengiyakan.
  21. Para sarjana & satrawan menulis & menyebarkan titah Kaisar itu ke seluruh penjuru. Gaya hidup sederhanapun merebak di mana-mana.
  22. Rakyatpun jadi tenteram hatinya; mereka lebih giat bekerja. Sejarah mencatat; dalam 2 tahun, paceklik berubah menjadi kemakmuran.
  23. Bermula dari teladan makan sederhana; Kaisar menjadikan pemerintahannya dicinta, & rakyatpun terilham tuk berjuang bagi negara.
  24. Sekian dulu ya Shalih(in+at); #kisah memperbaiki negara. Kita lanjut 'Umar ibn 'Abdil 'Aziz.

*)https://twitter.com/#!/salimafillah

*posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Indonesia

On Label: , | 0 Comment

dakwatuna.com – “Orang-orang yang berkumpul karena cinta saja masih bisa menimbulkan kekecewaan, bagaimana dengan orang-orang yang kumpul karena kecewa?” demikian pesan yang saya tulis di dinding fesbuk saya, beberapa waktu yang lalu. Apa yang ingin saya sampaikan dalam pesan tersebut?
Pesan utama saya adalah tentang mengelola perasaan kecewa, maaf beribu maaf, beberapa postingan saya di blog ini telah menyampaikan pesan yang sama. Namun saya masih sering menjumpai keluhan kekecewaan, termasuk hari Ahad kemarin (11 September 2011), saat saya menghadiri acara Syawalan para aktivis dakwah di GOR Giri Wahana, Wonogiri, Jawa Tengah.
Saya mendapatkan sms cukup panjang dari seorang sahabat, yang tengah mengalami kekecewaan yang mendalam dengan komunitasnya, beberapa menit sebelum saya harus “naik panggung” untuk memberikan Tausiyah Syawal. Saya cukup tersentak dengan isi sms tersebut, karena sangat lama tidak bertemu dan tidak mendengar berita tentang sahabat yang satu ini. Tiba-tiba mengirim pesan sms yang isinya ungkapan kekecewaan.
Mengapa muncul kecewa ? Kita mulai dari yang paling sederhana. Dalam proses pernikahan, bersatunya seorang lelaki dan seorang perempuan dalam bahtera rumah tangga, diikat dengan kuat oleh rasa cinta. Mereka saling mencintai, maka mereka melangkah bersama membangun keluarga, dan merajut berbagai harapan dan cita-cita. Di tengah jalan, dua orang yang saling mencinta ini, bisa saling kecewa. Suami kecewa terhadap isteri, dan isteri kecewa kepada suami.
Orang tua dan anak-anak dalam sebuah keluarga, tentunya mereka saling mencinta. Mereka berada dalam sebuah biduk rumah tangga, saling mencintai dan menyayangi satu dengan yang lain. Namun, anggota keluarga yang saling mencintai ini dalam perjalanannya bisa saling kecewa. Orang tua kecewa dengan anak-anak, atau anak-anak kecewa kepada orang tua. Bahkan di antara anak-anak, bisa muncul kekecewaan sesama mereka. Bukankah mereka berkumpul dengan ikatan dan energi cinta ? Ternyata masih bisa memunculkan perasaan kecewa di antara orang-orang yang saling mencinta.
Dakwah dibangun dengan ikatan cinta. Gerbong dakwah melaju dengan berbagai proses dan dinamika, menuju harapan dan cita-cita yang telah dicanangkan. Dalam perjalanan inilah muncul friksi, muncul perbedaan pandangan, muncul gesekan satu dengan yang lain. Di antara orang-orang yang saling mencinta, akhirnya muncul perasaan kecewa. Muncul tuduhan, muncul praduga, muncul syak wasangka.
Nabi saw adalah manusia pilihan, tanpa cacat dan cela sebagai seorang teladan. Para sahabat adalah generasi pilihan, yang menjadi generasi terbaik sepanjang sejarah Islam. Namun para sahabat sempat memiliki simpanan kekecewaan sesaat setelah Perjanjian Hudaibiyah selesai dikonstruksi Nabi saw dan Suhail. Lihat ekspresi kekecewaan mereka. Tiga kali Nabi saw memerintahkan, tak seorangpun dari para sahabat yang melaksanakan. Hanya dalam peristiwa Perjanjian Hudaibiyah ini saja peristiwa itu mengemuka, tak pernah ada kejadian yang serupa.
Kita juga ingat gumpalan kekecewaan sebagian sahabat dalam kisah pembagian harta seusai perang Hunain. Abu Sufyan bin Harb, tokoh penentang Islam sejak awal dakwah di Makah itu, telah mendapatkan bagian seratus ekor unta dan empat puluh uqiyah perak. Demikian pula Yazid dan Mu’awiyah, dua orang anak Abu Sofyan, mendapat bagian yang sama dengan bapaknya. Kepada tokoh-tokoh Quraisy yang lain beliau memberikan bagian seratus ekor unta. Adapula yang mendapatkan bagian lebih sedikit dari itu, hingga seluruh harta rampasan habis dibagikan.
Melihat pembagian itu, para sahabat Anshar memandang lain. Muncullah gejolak di kalangan sahabat Anshar, hingga seorang di antara mereka berkata, ”Mudah-mudahan Allah memberikan ampunan kepada RasulNya, karena beliau telah memberi kepada orang Quraisy dan tak memberi kepada kami, padahal pedang-pedang kami yang menitikkan darah-darah mereka.” Adapula di antara mereka yang berkata, “Rasulullah sekarang telah menemukan kembali kaum kerabatnya.”
Dalam kisah “pembangkangan” para sahabat usai Perjanjian Hudaibiyah dan kekecewaan usai Perang Hunain, semua berakhir dengan sangat indah dan cepat. Nabi saw sebagai qiyadah menyelesaikan suasana dengan sangat tepat, sehingga kekecewaan tidak membesar dan menjalar. Ini karena kepribadian Nabi sebagai manusia pilihan yang dikuatkan dengan wahyu, sehingga beliau tidak akan salah langkah. Tindakan beliau selalu tepat.
Jika Kanjeng Nabi yang tanpa cela saja masih mendapatkan lontaran kekecewaan, bagaimana dengan kita yang sama sekali bukan Nabi, bukan pula sahabat Nabi, bukan muridnya para sahabat, bukan pula murid para tabi’in…. Jika sahabat Nabi saya masih bisa menyimpan kekecewaan, bagaimana dengan kita yang tidak memiliki kualitas sebagai sahabat Nabi….
Kita hidup di zaman cyber, semua kejadian, semua peristiwa, semua kondisi dengan sangat cepat tersebar. Sangat cepat, tanpa batas, tanpa jeda waktu. Melalui emai, milis, twitter, fesbuk, blackberry messenger, sms, telpon dan lain sebagainya. Semua, apa saja terberitakan. Sayang, banyak yang tidak bisa membedakan mana data dan mana analisa. Semua berita yang muncul di internet dan dunia maya dianggap kebenaran.
Di tengah kita tidak ada Kanjeng Nabi. Tatkala berbagai berita berseliweran tentang qiyadah, tentang dakwah, tentang jama’ah, dan tentang “segala sesuatu” yang cenderung menjadi gosip, sikap kita hendaknya mencontoh perilaku Kanjeng Nabi dan para sahabat beliau. Tentu saja tidak akan bisa sama sepenuhnya, namun jangan sampai lepas dari contoh keteladanan mulia mereka.
Apa keteladanan mulia dari mereka ? Sangat banyak tentu saja. Pertama, landasan hubungan di antara Nabi dengan para sahabat adalah cinta kasih. Cinta dan kasih sayang timbal balik, telah terbentuk sangat kuat antara para sahabat dengan Nabi. Ini yang menyebabkan bahasa hati mereka selalu menyambung, selalu bertemu, selalu berada dalam kebersihan dan kebaikan.
Kedua, didahulukannya sikap husnuzhan kepada qiyadah. Kendati ada kekecewaan, mereka tetap memiliki sikap yang positif sehingga mudah mendengarkan penjelasan dari Nabi. Mereka mudah mendengar dan menerima penjelasan Kanjeng Nabi, tanpa membantah dan menggerutu di belakang. Ini karena sikap positif yang mereka miliki, selalu tsiqah dengan qiyadah.
Ketiga, para sahabat tidak membesar-besarkan dan mendramatisir permasalahan, sehingga masalah berada dalam ruang lingkup yang terbatas. Mereka tidak mengorganisir kekecewaan untuk dijadikan alasan memberontak atau tidak setia kepada qiyadah. Kisah kekecewaan para sahabat di Hudaibiyah sangat natural, tidak digerakkan, tidak diorganisir oleh seseorang. Kisah kekecewaan paska perang Hunain segera terlokalisir dengan disampaikannya hal tersebut kepada Nabi saw.
Keempat, mereka tidak mengungkit-ungkit lagi permasalahan tersebut setelah selesainya kejadian. Setelah permasalahan selesai, clear, terang benderang, mereka kembali berkumpul, berjama’ah, berkegiatan bersama, seperti tidak pernah ada kejadian sebelumnya. Mereka tidak lagi mengungkit-ungkit “si Fulan dan si Falun ini dulu pernah melontarkan kekecewaan kepada Nabi”. Persoalan selesai, maka mereka kembali bersama seperti semula. Tidak ada dendam, tidak ada permusuhan yang terwariskan. Tidak ada sakit hati yang tersimpan.
Jadi, kita hanya perlu duduk bersama. Mendengarkan bagian-bagian cerita, merangkai berbagai peristiwa, mencoba membuat sederhana hal-hal yang seakan-akan dibuat dan tampak sedemikian rumitnya. Jika memang ada yang terbukti melakukan kesalahan, tentu saja perlu diberikan teguran atau sanksi sesuai aturan organisasi dan sesuai tingkat kesalahan yang dilakukan. Namun jika yang terjadi hanyalah kesalahpahaman, maka tidak ada yang perlu diteruskan atau diperpanjang lagi. Semua sudah selesai, clear, dan saling memaafkan atas hal yang tidak pada tempatnya.
Jadi, tidak perlu membuat perkumpulan karena kekecewaan. Tidak perlu membuat organisasi karena sakit hati. Tidak perlu konsolidasi untuk menyatukan pihak-pihak yang merasa kecewa atau merasa terzalimi. Karena perkumpulan seperti apa yang akan terbentuk, dari jiwa-jiwa kecewa ? Organisasi seperti apa yang akan muncul, dari hati-hati yang menyimpan benci ? Toh kelak ketika terbentuk organisasi, pasti ada yang kecewa lagi.
Mari duduk saja bersama-sama. Membingkai hati, mengeja keinginan jiwa. Berbicara dengan bahasa ruhani, bukankah kita semua ini para kader yang saling mencinta ? Bukankah kita semua telah berikrar untuk selalu berada di jalanNya ? Termasuk ketika menyelesaikan permasalahan ? Bukankah kita semua sangat mencintai jalan dakwah ini ? Lalu mengapa harus mengambil langkah sendiri hanya karena tidak bisa memahami keputusan organisasi ?
Wallahu a’lam. Saya hanya sulit mengerti, mengapa ada organisasi yang didirikan karena kekecewaan dan sakit hati. Padahal, aktivitas yang dirintis dengan sepenuh cinta saja, masih bisa menumbuhkan rasa kecewa.
Pancoran Barat, 13 September 2011

