Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

A. Latar Belakang Koreksi Fiskal :
-
Sehubungan dengan adanya perbedaan antara laba (rugi) menurut perhitungan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal ( berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 jo Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ), maka sebelum menghitung Pajak Penghasilan yang terutang, terlebih dahulu laba/rugi komersial tersebut harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
-
Dengan demikian, untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal.
-
Koreksi fiskal tersebut dilakukan baik terhadap penghasilan maupun terhadap biaya-biaya (pengurang penghasilan bruto).
B. Jenis-Jenis Koreksi Fiskal :
Jenis koreksi fiskal di sini merupakan jenis-jenis perbedaan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal (UU Nomor 10 TAHUN 1994 jo UU Nomor 17 Tahun 2000), yaitu terdiri dari :
1. Beda Tetap :
-
Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangkan menurut ketentuan PPh bukan penghasilan. Misalnya dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri dari penyertaan modal sebesar 25% atau lebih pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia.
-
Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut ketentuan PPh telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini dikenakan pajak tersendiri (final) sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung) dengan penghasilan lainnya dalam menghitung PPh yang terutang. Misalnya : penghasilan atas bunga deposito atau tabungan lainnya yang telah dipotong PPh Final oleh Bank sebesar 20%.
-
Menurut akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 ), misalnya ;
-
Biaya-biaya yang digunakan untuk memperoleh penghasilan yang bukan obyek pajak atau pengenaan pajaknya bersifat final.
-
Penggantian/imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
-
Sanksi perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.
-
Biaya-biaya yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak memenuhi syarat-syarat tertentu (misalnya ; daftar nominatif biaya entertainment, daftar nominatif atas peghapusan piutang).
2. Beda Waktu :
Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal, misalnya ;
-
Metode penyusutan
-
Metode penilaian persediaan
-
Penyisihan piutang tak tertagih
-
Rugi-laba selisih kurs
-
Dan sebagainy

On Label: , | 0 Comment

Berikut adalah Bab 2 Landasan Teori dari Penelitian Ilmiah saya di Universitas Gunadarma yang berjudul “KOREKSI FISKAL TERHADAP LAPORAN KEUANGAN KOMERSIAL DALAM PERHITUNGAN PPH BADAN TERHUTANG PADA PT SAMUDERA SHIPPING LINE, LTD”.