On | 0 Comment

Selasa, 04 Oktober 2011 08:05 WIB
Oleh: Ustadz Muhammad Arifin Ilham

Sebagai anak bangsa, penulis bermimpi dengan negeri ini. Indah sekali jika menyaksikan para pejabat atau pemegang kekuasaan di negeri ini berduyun-duyun menuju masjid ketika azan berkumandang. 'Arasy-Nya pasti bergetar dan para malaikat pun dibuat terpana, ketika saat-saat krusial sidang kabinet atau rapat paripurna seorang presiden atau wakilnya dan atau ketua DPR tiba-tiba menskorsing rapat. Kemudian, memerintahkan para menteri atau wakil rakyat yang Muslim untuk bergegas memenuhi panggilan suci dan bersegera mendirikan shalat, mulai dari dirinya sendiri, sebagai seorang presiden atau pimpinan di DPR.

Situasi panas atau alot ketika rapat, pelan-pelan akan terkurangi bersamaan basuhan segar air wudhu. Dalam barisan yang rapat dan lurus, mereka pun tegak berdiri menghadap Allah. Bersama-sama mengangkat tangan, membesarkan Sang Pencipta, takbiratul ihram. Mereka juga bersama-sama uluk salam, menengok kanan dan kiri, menebar keselamatan dan kesejahteraan antarsesama. Lalu duduk sesaat, untuk berzikir dan berdoa. Memohon supaya Sang Maha Menatap memberi kebaikan dan jalan keluar dari setiap persoalannya. Allahu akbar, rasanya damai dan tenang. Pastinya tidak akan pernah terbetik untuk saling menyerang antarmereka. 

Lebih-lebih ketika shalat usai, kemudian dilanjutkan dengan musafahah, saling bersalaman. Bisa dipastikan cair sudah hubungan alot mereka. Dalam keadaan muka bergurat aura surga tersebut, mereka jalan beriringan dan mendiskusikan persoalan rakyat dan umat yang belum sempat selesai. Menyaksikan seperti itu, malaikat turut berdoa, rahmat dan berkah-Nya untuk mereka.

Rasulullah SAW sangat mencintai masjid, malah saking cintanya akan masjid beliau mendirikan rumah di samping masjid. Masjid itu kunci keberkahan. Baaraknaa haulahu. Kalau seorang suami atau ayah pergi ke masjid, maka istri dan anak-anaknya diberkahi. Kalau pedagang berangkat ke masjid, insya Allah perdagangannya akan diberkahi. Begitu juga, jika pemimpin di negeri ini mau ke masjid, utamanya di waktu Subuh, pastilah penduduknya akan diberkahi. (QS at-Taubah [9]: 18).

Telah lama masjid-masjid di negeri ini bersedih. Ditinggalkan dari lautan peran yang belum maksimal. Mari saatnya kembali ke masjid dengan tujuan memakmurkan dan menghidupkannya, agar kita diberkahi dan diridai.
Banyak sosok manusia besar lahir dari pembiakan syiar dan keberkahan masjid. Masjid adalah sebuah tempat pengaderan pribadi-pribadi tangguh. Rasulullah SAW telah memberi contoh dengan menjadikan syiar masjid sebagai proyek pertama amal jama'i. 

Dari masjid lahirlah manusia-manusia besar. Ada negarawan besar seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Para penakluk seperti Hamzah, Khalid bin Walid, Saad bin Abi Waqqash, Amr bin Ash, dan Usamah bin Zaid. Ulama-ulama seperti Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas'ud, Zaid bin Tsabit, dan Muadz bin Jabal. Intelijen andal seperti al-Abbas dan Salman al-Farisi. Pengusaha-pengusaha hebat seperti Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah. Dan perawi hadis brilian seperti Abu Hurairah dan Aisyah. Ala kulli hal, kita semua bermimpi akan negeri bermasjid ini.

On | 0 Comment

Republika.co.id

Selasa, 04 Oktober 2011 10:16 WIB
Senin itu (4 Oktober 2010), kota kecil Wasior dikejutkan dengan datangnya banjir bandang yang secara tiba-tiba menyapu semua daerah yang dilaluinya. Tidak ada yang siap dengan apapun. Anak-anak kecil terseret banjir lumpur, ibu hamil berjuang melawan arus air yang membawanya ke lautan lepas, seorang nenek terendam hingga batas leher di pasar tanpa tahu akan selamat atau tidak. Keluarga terpisah, pasangan tercerai paksa, harta kembali kepada-Nya yang mempunyai semua harta.

Jumat siang itu (8 Oktober 2010), saya sedang praktik di Klinik Sosial MER-C di Sorong, Papua Barat, sebelum mendapat perintah berangkat hanya satu jam sebelum kapal WWF (World Wild Fund) yang bersedia membawa kami ke Wasior berangkat. Obat-obat dimasukkan sembarangan ke kotak-kotak, baju disesakkan ke tas, hati disiapkan dan diikhlaskan.

Kami menerabas lautan lepas Papua Barat dengan sejenis speedboat dengan transit untuk mengisi logistik di Manokwari. Lebih dari 24 jam berikutnya kami sudah menghirup udara Wasior yang masih tercium bau tidak sedap.

Saya ingat malam itu juga saya ikut rapat dengan para relawan yang sudah sampai, dipimpin oleh Kadinkes setempat. Di dalam tenda yang temaram itu, satu demi satu rencana dikaji ulang, evaluasi kegiatan harian, dan pembagian tim untuk esok hari. Begitu setiap malam. 

Tim dari tentara, Kemenkes, PMI, dan teman-teman dokter PTT yang alhamdulillah bisa selamat dari bencana tersebut, tampak masih bersemangat walaupun terlihat sekali mereka sudah sangat kelelahan karena hampir seminggu ini kerja tanpa henti dengan sarana dan prasarana yang terbatas.

Kadang-kadang saya masih heran bisa menginjakkan kaki di daerah-daerah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Langkah mana di hidup saya yang membuat saya menjalani ini? Tapi tidak ada perasaan menyesal. Tidak ada perasaan berat karena sulit makan, yang ada hanya rasa mual karena terlalu banyak makan mie. Tidak ada perasaan sebal karena tidur di lantai, yang ada hanya rasa pegal pada punggung yang hilang sendiri. Tidak ada perasaan susah karena harus naik long boat, walau kadang kehujanan dan ketakutan di laut, yang ada justru perasaan lega karena telah menunaikan sedikit zakat ilmu yang saya miliki, dan zakat tenaga yang memang tidak seberapa ini.

Buat saya, setiap perjalanan adalah spiritual. Seperti sebuah peribahasa “traveling teach you how to see.” Setiap perjalanan membuat kita lebih sensitif, menghargai alam dan yang menciptakannya; menghilangkan rasa arogan, karena apalah kita di tengah hutan lebat, atau sebuah perahu kayu kecil di lautan luas yang dengan mudah akan memangsa kita; menghargai hidup sampai ke setiap nafasnya karena bahkan sekumpulan air ternyata dapat membunuh kapan pun; menyadari dengan hati bahwa manusia paling primitif pun tetaplah manusia yang senyumnya dapat membuat hati tenang.

Hari pertama di Wasior

Hari pertama di Wasior, semua berjalan lambat. Ternyata selama seminggu ini, penyisiran korban dan pelayanan kesehatan cukup lambat, dan ini dikarenakan sedikitnya sarana transportasi dan medan yang masih berat. 

Air masih cukup deras mengalir di berbagai tempat, memotong jalan. Beberapa bagian lain masih terendam lumpur yang cukup dalam. Bisa dimaklumi bahwa Kadinkes pada saat itu terkesan tidak cepat dan terlalu berhati-hati. Dia tentu tidak ingin korban bertambah dari tenaga-tenaga kesehatan yang dipimpinnya. Efek buruk dari tidak cepatnya pelayanan ini adalah terjadinya eksodus besar-besaran dari warga Wasior ke berbagai pulau kecil serta ke Manokwari dan Nabire untuk mendapat pertolongan.

Hari pertama, tim kami berhasil mengumpulkan informasi bahwa ada beberapa pulau yang cukup jauh yang juga merupakan lokasi pengungsian. Kami meminta ijin dari Kadinkes untuk pergi. Kami akan diantar kapal motor dari WWF ke lokasi dan diantar warga pulang dengan long boat. Kadinkes memang tidak menyetujui rencana kami, tapi kami tetap berangkat, karena tidak ada yang tahu keadaan pengungsi di sana seperti apa.

Setelah berhasil pulang dengan selamat dua hari kemudian (dengan menaiki long boat selama lebih dari 3 jam!), barulah Kadinkes mulai yakin bisa mengirim tim-tim kesehatan dengan kapal ke berbagai pulau. Hari-hari ini juga tersiar kabar bahwa Presiden SBY akan datang.

Fakta di lapangan

Wasior juga mengajari kami satu hal: bahwa apa yang anda lihat di teve Anda, belum tentu apa yang terjadi di lapangan.

Di teve, Anda melihat tenda pengungsian, faktanya, itu dibangun sehari sebelum presiden datang. Dan para pengungsi di tenda? Entah datang darimana, karena berhari-hari kami di situ, tidak pernah ada orang-orang ini.