2.1 Pajak
Pajak merupakan salah satu wujud kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali potensi dalam negeri dan alat bagi pemerintah dalam mencapai tujuan untuk mendapatkan penerimaan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari masyarakat, guna membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat. Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu kewajiban warga negara berupa pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa Pembangunan Nasional yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara.
2.1.1 Pengertian Pajak
Pengertian pajak secara awam merupakan iuran dalam bentuk uang (bukan barang) yang dipungut oleh pemerintah (negara) dengan suatu peraturan tertentu (tarif tertentu) dan selanjutnya digunakan untuk pembiayaan kepentingan-kepentingan umum.
Menurut Undang – Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No.28/2007, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H. (1990:5), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
2.1.2 Fungsi Pajak
Ada dua fungsi pajak, yaitu :
1) Fungsi Budgetair (Pendanaan)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya, yaitu pajak dimanfaatkan sebagai instrument pengumpul dana guna membiay ai pengeluaran – pengeluaran pemerintah. Ditujukkan dengan masuknya pajak ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
2) Fungsi Regulair (Mengatur)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial ekonomi, yaitu pajak dimanfaatkan sebagai instrumen pengatur melalui kebijakan – kebijakan yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat, misalnya untuk mempercepat laju perumbuhan ekonomi, redistribusi pendapatan, dan stabilisasi ekonomi.
2.2 Pajak Penghasilan (PPh)
2.2.1 Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak (orang pribadi, badan, Bentuk Usaha Tetap (BUT)) atas penghasilan yang diterima atau yang diperolehnya dalam tahun pajak.
2.2.2 Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak adalah selisih yang didapat dari penghasilan yang merupakan objek pajak penghasilan dikurangi dengan biaya yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak dan ditambah dengan penghasilan lainnya yang merupakan objek pajak.
Penghasilan kena pajak juga bisa dihitung dari laba secara komersial dikurangi dengan koreksi fiskal. Jika Penghasilan Kena Pajak sudah diketahui, maka dapat langsung dihitung PPh Badan Terutang pada akhir tahun pajak dengan menerapkan tarif dalam Pasal 17 UU PPh Tahun 2000 yang dilakukan secara progresif tax. Secara umum, besarnya Penghasilan Kena Pajak dan PPh Badan Terutang dapat digambarkan sebagai berikut:
Laba komersial Rp XXX
Koreksi Fiskal, terdiri dari:
Koreksi (+) Rp XXX
Koreksi (-) (Rp XXX)
Penghasilan Kena Pajak Rp XXX
Atau Pajak Penghasilan (PPh) Terhutang dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
2.2.3 Tarif PPh Badan Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 17 Tahun 2000
Tabel 2.1
Tarif PPh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Berjumlah sampai Rp. 50.000.000 10%
Berjumlah Rp. 50.000.000 s.d Rp. 100.000.000 15%
Berjumlah Diatas Rp. 100.000.000 30%
2.3 Penghasilan dan Biaya Menurut SAK
2.3.1 Penghasilan Menurut SAK
Penghasilan adalah tambahan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup ekonomisnya dalam suatu periode tertentu, sepanjang tambahan kemampuan ini berupa uang atau dapat dinilai dengan uang.
Menurut PSAK No. 23, Pendapatan ialah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal perusahaan selama satu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.
2.3.2 Biaya Menurut SAK
Dalam arti luas biaya adalah pengorbanan sumber ekonomi yang diukur dalam satuan uang yang telah terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu.
Menurut Zaki Baridwan dalam buku “Intermediete Accounting”, biaya adalah aliran keluar atau pemakaian lain aktiva atau timbulnya hutang (atau kombinasi keduanya) selama satu periode yang berasal dari penyerahan atau pembuatan barang, penyerahan jasa, atau dari pelaksanaan kegiatan lain yang merupakan kegiatan utama badan usaha.
Menurut SAK dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, pegertian beban adalah penurunan manfaat ekonomis selama satu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal.