Anda lihat tulisan dapur umum di teve Anda? Itupun baru berdiri sebelum presiden datang, dan bubar setelah presiden pulang. Para relawan sering sekali diberi suguhan mie instan saja.

Anda juga dengar bahwa listrik sudah menyala 24 jam di Wasior? Listrik yang “dikatakan” menyala itu segera padam setelah presiden pulang.

Anda lihat juga spanduk-spanduk dari berbagai partai dan BUMN di teve? Spanduk-spanduk keren dan besar yang dipasang beberapa saat sebelum presiden datang, tanpa jelas dimana tim relawannya, dan apa yang dikerjakannya karena baru datang setelah lebih 10 hari kejadian? Lucu memang.

Lima hari di Wasior, kami pulang. Kami menilai semua lokasi pengungsian sudah berhasil di datangi oleh kumpulan tim-tim kesehatan hebat ini. Pelayanan kesehatan lokal mulai dibangkitkan kembali. Tim dokter-dokter baru berdatangan, bahkan sampai membuka Rumah Sakit sementara. Sedikit terlambat, namun tidak mengapa. Beberapa tim kesehatan yang datang lebih awal juga sudah memperiapkan kepulangannya.

Tenaga kami mungkin tidak seberapa untuk Wasior saat itu. Tapi kami pulang dengan banyak “oleh-oleh” di hati kami. Sebagian dari diri kami pun tetap tinggal di Wasior.



Dr Bintang Pramodana

Relawan Medis MER-C
Dokter PTT Cara Lain di Klinik MER-C wilayah Papua & Papua Barat (2010 – 2011)

On Label: , , | 0 Comment

Dr. Yusuf Qardhawi                                      
PERTANYAAN

Banyak perkataan dan fatwa seputar masalah (boleh  tidaknya)
laki-laki bergaul dengan perempuan (dalam satu tempat). Kami
dengar diantara ulama ada yang mewajibkan wanita untuk tidak
keluar  dari  rumah  kecuali ke kuburnya, sehingga ke masjid
pun   mereka   dimakruhkan.   Sebagian   lagi    ada    yang
mengharamkannya, karena takut fitnah dan kerusakan zaman.

Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan Ummul Mu'minin
Aisyah r.a.: "Seandainya Rasulullah saw. mengetahui apa yang
diperbuat  kaum  wanita  sepeninggal  beliau, niscaya beliau
melarangnya pergi ke masjid."

Kiranya sudah tidak samar  bagi  Ustadz  bahwa  wanita  juga
perlu keluar rumah ketengah-tengah masyarakat untuk belajar,
bekerja, dan bersama-sama  di  pentas  kehidupan.  Jika  itu
terjadi,  sudah  tentu wanita akan bergaul dengan laki-laki,
yang boleh jadi merupakan teman sekolah, guru, kawan  kerja,
direktur perusahaan, staf, dokter dan sebagainya.

Pertanyaan  kami,  apakah  setiap pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan itu terlarang atau  haram?  Apakah  mungkin
wanita  akan hidup tanpa laki-laki, terlebih pada zaman yang
kehidupan  sudah  bercampur  aduk  sedemikian  rupa?  Apakah
wanita  itu  harus  selamanya  dikurung  dalam sangkar, yang
meskipun berupa sangkar emas, ia tak lebih  sebuah  penjara?
Mengapa  laki-laki  diberi  sesuatu  (kebebasan)  yang tidak
diberikan   kepada   wanita?   Mengapa    laki-laki    dapat
bersenang-senang   dengan   udara  bebas,  sedangkan  wanita
terlarang menikmatinya? Mengapa persangkaan jelek itu selalu
dialamatkan   kepada  wanita,  padahal  kualitas  keagamaan,
pikiran, dan hati nurani wanita tidak lebih rendah  daripada
laki-laki?

Wanita   -   sebagaimana   laki-laki   -  punya  agama  yang
melindunginya, akal yang mengendalikannya, dan  hati  nurani
(an-nafs    al-lawwamah)    yang    mengontrolnya.   Wanita,
sebagaimana laki-laki, juga punya  gharizah  atau  keinginan
yang  mendorong  pada  perbuatan  buruk  (an-nafs al-ammarah
bis-su). Wanita dan laki-laki  sama-sama  punya  setan  yang
dapat  menyulap  kejelekan  menjadi keindahan serta membujuk
rayu mereka.

Yang menjadi pertanyaan, apakah semua peraturan  yang  ketat
untuk wanita itu benar-benar berasal dari hukum Islam?

Kami  mohon  Ustadz  berkenan  menjelaskan  masalah ini, dan
bagaimana seharusnya sikap kita? Dengan kata lain, bagaimana
pandangan  syariat  terhadap  masalah  ini?  Atau, bagaimana
ketentuan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih,  bukan  kata
si Zaid dan si Amr.

Semoga  Allah memberi taufik kepada Ustadz untuk menjelaskan
kebenaran dengan mengemukakan dalil-dalilnya.

JAWABAN

Kesulitan kita - sebagaimana yang sering  saya  kemukakan  -
ialah   bahwa  dalam  memandang  berbagai  persoalan  agama,
umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath  (berlebihan)
dan  tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap
tawassuth   (pertengahan)   yang   merupakan   salah    satu
keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.

Sikap  demikian  juga  sama  ketika mereka memandang masalah
pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam
hal   ini,   ada   dua   golongan   masyarakat  yang  saling
bertentangan dan menzalimi kaum wanita.

Pertama,  golongan  yang  kebarat-baratan  yang  menghendaki
wanita  muslimah  mengikuti  tradisi Barat yang bebas tetapi
merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus
serta  jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah
mengutus para rasul  dan  menurunkan  kitab-kitab-Nya  untuk
menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.

Mereka  menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan
wanita  Barat  "sejengkal  demi  sejengkal,   sehasta   demi
sehasta"  sebagaimana  yang  digambarkan  oleh  hadits Nabi,
sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk  ke  lubang
biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya.
Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar,  sempit,
dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari
sinilah lahir "solidaritas"  baru  yang  lebih  dipopulerkan
dengan istilah "solidaritas lubang biawak."

Mereka  melupakan  apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang
serta akibat buruk yang  ditimbulkan  oleh  pergaulan  bebas
itu,  baik  terhadap  wanita maupun laki-laki, keluarga, dan
masyarakat.    Mereka    sumbat    telinga    mereka    dari
kritikan-kritikan  orang yang menentangnya yang datang silih
berganti dari seluruh penjuru  dunia,  termasuk  dari  Barat
sendiri.  Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama,
pengarang,  kaum  intelektual,  dan   para   muslihin   yang
mengkhawatirkan  kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat,
terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara  laki-laki
dan perempuan benar-benar terlepas.

Mereka   lupa  bahwa  tiap-tiap  umat  memiliki  kepribadian
sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya  terhadap
alam  semesta,  kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan
budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat  melampaui
tatanan suatu masyarakat lain.

Kedua,  golongan  yang  mengharuskan  kaum  wanita mengikuti
tradisi dan kebudayaan  lain,  yaitu  tradisi  Timur,  bukan
tradisi  Barat.  Walaupun  dalam  banyak  hal  mereka  telah
dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak  lebih
kokoh  daripada  agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka
memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.

Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan
pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur'anul Karim
dan petunjuk  Nabi  saw.  serta  sikap  dan  pandangan  para
sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.

Ingin   saya   katakan   disini   bahwa   istilah  ikhtilath
(percampuran)  dalam  lapangan  pergaulan  antara  laki-laki
dengan  perempuan  merupakan  istilah  asing yang dimasukkan
dalam  "Kamus  Islam."  Istilah  ini  tidak  dikenal   dalam
peradaban  kita  selama  berabad-abad  yang  silam, dan baru
dikenal  pada  zaman  sekarang  ini  saja.   Tampaknya   ini
merupakan  terjemahan  dari  kata  asing yang punya konotasi
tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam.  Barangkali
lebih   baik  bila  digunakan  istilah  liqa'  (perjumpaan),
muqabalah  (pertemuan),   atau   musyarakrah   (persekutuan)
laki-laki dengan perempuan.

Tetapi  bagaimanapun  juga,  Islam  tidak  menetapkan  hukum
secara   umum   mengenai   masalah   ini.    Islam    justru
memperhatikannya  dengan  melihat  tujuan  atau kemaslahatan
yang    hendak    diwujudkannya,    atau     bahaya     yang
dikhawatirkannya,  gambarannya, dan syarat-syarat yang harus
dipenuhinya, atau lainnya.

Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah  petunjuk  Nabi
Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan
sahabat-sahabatnya yang terpimpin.

Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya  ia  akan
tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi
seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.

Pada zaman Rasulullah saw.,  kaum  wanita  biasa  menghadiri
shalat berjamaah dan shalat Jum'at. Beliau saw. menganjurkan
wanita  untuk  mengambil  tempat  khusus  di  shaf   (baris)
belakang  sesudah  shaf  laki-laki. Bahkan, shaf yang paling
utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa?
Karena,  dengan  paling  belakang,  mereka lebih terpelihara
dari kemungkinan melihat aurat  laki-laki.  Perlu  diketahui
bahwa   pada  zaman  itu  kebanyakan  kaum  laki-laki  belum
mengenal celana.

Pada zaman Rasulullah  saw.  (jarak  tempat  shalat)  antara
laki-laki  dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama
sekali,  baik  yang  berupa  dinding,  kayu,  kain,   maupun
lainnya.  Pada  mulanya  kaum  laki-laki dan wanita masuk ke
masjid lewat pintu  mana  saja  yang  mereka  sukai,  tetapi
karena  suatu  saat  mereka  berdesakan,  baik  ketika masuk
maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda:

"Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita"

Dari sinilah mula-mula diberlakukannya  pintu  khusus  untuk
wanita,  dan  sampai  sekarang  pintu  itu  terkenal  dengan
istilah "pintu wanita."

Kaum wanita pada  zaman  Nabi  saw.  juga  biasa  menghadiri
shalat  Jum'at,  sehingga  salah seorang diantara mereka ada
yang hafal surat "Qaf."  Hal  ini  karena  seringnya  mereka
mendengar  dari  lisan  Rasulullah  saw.  ketika  berkhutbah
Jum'at.
 
Kaum wanita juga biasa menghadiri shalat  Idain  (Hari  Raya
Idul Fitri dan Idul Adha). Mereka biasa menghadiri hari raya
Islam yang besar ini bersama  orang  dewasa  dan  anak-anak,
laki-laki  dan  perempuan,  di tanah lapang dengan bertahlil
dan bertakbir.
 
Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Athiyah, katanya:
 
"Kami diperintahkan  keluar  (untuk  menunaikan  shalat  dan
mendengarkan  khutbah)  pada  dua  hari  raya, demikian pula
wanita-wanita pingitan dan para gadis."
 
Dan menurut satu riwayat Ummu Athiyah berkata:
 
"Rasulullah saw. menyuruh kami mengajak keluar  kaum  wanita
pada  hari  raya  Fitri  dan Adha, yaitu wanita-wanita muda,
wanita-wanita yang sedang haid,  dan  gadis-gadis  pingitan.
Adapun   wanita-wanita   yang   sedang  haid,  mereka  tidak
mengerjakan  shalat,  melainkan  mendengarkan  nasihat   dan
dakwah  bagi umat Islam (khutbah, dan sebagainya). Aku (Ummu
Athiyah) bertanya, 'Ya  Rasulullah  salah  seorang  diantara
kami  tidak  mempunyai  jilbab.' Beliau menjawab, 'Hendaklah
temannya meminjamkan jilbab yang dimilikinya.'"1
 
Ini adalah sunnah yang telah dimatikan umat Islam  di  semua
negara   Islam,  kecuali  yang  belakangan  digerakkan  oleh
pemuda-pemuda Shahwah Islamiyyah (Kebangkitan Islam). Mereka
menghidupkan  sebagian  sunnah-sunnah  Nabi  saw. yang telah
dimatikan orang, seperti sunnah i'tikaf  pada  sepuluh  hari
terakhir  bulan  Ramadhan  dan  sunnah kehadiran kaum wanita
pada shalat Id.
 
Kaum  wanita  juga  menghadiri   pengajian-pengajian   untuk
mendapatkan  ilmu  bersama  kaum laki-laki di sisi Nabi saw.
Mereka  biasa  menanyakan  beberapa  persoalan  agama   yang
umumnya malu ditanyakan oleh kaum wanita. Aisyah r.a. pernah
memuji wanita-wanita Anshar yang tidak dihalangi  oleh  rasa
malu  untuk  memahami  agamanya,  seperti menanyakan masalah
jinabat,  mimpi  mengeluarkan  sperma,  mandi  junub,  haid,
istihadhah, dan sebagainya.
 