2.4 Penghasilan dan Biaya Menurut UU Perpajakan
2.4.1 Penghasilan Menurut UU Perpajakan
Menurut Judisseno (2001: 52) “Jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perorangan, badan dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkomsumsikan dan atau menimbun serta menambah kekayaan”
Para ahli menyarankan agar definisi penghasilan yang terpakai hendaknya komprehensif tidak memandang sumbernya, artinya dari apa atau dari mana saja sumber tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa dapat dipakai memenuhi kebutuhan, legal atau illegal, halal atau haram, termasuk hadiah, pembebasan hutang, menang undian dan lain-lain.
Dalam UU PPh No. 7 Tahun 1983 yang diubah dengan UU PPh No. 17 Tahun 2000 pasal 4 ayat (1) yang menjadi objek pajak adalah peghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
2.4.1.1 Penghasilan yang Termasuk Objek Pajak
a. Penggantian atau imbalan berkenaaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
b. Hadiah dari undian, pekerjaan, kegiatan, dan penghargaan laba usaha
c. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
d. Penerimaan kembali pembyaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
e. Bunga termasuk premium, diskonto, imbalan karena jaminan pengembalian hutang
f. Royalty, Deviden dengan nama dalam bentuk apapun
g. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
h. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
i. Keuntungan karena pembebasan hutang
j. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
k. Premi asuransi
l. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
m. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usahanya atau pekerjaan
n. Tambahan kegiatan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
2.4.1.2 Penghasilan yang Bukan Objek Pajak
a. Harta termasuk setoran tunai yang diterima Badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
b. Bantuan, sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
c. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dan oleh badan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
d. Warisan
e. Dividen atau bagian laba yang diterima akibat penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan;
2. Pemilikan saham paling rendah 25% dari jumlah modal disetor dari Perusahaan yang memberi Dividen.
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kecelakaan, kesehatan, jiwa, dwiguna, dan beasiswa.
g. Iuran yang diterima dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan.
h. Bagian laba yang diterima anggota perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.
i. Penghasilan yang sudah dikenakan PPh final.
j. Bunga obligasi yang diterima perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali jumlahnya tidak lebih dari 350 juta rupiah yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, termasuk:
1. KUKESRA (Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera)
2. KUT (Kredit Usaha Tani)
3. KPRSS (Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana)
4. KUK (Kredit Usaha Kecil)
5. Kredit lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan BI dalam rangka mengembangkan usaha kecil dan koperasi (yang merupakan jumlah kumulatif dari satu atau beberapa bank kreditur)
2.4.1.3 Penghasilan yang Dikenakan Pajak PPh Final
Berdasarkan UU PPh Pasal 4 ayat (2) terdapat beberapa jenis penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final. PPh bersifat final artinya PPh yang dipotong atau dibayar sendiri dari suatu penghasilan tertentu pada saat terjadinya dan tidak lagi diperhitungkan dalam SPT TAHUNAN BADAN walaupun tetap dilaporkan dalam SPT.
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang Negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi.
b. Penghasilan berupa hadiah undian.
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura.
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa kontruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan.
e. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
2.4.2 Biaya Menurut UU Perpajakan