Tidak hanya sampai disitu hasrat mereka untuk menyaingi kaum
laki-laki dalam menimba-ilmu dari Rasululah saw. Mereka juga
meminta   kepada   Rasulullah  saw.  agar  menyediakan  hari
tertentu untuk mereka, tanpa disertai  kaum  laki-laki.  Hal
ini  mereka  nyatakan  terus  terang kepada Rasulullah saw.,
"Wahai Rasulullah,  kami  dikalahkan  kaum  laki-laki  untuk
bertemu  denganmu,  karena  itu  sediakanlah untuk kami hari
tertentu  untuk  bertemu  denganmu."  Lalu  Rasulullah  saw.
menyediakan  untuk  mereka  suatu hari tertentu guna bertemu
dengan   mereka,   mengajar   mereka,    dan    menyampaikan
perintah-perintah kepada mereka.2
 
Lebih dari itu kaum wanita juga turut serta dalam perjuangan
bersenjata untuk membantu tentara dan para  mujahid,  sesuai
dengan  kemampuan  mereka dan apa yang baik mereka kerjakan,
seperti merawat yang sakit dan terluka, disamping memberikan
pelayanan-pelayanan lain seperti memasak dan menyediakan air
minum. Diriwayatkan dari Ummu Athiyah, ia berkata:
 
"Saya turut berperang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh
kali,  saya tinggal di tenda-tenda mereka, membuatkan mereka
makanan, mengobati yang terluka, dan merawat yang sakit."3
 
Imam Muslim juga meriwayatkan dari Anas:
 
"Bahwa Aisyah dan Ummu Sulaim pada waktu perang Uhud  sangat
cekatan  membawa qirbah (tempat air) di punggungnya kemudian
menuangkannya ke mulut orang-orang, lalu mengisinya lagi."4
 
Aisyah r.a.   yang waktu itu sedang  berusia  belasan  tahun
menepis   anggapan   orang-orang   yang   mengatakan   bahwa
keikutsertaan kaum wanita dalam  perang  itu  terbatas  bagi
mereka  yang  telah  lanjut  usia.  Anggapan ini tidak dapat
diterima, dan apa yang dapat  diperbuat  wanita-wanita  yang
telah berusia lanjut dalam situasi dan kondisi yang menuntut
kemampuan fisik dan psikis sekaligus?
 
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa enam orang wanita mukmin turut
serta dengan pasukan yang mengepung Khaibar. Mereka memungut
anak-anak panah, mengadoni  tepung,  mengobati  yang  sakit,
mengepang  rambut,  turut berperang di jalan Allah, dan Nabi
saw memberi mereka bagian dari rampasan perang.
 
Bahkan terdapat riwayat yang sahih yang  menceritakan  bahwa
sebagian  istri  para  sahabat  ada  yang  turut serta dalam
peperangan  Islam  dengan  memanggul  senjata,  ketika   ada
kesempatan   bagi   mereka.  Sudah  dikenal  bagaimana  yang
dilakukan Ummu Ammarah Nusaibah  binti  Ka'ab  dalam  perang
Uhud,  sehingga  Nabi  saw.  bersabda mengenai dia, "Sungguh
kedudukannya lebih baik daripada si Fulan dan si Fulan."
 
Demikian pula Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu  perang
Hunain untuk menusuk perut musuh yang mendekat kepadanya.
 
Imam  Muslim  meriwayatkan  dari  Anas,  anaknya  (anak Ummu
Sulaim) bahwa Ummu Sulaim menghunus badik pada waktu  perang
Hunain,  maka  Anas menyertainya. Kemudian suami Ummu Sulaim
Abu Thalhah, melihatnya lantas berkata,  "Wahai  Rasulullah,
ini Ummu Sulaim membawa badik." Lalu Rasululah saw. bertanya
kepada Ummu Sulaim, "Untuk apa badik ini? Ia menjawab, "Saya
mengambilnya,  apabila  ada  salah seorang musyrik mendekati
saya akan saya tusuk perutnya dengan  badik  ini."  Kemudian
Rasulullah saw. tertawa.5
 
Imam Bukhari telah membuat bab tersendiri didalam Shahih-nya
mengenai peperangan yang dilakukan kaum wanita.
 
Ambisi kaum wanita muslimah pada zaman Nabi saw. untuk turut
perang  tidak hanya peperangan dengan negara-negara tetangga
atau yang berdekatan dengan negeri Arab seperti Khaibar  dan
Hunain  saja  tetapi  mereka  juga ikut melintasi lautan dan
ikut menaklukkan daerah-daerah yang jauh  guna  menyampaikan
risalah Islam.
 
Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw. tidur  siang  di  sisi  Ummu
Haram  binti  Mulhan  -  bibi  Anas - kemudian beliau bangun
seraya tertawa. Lalu Ummu Haram  bertanya,  "Mengapa  engkau
tertawa,  wahai  Rasulullah?" Beliau bersabda, "Ada beberapa
orang dari umatku yang diperlihatkan kepadaku  berperang  fi
sabilillah.  Mereka  menyeberangi  lautan  seperti raja-raja
naik kendaraan."  Ummu  Haram  berkata,  "Wahai  Rasulullah,
doakanlah  kepada  Allah  agar  Dia menjadikan saya termasuk
diantara mereka." Lalu Rasulullah saw. mendoakannya.6
 
Dikisahkan bahwa Ummu Haram ikut  menyeberangi  lautan  pada
zaman  Utsman  bersama suaminya Ubadah bin Shamit ke Qibris.
Kemudian ia jatuh dari  kendaraannya  (setelah  menyeberang)
disana,  lalu  meninggal  dan  dikubur  di  negeri tersebut,
sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli sejarah.7
 
Dalam kehidupan bermasyarakat kaum wanita juga  turut  serta
berdakwah:   menyuruh   berbuat  ma'ruf  dan  mencegah  dari
perbuatan munkar, sebagaimana firman Allah:
 
"Dan  orang-orang  yang  beriman,  laki-laki  dan  perempuan
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan)  yang  ma'ruf,  mencegah
dari yang munkar..." (at-Taubah: 71 )
 
Diantara  peristiwa  yang terkenal ialah kisah salah seorang
wanita muslimah pada zaman khalifah Umar  bin  Khattab  yang
mendebat beliau di sebuah masjid. Wanita tersebut menyanggah
pendapat Umar mengenai masalah mahar (mas  kawin),  kemudian
Umar  secara terang-terangan membenarkan pendapatnya, seraya
berkata, "Benar wanita itu,  dan  Umar  keliru."  Kisah  ini
disebutkan   oleh   Ibnu   Katsir  dalam  menafsirkan  surat
an-Nisa', dan beliau berkata, "Isnadnya  bagus."  Pada  masa
pemerintahannya,  Umar juga telah mengangkat asy-Syifa binti
Abdullah al-Adawiyah sebagai pengawas pasar.
 
Orang yang mau  merenungkan  Al-Qur'an  dan  hadits  tentang
wanita  dalam  berbagai  masa  dan pada zaman kehidupan para
rasul atau nabi, niscaya ia tidak  merasa  perlu  mengadakan
tabir  pembatas  yang  dipasang  oleh  sebagian orang antara
laki-laki dengan perempuan.
 
Kita dapati Musa - ketika masih muda  dan  gagah  perkasa  -
bercakap-cakap  dengan  dua  orang gadis putri seorang syekh
yang telah tua (Nabi Syusaib;  ed.).  Musa  bertanya  kepada
mereka  dan  mereka  pun  menjawabnya  dengan  tanpa  merasa
berdosa atau bersalah,  dan  dia  membantu  keduanya  dengan
sikap  sopan  dan  menjaga  diri.  Setelah Musa membantunya,
salah seorang di antara gadis tersebut  datang  kepada  Musa
sebagai  utusan  ayahnya  untuk  memanggil Musa agar menemui
ayahnya.  Kemudian  salah  seorang  dari  kedua  gadis   itu
mengajukan   usul   kepada   ayahnya   agar  Musa  dijadikan
pembantunya,  karena  dia  seorang  yang  kuat   dan   dapat
dipercaya.
 
Marilah kita baca kisah ini dalam Al-Qur'an:
 
"Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia
menjumpai  disana  sekumpulan  orang  yang  sedang  meminumi
(ternaknya),  dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu,
dua orang wanita yang sedang  menghambat  (ternaknya).  Musa
berkata,  'Apakah  maksudmu (dengan berbuat begitu.?)' Kedua
wanita itu menjawab,  'Kami  tidak  dapat  meminumi  (ternak
kami),   sebelum   penggembala-penggembala  itu  memulangkan
(ternaknya), sedangkan bapak  kami  adalah  orang  tua  yang
telah  lanjut  umurnya.'  Maka Musa memberi minum ternak itu
untuk (menolong) keduanya, kemudian dia  kembali  ke  tempat
yang teduh lalu berdoa, 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat
memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan  kepadaku.'
Kemudian  datanglah  kepada  Musa  salah  seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, 'Sesungguhnya
bapakku  memanggil  kamu  agar  ia  memberi balasan terhadap
(kebaikan)-mu memberi minum (ternak)kami.' Maka tatkala Musa
mendatangi  bapaknya  (Syu'aib)  dan  menceritakan kepadanya
cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata, 'Janganlah  kamu
takut.  Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.'
Salah seorang dari kedua wanita itu  berkata,  'Ya  bapakku,
ambillah  ia  sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang  kamu  ambil  untuk
bekerja  (pada  kita)  ialah  orang  yang  kuat  lagi  dapat
dipercaya.'" (al-Qashash: 23-26)

Mengenai Maryam, kita jumpai Zakaria masuk ke mihrabnya  dan
menanyakan kepadanya tentang rezeki yang ada di sisinya:
 
"... Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia
dapati makanan di sisinya.  Zakaria  berkata,  'Hai  Maryam,
dari  mana  kamu memperoleh (makanan) ini?' Maryam menjawab,
'Makanan itu dari sisi Allah.'  Sesungguhnya  Allah  memberi
rezeki  kepada  siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab."(Ali
Imran: 37)
 
Lihat  pula  tentang  Ratu  Saba,  yang   mengajak   kaumnya
bermusyawarah mengenai masalah Nabi Sulaiman:
 
"Berkata  dia  (Bilqis),  'Hai  para  pembesar,  berilah aku
pertimbangan  dalam  urusanku   (ini)   aku   tidak   pernah
memutuskan  sesuatu  persoalan  sebelum  kamu  berada  dalam
majlis-(ku).' Mereka menjawab, 'Kita adalah orang-orang yang
memilih  kekuatan  dan (juga) memilih keberanian yang sangat
(dalam peperangan), dan keputusan berada di  tanganmu;  maka
pertimbangkanlah   apa  yang  akan  kamu  perintahkan.'  Dia
berkata,  'Sesungguhnya  raja-raja  apabila  memasuki  suatu
negeri,   niscaya   mereka  membinasakannya  dan  menjadikan
penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah  yang
akan mereka perbuat." (an-Naml 32-34)
 
Berikut ini percakapan antara Bilqis dan Sulaiman:
 
"Dan  ketika Bilqis datang, ditanyakantah kepadanya, 'Serupa
inikah   singgasanamu?'   Dia   menjawab,    'Seakan    akan
singgasanamu ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan
sebelumnya dan kamõ adalah orang-orang yang berserah  diri.'
Dan   apa   yang   disembahnya   selama  ini  selain  Allah,
mencegahnya   (untuk   melahirkan   keislamannya),    karena
sesungguhnya  dia dahulunya termasuk orang-orang yang kafir.
Dikatakan  kepadanya,  'Masuk1ah  ke  dalam  istana.'   Maka
tatka1a  ia  melihat  lantai istana itu, dikiranya kolam air
yang besar, dan disingkapkannya kedua  betisnya.  Berkatalah
Sulaiman,  'Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari
kaca. 'Berkata1ah  Bilqis,  'Ya  Tuhanku,  sesungguhnya  aku
telah  berbuat  zalim  terhadap diriku dan aku berserah diri
bersama    Sulaiman    kepada    Allah,    Tuhan     semesta
alam.'"(an-Naml: 42-44)
 
Kita  tidak  boleh mengatakan "bahwa syariat (dalam kisah di
atas) adalah syariat yang hanya berlaku pada  zaman  sebelum
kita   (Islam)  sehingga  kita  tidak  perlu  mengikutinya."
Bagaimanapun, kisah-kisah yang  disebutkan  dalam  Al-Qur'an
tersebut dapat dijadikan petunjuk, peringatan, dan pelajaran
bagi orang-orang berpikiran  sehat.  Karena  itu,  perkataan
yang  benar  mengenai masalah ini ialah "bahwa syariat orang
sebelum kita yang tercantum dalam Al-Qur' an  dan  As-Sunnah
adalah  menjadi syariat bagi kita, selama syariat kita tidak
menghapusnya."
 
Allah telah berfirman kepada Rasul-Nya:
 
"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi  petunjuk  oleh
Allah, maka ikutilah petunjuk mereka ..." (al-An'am: 90)
 
Sesungguhnya  menahan  wanita  dalam rumah dan membiarkannya
terkurung didalamnya dan tidak memperbolehkannya keluar dari
rumah  oleh  Al-Qur'an  -  pada  salah  satu  tahap diantara
tahapan-tahapan pembentukan hukum sebelum turunnya nash yang
menetapkan  bentuk  hukuman pezina sebagaimana yang terkenal
itu  -  ditentukan  bagi  wanita  muslimah  yang   melakukan
perzinaan.  Hukuman ini dianggap sebagai hukuman yang sangat
berat. Mengenai masalah ini Allah berfirman:
 
"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah   ada   empat  orang  saksi  diantara  kamu  (yang
menyaksikannya).  Kemudian  apabila  mereka  telah   memberi
persaksian,  maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui  ajalnya,  atau  sampai  memberi
jalan lain kepadanya." (an-Nisa': 15 )
 
Setelah  itu  Allah  memberikan jalan bagi mereka ketika Dia
mensyariatkan hukum had, yaitu hukuman tertentu dalam syara'
sebagai  hak  Allah  Ta'ala. Hukuman tersebut berupa hukuman
dera (seratus kali)  bagi  ghairu  muhshan  (laki-laki  atau
wanita  belum kawin) menurut nash Al-Qur'an, dan hukum rajam
bagi yang mahshan (laki-laki atau wanita yang  sudah  kawin)
sebagaimana disebutkan dalam As-Sunnah.
 