Menurut pajak, tidak semua biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat diakui sebagai pengurang, meskipun biaya tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha. Hal ini disebabkan karena meurut ketentuan pajak, biaya fiskal digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yakni biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
2.4.2.1 Biaya yang Dapat Dikurangkan
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
termasuk biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan
pekerjaan/jasa termasuk upah, dan lain-lain atau biaya-biaya yang
lazimnya disebut dengan biaya sehari-hari yang dibebankan pada
tahun pengeluaran yang diperlukan.
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak atas biaya lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun.
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan Menteri Keuangan.
4. Kerugian karena penjualan/pengalihan harta.
5. Kerugian karena selisih kurs mata uang asing.
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia.
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
8. Piutang tak tertagih
9. Pemupukan dana cadangan
10. Sumbangan yang dapat dibiayakan
2.4.2.2 Biaya yang Tidak Dapat Dikurangkan
1. Pembayaran dividen, pembagian laba atau pembagian sisa hasil
usaha (koperasi)
2. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
3. Premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa
4. Pemberian kenikmatan
5. Hibah, bantuan dan sumbangan
6. Pajak Penghasilan
7. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak-
pihak tertentu
8. Biaya atau pengeluaran untuk kepentingan pribadi
9. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan yang modalnya
tidak terbagi atas saham
10. Sanksi Pajak
2.5 Koreksi Fiskal
Untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal. Koreksi fiskal meliputi pengakuan pendapatan dan biaya yang dapat berupa koreksi positif dan koreksi negatif.
2.5.1 Koreksi Fiskal Positif
Koreksi Fiskal Positif adalah koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan meningkatnya laba kena pajak yang pada akhirnya akan membuat PPh Badan Terhutangnya juga akan meningkat.
Koreksi fiskal positif diantaranya:
a. Biaya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara pendapatan
b. Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang PKP
c. Biaya yang diakui lebih kecil, seperti penyusutan, amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan menurut WP lebih tinggi
d. Biaya yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
e. Biaya yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final
2.5.2 Koreksi Fiskal Negatif
adalah koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan menurunnya laba kena pajak yang membuat PPh badan terhutangnya juga akan menurrun.
Koreksi fiskal negatif diantaranya :
a. Biaya yang diakui lebih besar, seperti penyusutan menurut WP lebih rendah, selisih amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan pengakuannya
b. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
c. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final
2.6 Perbedaan Koreksi Fiskal
Terdapat perbedaan dalam perlakuan penetapan pendapatan dan biaya menurut Undang-Undang Perpajakan Nomor 17 Tahun 2000 dengan Standar Akuntansi Keuangan sebagai akibat dari adanya beda tetap dan beda sementara; perlakuan akuntansi terhadap perbedaan tersebut perlu dilakukan rekonsiliasi antara laporan keuangan komersil dengan laporan keuangan fiskal; dan pengaruh perbedaan tersebut terhadap laporan keuangan yaitu pada besarnya jumlah pajak terutang dan jumlah laba usaha.
2.6.1 Beda Tetap (Permanent Difference)
Bagi perusahaan: semua pemasukan adalah pendapatan yang akan menambah laba kena pajak , dan semua pengeluaran adalah beban yang akan mengurangi laba kena pajak.
Bagi Ditjend Pajak: tidak semua pemasukan adalah faktor penambah laba kena pajak, ada beberapa jenis pendapatan yang bukan merupakan faktor penambah laba kena pajak karena pendapatan tersebut sudah dikenakan pajak bersifat final, dan tidak semua pengeluaran adalah faktor pengurang laba kena pajak karena ada beberapa jenis pengeluaran yang sesungguhnya bukan merupakan bagian dari kegiatan perusahaan (sumbangan, entertain tanpa daftar normatif). Di dalam Akuntansi Perpajakan perbedaan ini disebut dengan BEDA TETAP (Permanent Difference).
Tabel 2.2
Perincian Beda Tetap Menurut SAK dan Menurut Fiskal
No Jenis Perbedaan Menurut SAK Menurut Fiskal
1 Penghasilan Bunga Bank Penghasilan di luar usaha Sudah dipotong PPh yang bersifat final
2 Penghasilan Deviden Penghasilan di luar usaha Masuk dalam pengecualian objek pajak
3 Biaya Sumbangan/Hadiah Biaya (tercantum dalam laba/rugi) Tidak mengurangi penghasilan
4 Keuntungan dari penyertaan saham di BEI Penghasilan di luar usaha Tidak menambah penghasilan
5 Penghasilan dari sumbangan/hibah Penghasilan luar biasa Tidak menambah penghasilan
6 Tunjangan pegawai dalam bentuk natura Penghasilan (bagi pegawai) dan biaya (bagi pemberi kerja) Tidak mengurangi penghasilan
7 Biaya Entertainment Dapat dimasukkan sebagai biaya Sebagai deductible expense jika ada daftar nominatifnya, dan sebaliknya.
8 Biaya denda dan bunga pajak Pengurang penghasilan Non deductible expense
9 Hibah/Warisan Dapat diperhitungkan sebagai biaya/penghasilan luar biasa Non deductible expense
2.6.2 Beda Waktu (Time Difference)
Perbedaan lainnya adalah perbedaan yang diakibatkan karena bedanya saat pengakuan (waktu pengakuan) baik itu terhadap pendapatan maupun beban (pendapatan/beban tangguhan), juga akibat perbedaan beban penyusutan dimana pihak Ditjend Pajak menggunakan metode penyusutan Garis Lurus (Straight Line Method) sementara perusahaan mungkin menggunakan metode penyusutan yang lain, yang oleh karenanya mengakibatkan adanya perbedaan alokasi beban penyusutan. Prakiraan Umur ekonomis atas aktiva tetap juga turut memberi kontribusi atas perbedaan tersebut. Dengan kata lain perbedaan metode yang digunakan antara akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal. Dalam Akuntansi Perpajakan ini disebut dengan BEDA WAKTU (Time Difference).
Tabel 2.3
Perincian Beda Waktu Menurut SAK dan Menurut Fiskal
No Jenis Perbedaan Menurut SAK Menurut Fiskal
1.
2. Kerugian Piutang
Depresiasi dan Amortisasi Ada dua metode pengakuan : metode cadangan dan langsung
a. Depresiasi dihitung dengan mempertimbangkan nilai residu
b. Umur ekonomis tergantung dari masing-masing aktiva tetap
c. Metode depresiasi dikelompokkan ke dalam tiga kriteria : berdasarkan waktu, penggunaan, kriteria yang lainnya Metode yang diakui metode langsung (yang diakui sebagai biaya hanya yang benar-benar tidak tertagih)
a. Tidak memperhitungkan nilai residu
b. Umur ditentukan berdasarkan kelompok aktiva
c. Tetap
d. Metode depresiasi yang digunakan ada dua : garis lurus dan saldo menurun
2.7 Kajian Penelitian Sejenis
Dalam penulisan ilmiah ini, penulis mengambil kajian dari Jurnal, Penulisan Ilmiah dan Skripsi terdahulu yang memiliki kesamaan topik/variabel yaitu :
1. Indriyani, Kiki Rosa. (2006). Analisis Koreksi Fiskal Terhadap Laporan Keuangan Komersial pada PT Agrabudi Karyamarga Tahun Pajak 2005. Kesimpulan dalam penulisan ini adalah sebab terjadinya perbedaan pembukuan berdasarkan akuntansi komersial dengan perpajakan, sebab koreksi fiskal oleh beda waktu dan beda tetap, dan perhitungan PPh terhutang.
2. Laksamana, Jaka. (2005). Koreksi Fiskal Pada PT Usaha Bakti. Kesimpulan dalam penulisan ini adalah tentang sebab terjadinya koreksi fiskal, cara perhitungan PPh terhutang dan rekonsiliasi pada laporan laba/rugi.
3. Mintaharjo, Hari. (2002). Analisis Perbedaan Konsep Biaya dan Penghasilan Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan Dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (Studi Kasus Pada Perusahaan Plastik PT TEPIN Malang). Kesimpulan dalam penulisan ini adalah tentang konsep perbedaan perlakuan penetapan pendapatan dan biaya menurut SAK dan menurut UU Perpajakan serta rekonsiliasi antara laporan keuangan komersil dengan laporan keuangan fiskal.
4. Putra. (2008). Laba Rugi Komersial dan Fiskal. Kesimpulannya adalah tentang mengapa ada laporan laba rugi komersial dan fiskal beserta perbedaannya dan cara membuat laporan laba rugi fiskal.
5. Rudi. (2009). Rekonsiliasi Fiskal. Kesimpulannya adalah tentang perbedaan pengakuan antara komersial dan fiskal beserta contoh format rekonsiliasi fiskal.

On Label: , | 0 Comment



Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, memberikan keterangan pers di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),Jakarta, Kamis (31/1). (Republika/ Tahta Aidilla)
  
REPUBLIKA.CO.ID, Rabu 30 Januari 2013 Luthfi Hasan Ishak (LHI),  Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan dugaan kasus suap impor daging. Ia dijemput penyidik di kantor DPP PKS dan tiba di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (31/1) sekitar pukul 00.00 WIB. KPK menetapkan LHI sebagai tersangka atas dugaan bersama-sama menerima suap dari PT Indoguna Utama terkait kebijakan impor daging sapi.

Selain Luthfi, KPK menetapkan orang dekatnya, yakni Ahmad Fathana sebagai tersangka atas dugaan perbuatan yang sama. KPK juga menetapkan dua Direktur PT Indoguna, Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi sebagai tersangka pemberi suap. Penetapan LHI sebagai tersangka ini berawal dari operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Selasa (29/1) malam di Hotel Le Meridien dan di kawasan Cawang, Jakarta.

Dari situ, KPK menahan empat orang, yakni Ahmad, Arya, Juard, dan seorang perempuan  bernama Maharani. Bersamaan dengan penangkapan tersebut, KPK menyita uang Rp 1 miliar yang disimpan dalam kantung plastik dan koper. Keempatnya lalu diperiksa seharian di Gedung KPK. Sedangkan, Maharani sendiri telah dibebaskan sejak Kamis (31/1) pukul 02.10 WIB, karena tidak terbukti terlibat kasus suap .Melalui proses gelar perkara, KPK menyimpulkan ada dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan LHI sebagai tersangka. Informasi dari KPK menyebutkan, uang yang dijanjikan PT Indoguna terkait kebijakan impor daging sapi ini mencapai Rp 40 miliar. Adapun uang Rp 1 miliar yang ditemukan saat penggeledahan tersebut, diduga hanya uang muka. (kompas.com)

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan pihaknya sudah mengantongi bukti penggunaan pengaruh oleh Presiden PKS dalam proses penerbitan izin impor daging sapi. Meski bukan merupakan anggota Komisi Pertanian DPR, LHI memanfaatkan pengaruhnya di Kementerian Pertanian untuk menggolkan izin impor daging. "Saya lupa istilahnya, tapi semacam menjual otoritas," ujarnya, di KPK, Kamis (31/1).

Menurut Bambang, untuk memanfaatkan pengaruh tidak harus punya kewenangan. Namun, pengaruh bisa dipakai untuk mempengaruhi. Dia menegaskan, "Ini tidak menduga-duga, kami mempunyai buktinya." Bambang pun memastikan uang suap Rp 1 miliar yang disita KPK pada Selasa (29/1) lalu terkait dengan izin impor daging sapi.

Namun, Bambang enggan mengatakan kepada siapa sebenarnya uang ini akan diarahkan. "Itu kan berkaitan dengan impor. Jadi pasti ke arah sana. Cuma kan saya tidak bisa bilang detilnya. Kira-kira ke arah mana, berkaitan dengan perizinan," katanya. (tempo.co)

Analisa Hukum
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau  keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal  1 butir 14 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP). Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal  1 butir 5 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP). Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal  1 butir 2 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP)

Penetapan tersangka yang dilakukan kurang dari satu hari alias 1x24 jam oleh KPK, jelas cacat hukum dan tidak beralasan. Karena sebelum ditetapkan seseorang sebagai tersangka seharusnya dilakukan  penyelidikan terlebih dahulu yakni  mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana baru kemudian bisa meningkat ke penyidikan baru ke penetapan tersangka setelahnya.

Demikian juga dengan ditetapkannya Ahmad Fathana bersama dengan Maharani sebagai bentuk gratifikasi seks, serta ditetapkannnya dua Direktur PT Indoguna, Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi sebagai tersangka pemberian suap. Ini sebagai salah satu alat bukti untuk menetapkan LHI sebagai tersangka.

Sebelumnya mari kita definisikan dulu apa yang dimaksud dengan gratifikasi. Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya (pengertian gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12B UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor). Menurut Pasal 12 UU Tipikor, gratifikasi berlaku untuk pegawai negeri sipil (PNS), penyelenggara negara atau advokad yang ditunjuk untuk mewaili dalam siding pengadilan.

Apakah dalam hal ini Ahmad Fathana sebagai PNS, penyelenggara negara atau advokad yang ditunjuk untuk mewakili dalam persidangan dalam pengadilan. Jika tidak jelas bukanlah ini termasuk dalam katagori gratifikasi. Dalam proses penetapan tersangka di penyidikan seharusnya ditentukan terlebih dahulu minimal dua alat bukti yang ada sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.  Alat bukti yang sah, yakni berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Jika uang satu miliar rupiah bisa dikatakan sebagai bukti petunjuk, maka untuk Ahmad Fathana dan Direktur PT Indoguna dikatakan sebagai saksi, maka alangkah mudahnya seseorang nantinya dalam menuduh atau menyangka kepada seseorang yang tidak tahu apa-apa terlibat di dalamnya. Kemudian sebelum dikatakan uang satu miliar rupiah tersebut dikatakan untuk digunakan dalam suap impor daging dengan tertuju LHI, adakah buktinya bahwa memang itu ditujukan untuk LHI?

Bukti berupa informasi yang terkait, baik berupa SMS, percakapan telephone, atau yang lainnya mengingat KPK diberikan kewenangan untuk melakukan sebuah penyadapan sesuai dengan pasal 12 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, ini dulu yang dibuktikan apakah benar uang ini ditujukan kepada LHI sebagai Suap. Jika ini terbukti benar maka dapat dikatakan sebagai satu alat bukti.

Jika dikatakan bahwa Ahmad Fathana adalah orang terdekat atau bisa dikatakan asisten dari LHI adakah bukti berupa bukti surat, dokumen elektronik (foto), atau rekaman yang menyatakan bahwa Ahmad Fathana adalah orang dekat dari LHI. Jika tidak maka siapapun bisa mengatakan bahwa saya adalah orang dekat LHI dengan tujuan memfitnah atau melakukan pembunuhan karakter orang lain untuk tujuan tertentu.

LHI berada di Komisi Pertahanan Keamanan DPR, sedangkan masalah impor daging sapi berada dalam lingkungan Komisi Pertanian, menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, LHI memang tidak memiliki kewenangan, tapi dia (LHI, red) memanfaatkan pengaruhnya di Kementerian Pertanian untuk menggolkan izin impor daging. Dalam UU Tipikor tidak dikatakan istilah pengaruh, yang dikatakan korupsi adalah menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya dirinya atau orang lain. Jelas hal ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana, dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.” Atau yang disebut sebagai asas legalitas dalam hukum pidana yang dalam bahasa latin disebut “nulla poena sine lege. Tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang." (Scahfmaster, Hukum Pidana, hal.5)

Bambang memastikan uang suap Rp 1 miliar yang disita KPK pada Selasa (29/1) lalu terkait dengan izin impor. "Itu kan berkaitan dengan impor. Jadi pasti ke arah sana. Cuma kan saya tidak bisa bilang detailnya. Kira-kira ke arah mana, berkaitan dengan perizinan," ujar Bambang.

Sebuah pertanyaan,  pasti ke arah sana, ke arah mana? Apa yang dilakukan oleh KPK ini jelas merupakan sebuah asumsi yang belum tentu benar, tidak bersandar pada asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Berikut tiga kesimpulan yang dapat kita petik dari kasus LHI ini. Pertama, apa yang dilakukan oleh KPK dengan menetapkan tersangka sebelum dilakukan sebuah penyelidikan, yang kemudian meningkat ke penyidikan jelas salah, KPK dalam mengambil prosedur tak sesuai dengan langkah hukum yang ada berdasarkan KUHAP.

Kedua, apa yang dinyatakan KPK sebagai alat bukti untuk menetapkan LHI sebagai tersangka, jelas tidak bisa dikatakan alat bukti. Karena KPK harus memastikan uang satu miliar rupiah yang berada dalam plastik bersamaan dengan ditangkap tangan tersangka Ahmad Fathana adalah benar-benar ditujukan kepada LHI.

Ketiga, apa yang disampaikan oleh Wakil Ketua KPK mengenai LHI memiliki pengaruh meskipun tidak memiliki kewenangan jelas ini cacat hukum. Sebesar apapun pengaruh jika yang dipengaruhi tidak menyalahgunakan kewenangannya pasti tidak akan terjadi, karena yang disebut dalam UU Tipikor adalah penyalahgunaan kewenangan bukan penyalahgunaan pengaruh. ***


Penulis: Mohamad Aulia Syifa Mahasiswa Fakultas Hukum UMJ dan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

On Label: | 0 Comment

Assalamu ’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
[Hamdalah dan salawat]
Presiden PKS, Muh. Anis Matta (inet)
Presiden PKS, Muh. Anis Matta (inet)
dakwatuna.com - Kawan-kawan media yang saya hormati, terima kasih telah hadir di tempat ini. Saya baru saja diberi amanah berat untuk melanjutkan kepemimpinan di DPP PKS, menyusul pengunduran diri Pak Luthfi Hassan Ishaq sebagai Presiden PKS semalam.
Untuk ini, saya hendak menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Saya, sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera, menghargai proses yang sedang berlangsung di KPK dan meminta semua pihak mengikuti prosesnya dengan sabar, sehingga tidak terjadi penghakiman di luar konteks hukum. Kami meminta masalah ini ditempatkan dan dilihat secara proporsional.
  2. Partai Keadilan Sejahtera sangat menghargai dan mengapresiasi sikap Pak Luthfi Hassan Ishaq yang segera mengundurkan diri dari posisinya, sebagai bentuk sikap gentlemen dan bertanggung jawab, sehingga tidak membebani partai. Sikap ini harus menjadi contoh bagi kita semua, terutama di kalangan kader PKS. Jangan menyandera partai dan bangsa untuk perdebatan yang berlarut dan tidak bermanfaat. Tidak pada tempatnya energi bangsa dihabiskan untuk hal-hal semacam itu. Energi bangsa harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk kemajuan dan kepentingan bangsa.
  3. Partai Keadilan Sejahtera akan mendukung sepenuhnya Pak Luthfi Hassan Ishaq, sebagai kader dan mantan petinggi partai, dalam menghadapi kasus ini termasuk pemberian bantuan hukum. Kami mendoakan Pak Luthfi Hassan Ishaq bersama keluarganya diberi kekuatan dan kesabaran. Sebagai orang beriman, bila menghadapi musibah yang dapat kita ucapkan adalah, “Hasbunallahu wa ni’mal wakil ni’mal maula wa ni’man nashir” (Cukuplah Allah sebagai pelindung dan penolong kami).
  4. Secara internal momentum ini akan kami pergunakan untuk melakukan perbaikan dan pengawasan yang lebih ketat lagi ke dalam, terutama berkaitan dengan masalah korupsi. Partai Keadilan Sejahtera tidak pernah surut sedikitpun dalam komitmennya untuk memberantas korupsi sebagai musuh utama bangsa. Karenanya kami tetap memberikan komitmen yang kuat untuk mendukung KPK dalam upayanya memberantas korupsi, secara adil, terbuka dan akuntabel.
  5. Partai Keadilan Sejahtera tidak ingin KPK hanya seperti sarang laba-laba yang hanya mampu menjerat benda dan hewan lain yang lemah, tapi langsung berantakan ketika menghadapi benda dan hewan yang kuat. Masyarakat masih terus mengawasi bagaimana penanganan KPK terhadap berbagai kasus besar, termasuk mega skandal Century dan juga Hambalang.
  6. Partai Keadilan Sejahtera akan terus memperkuat kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat terutama elemen – elemen pejuang anti korupsi, untuk ikut mengawasi dan mengingatkan, manakala kader PKS terlibat atau bahkan hanya sekedar mulai mendekati hal-hal yang berbau korupsi. Mari kita saling mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran.
  7. Kepada seluruh kader Partai Keadilan Sejahtera saya mengimbau untuk mendoakan agar Bapak Luthfi Hassan Ishaq dan keluarganya selalu diberi kekuatan dan ketabahan. Saya ingin menegaskan bahwa ini bukanlah kiamat, tetapi sebuah ujian yang akan membuat partai kita semakin solid dan kuat, Insya Allah. Firman Allah SWT yang menyatakan “Di balik kesulitan, selalu ada kemudahan” yang menjadi sebuah pegangan yang sedikitpun tidak pernah kita ragukan.
  8. Kepada seluruh kader, saya, sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera, menginstruksikan untuk terus bekerja bersama seluruh komponen bangsa mewujudkan Indonesia yang lebih adil, sejahtera dan bermoral.

Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jakarta, Jumat, 1 Februari 2013/20 Rabi’ul Awwal 1434
Presiden Partai Keadilan Sejahtera

H. M. Anis Matta, Lc

On Label: , , | 0 Comment

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.