Jadi,  bagaimana  mungkin  logika  Al-Qur'an  dan Islam akan
menganggap sebagai tindakan  lurus  dan  tepat  jika  wanita
muslimah  yang taat dan sopan itu harus dikurung dalam rumah
selamanya? Jika kita melakukan  hal  itu,  kita  seakan-akan
menjatuhkan  hukuman  kepadanya  selama-lamanya, padahal dia
tidak berbuat dosa.
 
KESIMPULAN
 
Dari penjelasan  di  atas,  kita  dapat  menyimpulkan  bahwa
pertemuan  antara  laki-laki  dengan  perempuan tidak haram,
melainkan  jaiz  (boleh).  Bahkan,  hal  itu   kadang-kadang
dituntut  apabila  bertujuan  untuk  kebaikan, seperti dalam
urusan  ilmu  yang  bermanfaat,   amal   saleh,   kebajikan,
perjuangan,  atau  lain-lain  yang memerlukan banyak tenaga,
baik dari laki-laki maupun perempuan.
 
Namun,  kebolehan  itu  tidak  berarti   bahwa   batas-batas
diantara  keduanya menjadi lebur dan ikatan-ikatan syar'iyah
yang baku dilupakan. Kita tidak perlu menganggap  diri  kita
sebagai  malaikat  yang  suci  yang  dikhawatirkan melakukan
pelanggaran, dan kita pun  tidak  perlu  memindahkan  budaya
Barat  kepada  kita.  Yang  harus kita lakukan ialah bekerja
sama dalam kebaikan serta  tolong-menolong  dalam  kebajikan
dan  takwa,  dalam  batas-batas  hukum yang telah ditetapkan
oleh Islam. Batas-batas hukum tersebut antara lain:
 
1. Menahan pandangan dari kedua belah pihak. Artinya, tidak
   boleh melihat aurat, tidak boleh memandang dengan syahwat,
   tidak berlama-lama memandang tanpa ada keperluan. Allah
   berfirman:
   
   "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,
   'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
   kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
   mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
   mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman,
   'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara
   kemaluannya ..."(an-Nur: 30-31)
   
2. Pihak wanita harus mengenakan pakaian yang sopan yang
   dituntunkan syara', yang menutup seluruh tubuh selain muka
   dan telapak tangan. Jangan yang tipis dan jangan dengan
   potongan yang menampakkan bentuk tubuh. Allah berfirman:
   
   "... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
   yang biasa tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
   menutupkan kain kudung ke dadanya ..." (an-Nur: 31 )
   
   Diriwayatkan dari beberapa sahabat bahwa perhiasan yang
   biasa tampak ialah muka dan tangan.
   
   Allah berfirman mengenai sebab diperintahkan-Nya berlaku
   sopan:
   
   "... Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
   dikenal, karena itu mereka tidak diganggu ..." (al-Ahzab:
   59)
   
   Dengan pakaian tersebut, dapat dibedakan antara wanita yang
   baik-baik dengan wanita nakal. Terhadap wanita yang
   baik-baik, tidak ada laki-laki yang suka mengganggunya,
   sebab pakaian dan kesopanannya mengharuskan setiap orang
   yang melihatnya untuk menghormatinya.
   
3. Mematuhi adab-adab wanita muslimah dalam segala hal,
   terutama dalam pergaulannya dengan laki-laki:
   
a. Dalam perkataan, harus menghindari perkataan yang merayu
   dan membangkitkan rangsangan. Allah berfirman:
   
   "... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
   berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
   ucapkanlah perkataan yang baik." (al-Ahzab: 32)
   
b. Dalam berjalan, jangan memancing pandangan orang. Firman
   Allah:
   
   "... Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
   perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nur: 31)
   
   Hendaklah mencontoh wanita yang diidentifikasikan oleh Allah
   dengan firman-Nya:
   
   "Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
   wanita itu berjalan kemalu-maluan ..." (al-Qashash: 25)
   
c. Dalam gerak, jangan berjingkrak atau berlenggak-lenggok,
   seperti yang disebut dalam hadits:
   
   "(Yaitu) wanita-wanita yang menyimpang dari ketaatan dan
   menjadikan hati laki-laki cenderung kepada kerusakan
   (kemaksiatan).8 HR Ahmad dan Muslim)
   
   Jangan sampai ber-tabarruj (menampakkan aurat) sebagaimana
   yang dilakukan wanita-wanita jahiliah tempo dulu atau pun
   jahiliah modern
   
4. Menjauhkan diri dari bau-bauan yang harum dan warna-warna
   perhiasan yang seharusnya dipakai di rumah, bukan di jalan
   dan di dalam pertemuan-pertemuan dengan kaum laki-laki.
   
5. Jangan berduaan (laki-laki dengan perempuan) tanpa
   disertai mahram. Banyak hadits sahih yang melarang hal ini
   seraya mengatakan, 'Karena yang ketiga adalah setan.'
   
   Jangan berduaan sekalipun dengan kerabat suami atau istri.
   Sehubungan dengan ini, terdapat hadits yang berbunyi:
   
   "Jangan kamu masuk ke tempat wanita." Mereka (sahabat)
   bertanya, "Bagaimana dengan ipar wanita." Beliau menjawab,
   "Ipar wanita itu membahayakan." (HR Bukhari)
   
   Maksudnya, berduaan dengan kerabat suami atau istri dapat
   menyebabkan kebinasaan, karena bisa jadi mereka duduk
   berlama-lama hingga menimbulkan fitnah.
   
6. Pertemuan itu sebatas keperluan yang dikehendaki untuk
   bekerja sama, tidak berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan
   wanita dari naluri kewanitaannya, menimbulkan fitnah, atau
   melalaikannya dari kewajiban sucinya mengurus rumah tangga
   dan mendidik anak-anak.
 
Catatan kaki:
 
1 Shahih Muslim, "Kitab Shalatul Idain," hadits nomor 823.
2 Hadits riwayat Bukhari dalam Shahih-nya, "Kitab al-Ilm."
3 Shahih Muslim, hadits nomor 1812.
4 Shahih Muslim, nomor 1811.
5 Shahih Muslim, nomor 1809.
6 Shahih Muslim, hadits nomor 1912.
7 Lihat Shahih Muslim pada nomor-nomor setelah hadits
  di atas. (penj.).
8 Mumiilat dan Maailaat mengandung empat macam pengertian.
  Pertama, menyimpang dari menaati Allah dan tidak mau
  memenuhi kewajiban-kewajibannya seperti menjaga kehormatan
  dan sebagainya, dan mengajari wanita lain supaya berbuat
  seperti ite. Kedua, berjalan dengan sombong dan melenggak-
  lenggokkan pundaknya (tubuhnya). Ketiga, maailaat, menyisir
  rambutnya sedemikian rupa dengan gaya pelacur.
  Mumiilaat: menyisir wanita lain seperti sisirannya.
  Keempat, cenderung kepada laki-laki dan berusaha menariknya
  dengan menampakkan perhiasannya dan sebagainya
  (Syarah Muslim, 17: 191 penj.).
 
                                      
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X

On Label: , , | 0 Comment

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog