Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

dakwatuna.com – London. Sejak tak lagi menjabat sebagai perdana menteri Inggris, Tony Blair lebih terbuka terhadap agama. Ia mengaku membaca Al-Qur’an setiap hari karena membuatnya lebih melek iman.
“Untuk menjadi melek iman itu sangat penting dalam dunia global,” katanya seperti yang dilaporkan Daily Mail, Senin 13 Juni 2011. Ia membaca Al Quran setiap hari untuk memahami hal-hal yang terjadi di dunia, karena Al-Qur’an memberikan perintah-perintah yang jelas atau instruktif.
Ia juga meyakini pengetahuannya tentang iman membantu perannya sebagai utusan di Timur Tengah mewakili PBB, Amerika, Uni Eropa dan Rusia. Sebelumnya ia juga pernah menyatakan iman umat muslim itu indah, dan Nabi Muhammad merupakan figur yang mendorong peradaban.
Pada tahun 2006 ia pernah menyatakan Al-Qur’an merupakan kitab reformasi yang inklusif.  Al-Qur’an juga mengagungkan ilmu dan pengetahuan, dan membenci tahkyul.  “Kitab (Al-Qur’an)  itu memberikan arahan praktis tentang pernikahan, perempuan, dan pemerintahan,” ujarnya.
Meski demikian, Tony juga mengakui juga melihat bagaimana para pelaku jihad menerjemahkan Al-Qur’an sebagai panggilan untuk mengangkat senjata. Ketika terjadi serangan bom bunuh diri di London pada 2005 yang menewaskan 52 orang, saat itu ia masih menjabat sebagai perdana menteri.
Membaca Al-Qur’an membantunya dalam menunaikan tugas sebagai utusan perdamaian. Selain itu, membaca Al-Qur’an juga membuat ia terbiasa dengan pandangan adik iparnya Lauren Booth yang menjadi mualaf. (Daily Mail/AQIDA/TI)

On Label: | 0 Comment

On Label: , , | 0 Comment

Pengertian
Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Rasional
Dalam Contextual teaching and learning (CTL) diperlukan sebuah pendekatan yang lebih memberdayakan siswa dengan harapan siswa mampu mengkonstruksikan pengetahuan dalam benak mereka, bukan menghafalkan fakta. Disamping itu siswa belajar melalui mengalami bukan menghafal, mengingat pengetahuan bukan sebuah perangkat fakta dan konsep yang siap diterima akan tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi oleh siswa. Dengan rasional tersebut pengetahuan selalu berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Pemikiran Tentang Belajar
Proses belajar anak dalam belajar dari mengalami sendiri, mengkonstruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu. Transfer belajar; anak harus tahu makna belajar dan menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang diperolehnya untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Siswa sebagai pembelajar; tugas guru mengatur strategi belajar dan membantu menghubungkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, kemudian memfasilitasi kegiatan belajar. Pentingnya lingkungan belajar; siswa bekerja dan belajar secara di panggung guru mengarahkan dari dekat.
Hakekat
Komponen pembelajaran yang efektif meliputi:
Konstruktivisme, konsep ini yang menuntut siswa untuk menyusun dan membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan tertentu. Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mendapatkan dari atau mengingat pengetahuan.
Tanya jawab, dalam konsep ini kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa, seangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
Inkuiri, merupakan siklus proses dalam membangun pengetahuan/ konsep yang bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian membangun teori atau konsep. Siklus inkuiri meliputi; observasi, tanya jawab, hipoteis, pengumpulan data, analisis data, kemudian disimpulkan.
Komunitas belajar, adalah kelompok belajar atau komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Prakteknya dapat berwujud dalam; pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar serta mendatangkan ahli ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja dengan kelas di atasnya, beekrja dengan masyarakat.
Pemodelan, dalam konsep ini kegiatan mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat mencontoh, belajr atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. Guru memberi model tentang how to learn (cara belajar) dan guru bukan satu-satunya model dapat diambil dari siswa berprestasi atau melalui media cetak dan elektronik.
Refleksi, yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Adapun realisasinya adalah; pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya.
Penilaian otentik, prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada; pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhr periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
Penerapan CTL dalam pembelajaran
Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan engkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan baru. Lakukan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua toipik. Kembangkan sifat keingin tahuan siswa dengan cara bertanya. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok). Hadirkan model sebagai contoh dalam pembelajaran. Lakukan refleksi pada akhir pertemuan. Lakukan penilaian otentik yang betul-betul menunjukkan kemampuan siswa.

On Label: | 0 Comment

Setiap kali memasuki Rajab, kita biasanya akan kembali mendengar sebuah doa yang sangat populer, baik melalui SMS, ataupun langsung dari penceramah dan muballigh. Sebuah doa yang menyiratkan kerinduan akan romadhon, doa tersebut adalah :
اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبارك لنا في رمضان
 “Ya Alloh berkahilah kami dibulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami kepada Bulan Ramadhan”

Doa tersebut banyak disandarkan dari Rasulullah SAW, dan dinyatakan sebagai kebiasaan Rasulullah SAW ketika memasuki bulan Rajab. Hadits yang memuat doa tersebut bertebaran di banyak kitab hadits, namun memang tidak didukung dengan kekuatan sanad yang baik.  Beberapa perawi yang meriwayatkan lafadz doa tersebut antara lain : Imam Ahmad  dalam Musnadnya , Ibn Sunny dalam “Amal Yaumi wal Lailah” , Imam Baihaqiy dalam Syu’abul Iman , Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, dan  AlBazar dalam Musnadnya.

Meskipun ada di beberapa kitab hadits, tetapi sanadnya tidak kuat, khususnya yang ada pada riwayat Imam Ahmad, dimana ada dua nama perawi masing-masing : Zaidah bin Abi Roqid dan Ziyad bin Abdullah, yang dilemahkan oleh imam ahlu hadits. Bahkan tentang Zaidah, seorang imam Bukhori pun menyatakan dengan lugas bahwa ia seorang munkarul hadits.

Hasil akhir penilaian para ulama memang menghukumi bahwa hadits ini adalah lemah sanadnya. Tak kurang Imam An-Nawawi dalam al Adzkar , adz Dzahabi didalam “Al Mizan” dan , Syeikh Ahmad Syakir, Syuaib al-Arnauth, dan Syeikh Albani menyebutkan hal yang sama dan tak jauh berbeda tentang lemahnya sanad hadits ini.

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana dengan fenomena tersebarnya hadits tersebut dan hukum mengamalkannya ? Saya yakin hal ini menjadi pertanyaan sebagian besar mereka yang mempunyai semangat keislaman tinggi, serta penjagaan atas orisinalitas dalam hal ibadah. Untuk menjawab hal tersebut, setidaknya ada dua hal yang bisa kita bahas secara objektif :

Pertama : Tentang Kebolehan Amal dengan Hadits Dhoif
Dalam khazanah pemikiran Islam, hadits dhoif tidak lantas kemudian ditinggalkan begitu saja dan menjadi tidak berguna begitu saja. Namun bisa digunakan khususnya terkait fadhoilul amal, motivasi (targhib dan tarhib), bukan dalam masalah halal haram apalagi keyakinan. Dalam hal ini memang ada perbedaan pandangan di antara ulama. Imam Nawawi dan sebagian ahlu hadits dan fuqoha yang lain memandang kebolehan menggunakan hadits dhoif dalam fadhoil amal.

Ibnu Hajar juga memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib, tentu saja dengan syarat yang cukup selektif antara lain : tidak diriwayatkan oleh perawi yang pendusta, bukan termasuk amal perbuatan yang sama sekali tidak mempunyai asal/dasar, dan hendaknya dilakukan dengan tanpa meyakini bahwa hal tersebut adalah diperbuat oleh Rasulullah SAW.

Dengan keterangan di atas, maka melafalkan hadits doa bulan Rajab adalah boleh, sepanjang kita tidak meyakini bahwa hal tersebut benar-benar diucapkan oleh Rasulullah SAW, dan yang terpenting adalah memahami makna yang terkandung di dalamnya, sebagai bentuk motivasi dan pengingatan diri kita akan datangnya Ramadhan. Dan yang jelas, ketika menyampaikan kepada orang lain, hendaknya juga kita tekankan hal tersebut ; bahwa dari sisi riwayat hadits ini lemah, namun dari sisi makna harus kita ambil pelajaran dan motivasinya.

Kedua : Merindukan Ramadhan dengan Doa Mutlak dan Persiapan Amal 
Secara riwayat, hadits tentang doa di atas memang lemah. Namun kita semua pasti sepakat bahwa apa yang terkandung di dalamnya adalah kuat secara makna. Bagaimana tidak ? doa tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah gambaran sekaligus anjuran bagaimana kita menyambut dan merindukan ramadhan, bahkan lebih jauh lagi menyiapkan diri dan banyak hal untuk menyambut kedatangan bulan mulia tersebut.

Semangat dan kerinduan menyambut Ramadhan, adalah gambaran para sahabat secara umum dalam kesehariannya. Ibnu Rajab meriwayatkan bagaimana kondisi para sahabat Rasulullah SAW terkait Ramadhan :
كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَبْلُغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan. Kemudian mereka pun berdo’a selama 6 bulan agar amalan yang telah mereka kerjakan diterima oleh-Nya.” (Kitab Lathaaiful Ma’arif ).

Maka hal inilah yang harus senantiasa kita utamakan dan ambil inspirasinya. Tidak hanya terjebak dalam lafal doa semata tanpa kesiapan riil dalam amal dan perbuatan. Syeikh Abdul Karim bin Abdulah al-Khudair pernah ditanya tentang seorang yang berdoa dengan “ Allahuma bariklana fi rojab wa sya’ban wa ballighna romadhon “. Maka beliau menjawab dengan tenang : Semoga Allah memberikan pahala kepadanya. Memang hadits (doa) ini tidak kuat, namun jika seorang muslim berdoa kepada Allah SWT agar menyampaikannya bulan Ramadhan, dan memberikan taufiq dalam mengamalkan puasa dan tarawih di dalamnya, dan mendapatkan lailatul qadar, atau berdoa dengan doa mutlak yang lainnya. Maka hal ini insya Allah boleh dan tidak mengapa.

Ibnu Rojab masih dalam kitab yang sama, ketika menjelaskan hadits di atas memberikan pelajaran agung kepada kita : Dalam hadits ini terdapat dalil tentang anjuran berdoa minta panjang usia agar mendapati waktu-waktu yang mulia, agar dapat menjalankan amal sholih di dalamnya. Sesungguhnya seorang muslim tidaklah bertambah usianya kecuali untuk kebaikan, dan sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan banyak amalnya.

Akhirnya, marilah kita tidak terjebak dalam lafadz doa hadits di atas. Yang mengamalkannya hendaknya mengetahui sejauh mana keyakinannya akan kekuatan hadits tersebut. Yang tidak sepakat, hendaknya menyadari ini wilayah perbedaan pendapat ulama sehingga sikap toleransi dan menghormati harus dijunjung tinggi. Dan yang lebih baik dari itu semua, menyiapkan diri dan semangat untuk memasuki ramadhan, tidak hanya dengan lafal doa saja, dan jika pun kita berdoa, maka bisa dengan rangkaian doa mutlak dan umum agar diberikan kesempatan dan kekuatan dalam memasuki bulan Ramadhan yang mulia. Wallahu a’lam.

Semoga bermanfaat dan salam optimis.

Hatta Syamsuddinwww.indonesiaoptimis.com

On Label: , | 0 Comment

foto: ustadzah Yoyoh Yusroh; sumber: ummi Tia 
foto: ustadzah Yoyoh Yusroh; sumber: ummi Tia

“Semoga kita mampu mengikuti jejak dan kiprah beliau dalam dakwah ini…” demikian curahan hati seorang kawanku Nurmala dalam statusnya di Facebook. Hatiku membantah, sosoknya terlalu 'sempurna', beliau begitu mampu mengerjakan apa saja yang tidak mampu dikerjakan orang lain.
Beliau mengerjakan semua pekerjaan yang dilakukan oleh lebih dari 10 orang. Terlalu jauh bagiku atau kita untuk mengejar apa yang telah dilakukan, sosoknya terlalu sempurna... Bagiku... beliau adalah... penjaga hati para ummahat.
Bila ada ummahat yang sakit hati atau disakiti, maka beliau menjadi bahu sandarannya, ucapannya penguat dan disingkirkannya semua beban persoalan lain, termasuk persoalan dirinya hanya untuk menampung masalah dakwah dan pribadi para ummahat seakan-akan masalah pribadi ummahat adalah masalah yang terpenting dan tergenting di dunia ini.
Dan hal ini mendatangkan rasa aman dan nyaman bagi para muslimah disekelilingnya. Beliau selalu siap untuk didatangi, diajak, ditelepon, di-SMS, diganggu walau malam hari sekalipun.
Terkadang, aku bingung. Kapan beliau tidur? karena handphonenya selalu siaga untuk menjawab sms yang masuk setiap waktu, walau pukul 3 pagi sekalipun. Padahal, masih teringat kuat dalam benakku, suatu ketika beliau baru pulang pukul 00.30 dini hari demi menunaikan tugas dakwah yang begitu melelahkan. Namun demikian, beliau menjawab dengan cepat ketika di sms pada pukul 3 pagi... Subhanallah... Padahal jawaban yang dinanti bisa saja dibalas di pagi hari setelah matahari datang.
Wanita yang solihah itu, yang akrab dipanggil Ummu Umar, Ustadzah Yoyoh, selalu mengutamakan diri kami, mengutamakan masalah-masalah orang lain, selalu menjaga hati kami agar tidak pecah. Hati-hati yang seringkali berdarah dan luka karena berbagai macam persoalan dan masalah. Maka hati-hati itu selalu menjadi segar seperti bunga yang disiram air mawar, kembali tumbuh dan kuat untuk menempuh apapun cobaan di dunia ini. Sungguh, kehilangan yang amat sangat.
Kadang aku heran, kepada siapa engkau mengadu ketika banyak masalah berdatangan menghampiri. Ketika kutanyakan hal itu baik-baik, dengan tegar engkau selalu mengajak kami kembali pada Allah, dan menyerahkan segalanya pada Allah. Engkau selalu tampil dimuka mendukung dan mensupport siapa saja dengan caramu yang indah, yang tidak menyinggung hati siapapun, yang selalu tersenyum walaupun disakiti, yang selalu sabar dan menganggap semua cobaan hidup ada jalannya.
Benar katamu, setiap peluru di Palestina sudah ada pasangannya masing-masing, itulah yang membuatmu tak gentar sedikit pun ketika harus berangkat ke Palestina dan mengajak kami semua kesana menyemangati para muslimah disana, menjenguk pabrik roti yang sedang kita buat, dan berbincang-bincang, dengan janji untuk menyebarkan pada siapa saja tentang perjuangan Palestina.
Batinku pagi ini, siapa yang akan menggantikan sosokmu yang begitu sempurna?
Ummahat di Palestina, begitu mereka sangat kehilangan dirimu, PASTI! Dimana mereka membutuhkan sekali kehadiranmu, LAGI dan LAGI!... Dengan semangatmu yang membara, itu semua membuat mereka bahagia. Ada banyak muslimah yang diwakili dirimu, bersedia menanggung beban dan membawa doa bagi rakyat Palestina.
Aku tahu, di MATAMU ADA CINTA yang menyorot lembut ketika berkisah mengenai dakwah dan perjuangan umat Islam dimana-mana, dari Indonesia sampai Palestina. Sosokmu demikian sempurna, hatimu begitu lembut, engkau adalah guru, kakak, murobbiyah, da’iyyah, sahabat, juga kawan perjalanan yang sudah sampai pada hari terakhir yang dijanjikan...
Allah sayang padamu dan mengetahui engkau menyimpan beban yang teramat berat dan maksimal. Tugasmu di dunia selesai sudah, dan bergembiralah menjadi salah seorang syuhada, dengan caramu, tatapanmu, dan juga semangatmu yang membekas dihati siapa saja yang pernah dekat denganmu.
Bagiku, tiada siapa yang mampu menggantikan dirimu, letakmu ada di dalam hatiku yang paling dalam, melekat erat tak tergoyahkan. Kepergianmu membuat banyak orang terhenyak, namun salah satu ciri orang soleh adalah kepergiannya membuat orang merasa sangat kehilangan, membuat orang menjadi ingin berbuat baik, membuat orang hanya ingat pada kebaikannya saja.
Selamat jalan guruku, sahabatku, murrobiyahku, naqibahku, kecintaanku, tempat dimana aku menangis, dan kau adalah ciptaan Allah yang merupakan segalanya bagiku. Sekali lagi ingin kukatakan, tempatmu ada dalam hatiku, dalam relung ujung dan dasar hatiku, takkan tergantikan oleh siapapun di dunia ini selain suamiku.
Engkau mujahidah dengan kualitas terbaik yang pernah kutemui di dunia ini.
Note : Dalam khayalku, mungkin kita akan berjumpa di sebuah pasar di surga di setiap jum’at. Dan engkau menubrukku sebagaimana engkau pernah menubrukku di depan Masjidil Haram sembilan bulan lalu dan memanggilku, ”Fiii, sama siapaaa...?” (bila harapan surgaNya kita tidak sama tingkatannya), atau “Assalamu’alaikum, ini ikan bakar dan gudeg, tolong kasih Mam Fifi yaa, buat anak-anak, bilangin (bisiknya lembut pada khadimahku), dari bu Yoyoh...” Begitu sering sekali beliau lakukan itu ketika pulang dari bepergian dakwah dan perjalanan yang jauh, memberi sesuatu yang sedap dimakan. “Untuk tetanggaku di surge,” pesannya diatas secarik kertas. Indah ungkapannya, masih terasa kuat menghujam di hati.
Potongan email Ustadzah Yoyoh sebelum beliau berangkat ke Sudan pada bulan Maret :
“Ketika mau naik pesawat saat petugas mengumumkan waktu boarding, saya menuju toilet terlebih dahulu untuk bersih-bersih dan berwudhu. Saya selalu berusaha menjaga wudhu karena saya ingin bila suatu saat saya dipanggil Allah SWT, maka saya dalam keadaan berwudhu. Kita menyadari bahwa hidup ini memang penuh misteri, kita hanya menjalankan program pilihan Allah, bukan pilihan kita. Sering kali kita membuat program detail untuk jangka pendek, menengah atau jangka panjang, baik untuk kepentingan pribadi atau kepentingan organisasi namun ternyata yang terealisir hanya beberpa persen saja dari yang kita rencanakan seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surah Luqman ayat 34,
Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman [31] : 34)
Potongan SMS Ustadzah Yoyoh pada beberapa sahabat :
Ya Rabb, aku sedang memikirkan posisiku kelak di akhirat...
Mengkaitkan aku dengan berdampingan penghulu para wanita, Khadijah Al-Qubro yang berjuang dengan harta dan jiwanya? Atau dengan Habsah binti Abu Bakar yang dibela oleh Allah saat akan dicerai karena Showwamah dan Qowwamahnya? Atau dengan Aisyah yang telah hafal 3500-an hadist, sedang aku... ehm.. 500 juga belum.. atau dengan Ummu Sulaiman yang shobiroh atau dengan asma yang mengurus kendaraan suaminya dan mencela putranya saat istirahat dari jihad... atau dengan siapa ya?
Ya Allah tolong beri kekuatan untuk mengejar amaliyah mereka.. sehingga aku layak bertemu mereka bahkan bisa berbincang dengan mereka di taman firdausmu.
“Jiwa yang bebas terbang ‘tuyuur’ (terbang dengan bebas seperti burung) untuk mentaati perintah Allah tanpa dipenjara oleh fisik dan lain-lain.” (Yoyoh Yusroh)

On Label: , | 0 Comment

On Label: | 0 Comment


 

Di antara nikmat yang tidak terhitung bagi kita semua adalah ni’matul wujud atau nikmat kehidupan. Bahwa kita dijadikan salah satu makhluk-Nya yang dimuliakan yang hidup di alam raya ini. Kehidupan ini memberikan kepada kita hak-hak yang luar biasa banyaknya setelah Allah swt memberikan eksistensi/keberadaan diri kita dalam kehidupan. Karunia kedua, ni’matul insan, fakta bahwa kita adalah manusia yang ditetapkan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan, keunggulan dalam struktur jasmani dan ruhani dibanding makhluk-makhluk lainnya.
Karunia ketiga, ni’matul ‘aql atau karunia akal. Allah swt memberi kepada kita kemampuan membaca dan menulis, kemampuan untuk menjelaskan, kekuatan untuk memahami ayat-ayat-Nya yang tersurat dan tersirat, diantara ayat-ayat-Nya yang tidak tertulis adalah fenomena di alam raya ini.
Lebih dari pada itu, ada karunia yang jauh lebih besar. Yakni,  ni’matul hidayah ilal Islam (karunia petunjuk menjadi seorang Muslim). Inilah nikmat yang paling mulia dan paling berharga.
Dan ini tidak Allah berikan kepada semua manusia, melainkan hanya kepada kita.
"Sesungguhnya kenikmatan beragama hanya Aku berikan kepada hamba yang Aku pilih dari hamba-hamba-KU yang shalih." (al Hadits).
Karena itu nikmat ini haruslah kita syukuri. Inilah jalan satu-satunya yang Allah berikan kepada kita agar kita mendapat kebaikan/kemuliaan di dunia dan di akhirat.
“Jika kamu mensyukuri nikmat-Ku, pasti akan Aku tambah. Tapi jika kamu mengingkari nikmat-Ku, ketahuilah bahwa adzab-Ku pasti pedih .” (QS. Ibrahim (14) : 7)
Mensyukuri nikmat hidayah Islam itu dengan beberapa cara.
Pertama, syukuri nikmat ini dengan menumbuhkan perasaan bahwa kita bangga dan mulia dengan beragama Islam. Kita harus merasa bangga, percaya diri bahwa kita adalah orang Islam. Katakan kepada semua orang dengan penuh kebanggaan, ”Saya adalah orang Islam. Saya adalah umat tauhid. Saya adalah umat al-Qur’an. Saya adalah umat Muhammad saw.”

Dahulu para sahabat sangat bangga menjadi Muslim. Mereka mengatakan, ”Ayahku adalah Islam. Tiada lagi selain Islam. Apabila orang bangga dengan suku, bangsa, kelompok, marga, perkumpulan, paham mereka, tapi aku bangga nasabku adalah Islam.
Suatu ketika Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu ditanya, ”Keturunan siapa Kamu ?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami, bagian dari keluarga Muhammad saw.”
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْاْ إِلَى كَلَمَةٍ سَوَاء بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلاَّ نَعْبُدَ إِلاَّ اللّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللّهِ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُولُواْ اشْهَدُواْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
"Katakanlah, Hai Ahli kitab marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan suatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain daripada Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS. Ali Imran (3) : 64).
Maka tatkala ia merasakan keingkaran dari mereka (Bani Israil) berkatalah dia, Siapakah yang menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah? para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. "Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri." (QS. Ali Imran (3) : 52).
Kita harus bangga bahwa kita adalah Muslim. Karena faktanya bahwa Islam itu diturunkan sebagai misi di mana Muhammad saw sebagai Rasulnya, juga diturunkan ke muka bumi dengan tujuan menyebarkan kasih sayang. Karena itu kita haruslah bangga, karena kitalah yang dinanti-nanti/dirindukan oleh umat manusia. Kita rahmat bagi alam semesta ini. Kita bagaikan air yang dirindukan oleh orang yang haus dahaga. Kita adalah makanan yang sedang dimimpikan oleh orang yang lapar. Kita adalah thabib yang ditunggu-tunggu para pasien.
Fakta lain, kita harus bangga menjadi Muslim, adalah bahwa kita mempunyai kitab suci. Al-Qur’an sendiri telah menjamin bahwa kitab ini tidak mungkin ternodai. Tidak satu huruf atau titik pun yang akan merubah kesucian al-Qur’an yang sudah pasti di pelihara oleh Allah. Karena itu kebenaran al-Qur’an akan tetap abadi. Al-Qur’an yang ada di Indonesia adalah al-Qur’an yang ada dan dibaca oleh saudara-saudara kita di muka bumi lain. Al-Qur’an yang dicetak di Indonesia, Arab Saudi, Mesir adalah al-Qur’an yang dicetak di seluruh dunia. Oleh karena itu, kita mempunyai alasan yang sangat kuat bahwa kitalah pihak yang paling berhak menyampaikan kebenaran dari Allah kepada seluruh umat manusia.
Menjadi rahmat
Kita adalah rahmat untuk seluruh umat manusia. Rahmat bagi yang jauh dan dekat. Rahmat dalam keadaan damai dan keadaan perang. Rahmat untuk Muslimin dan Muslimat. Rahmat untuk manusia dan binatang. Rahmat untuk Muslim dan non-Muslim. Rahmat untuk lingkungan sosial kita. Al-Quran sendiri yang terdiri dari 114 surat, semuanya diawali dengan bismillahirrahmanirrahim kecuali surat at Taubah. Ini menunjukkan bahwa sifat yang menonjol, dan melekat pada diri Allah SWT adalah Ar Rahman dan Ar Rahim. Rahmat-Nya agung, Rahmat-Nya selalu mengalir, membasahi seluruh alam. Panutan kita Rasulullah saw dalam peri hidupnya memiliki sikap kasih sayang. Demikianlah Allah swt memuliakan kita dengan Al-Qur’an dan Rasul-Nya.
Cobalah perhatikan, pernah dalam suatu pertempuran Rasulullah saw menyaksikan ada seorang perempuan yang ikut terbunuh. Lalu beliau mengatakan kepada para sahabatnya, ”Tidak mungkin perempuan ini ikut berperang sehingga ia tidak layak di bunuh.” Demikian rahmat Islam dalam peperangan. Rasulullah saw melarang umatnya untuk membunuh perempuan, anak-anak, orang tua, para pendeta, merusak tempat ibadah, memotong pohon. Perang adalah perkara yang sangat dibenci dalam Islam meskipun perang itu sebagai kenyataan yang dipaksakan dalam kehidupan. Itulah sebabnya Islam menjelaskan bahwa kita adalah rahmat untuk manusia sekalipun kita berperang.
Tidak ada manusia yang mencintai perang. Tidak ada manusia yang senang dengan pertumpahan darah. Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw ada kesempatan untuk membunuh lawan-lawannya dalam peristiwa Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah), tapi itu tidak pernah dilakukan oleh beliau. Ketika seluruh orang Quraisy berkumpul di sekeliling masjidil Haram sebagai pihak yang kalah, Rasulullah saw bertanya kepada mereka, ”Apa yang kalian duga yang akan saya lakukan kepada kalian?” orang-orang Quraisy itu tertunduk dengan mengatakan, ”Kami menduga engkau pasti akan melakukan sesuatu yang baik bagi kami karena engkau adalah saudara kami yang mulia (akhun karim),” Kemudian Rasulullah saw mengatakan kepada mereka, ”idzhabu faantum thulaqa’. laa yatsriba ‘alaikumul yaum. (Hari ini tidak ada dendam. Hari ini kalian bebas semuanya. Pergilah semuanya, kalian bebas.
Lihatlah bagaimana Rasulullah memperlihatkan kasih sayang, ketulusan dan kecintaannya. Bandingkan dengan karikatur yang digambarkan oleh orang-orang Denmark tentang Rasulullah dengan kartun yang menggambarkan Rasulullah dikelilingi perempuan sambil menghunus pedang. Itu sangat berlawanan (kontradiktif) dengan kemuliaan dan kasih sayang Rasulullah saw. Karena ternyata fakta sejarah menunjukkan Rasulullah saw justru mampu memunculkan rasa kasih sayang hingga dalam situasi beliau mampu melakukan apa saja terhadap musuh-musuhnya.
Bila kewajiban kita adalah mensyukuri nikmat Islam, maka kita harus bangga dengan Islam, dan itu artinya kita harus istiqamah dan konsisten serta konsekwen dengan ajaran Islam. Tidak cukup dengan kata-kata bahwa kita adalah Muslim, tapi kita harus mengamalkan apa yang diajarkan oleh Islam. Islam harus mewarnai kehidupan kita, dalam cara berpikir, bersikap, merasa, dan dalam seluruh gaya hidup kita semuanya. Islam sebagai pengarah tunggal dalam segala aspek kehidupan kita. Aspek ideologi, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan pertahanan keamanan.
Jika kehidupan ini tidak ditemani oleh Islam akan membuat pemburunya kecewa dan akan terjadi penyesalan sepanjang hayat.
Marilah kita jadikan Islam sebagai darah daging kita dan jati diri kita. Di sinilah rahasia kemuliaan, kejayaan dan kemenangan kita secara mikro dan makro. Tunjukkan keislaman kita dengan bentuk apa saja; kepribadian, perilaku, pekerjaan dan hubungan. Di mana saja dan kapan saja.  Sebab, jika orang Islam tak bangga dengan Islam-nya, di situlah salah satu indikasi awal kemunduran Islam terjadi. Wallahu a’lam.
Shalih Hasyim. Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah

On Label: , | 0 Comment

Assalamu ‘alaikum wr wb, salam sejahtera untuk kita semua.

Hari ini tanggal 1 Juni 2011, enam puluh enam tahun lalu, tepatnya 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Bung Karno menyampaikan pandangannya tentang fondasi dasar Indonesia Merdeka yang beliau sebut dengan istilah Pancasila sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau sebagai weltanschauung (pandangan hidup) bagi Indonesia Merdeka.

Selama enam puluh enam tahun perjalanan bangsa, Pancasila telah mengalami berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak jaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, era Orde Baru hingga demokrasi multipartai di era reformasi saat ini. Di setiap jaman, Pancasila harus melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.

Sejak 1998, kita memasuki era reformasi. Di satu sisi, kita menyambut gembira munculnya fajar reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang. Namun bersamaan dengan kemajuan kehidupan demokrasi tersebut, ada sebuah pertanyaan mendasar yang perlu kita renungkan bersama: Di manakah Pancasila kini berada?

Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak reformasi 1998, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah kita melupakan Pancasila?

Para hadirin yang berbahagia,

Ada sejumlah penjelasan, mengapa Pancasila seolah "lenyap" dari kehidupan kita. Pertama, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun 1945 -- 66 tahun yang lalu -- telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain:
(1) terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya;
(2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM);
(3) lonjakan pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap "manipulasi" informasi dengan segala dampaknya.

Ketiga perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya, termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar. Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.

Kedua, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila. Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada munculnya ‘amnesia nasional' tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai grundnorm (norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang, secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini.

Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, di masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan massif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai "tidak Pancasilais" atau "anti Pancasila" . Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika terjadi pergantian rezim di era reformasi, muncullah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya. Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.

Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tententu, menurut saya, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah era pemerintahan!

Para hadirin yang berbahagia,

Pada refleksi Pancasila 1 Juni 2011 saat ini, saya ingin menggarisbawahi apa yang sudah dikemukakan banyak kalangan yakni perlunya kita melakukan reaktualisasi, restorasi atau revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam rangka menghadapi berbagai permasalahan bangsa masa kini dan masa datang. Problema kebangsaan yang kita hadapi semakin kompleks, baik dalam skala nasional, regional maupun global, memerlukan solusi yang tepat, terencana dan terarah dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pemandu arah menuju hari esok Indonesia yang lebih baik.

Oleh karena Pancasila tak terkait dengan sebuah era pemerintahan, termasuk Orde Lama, Orde Baru dan orde manapun, maka Pancasila seharusnya terus menerus diaktualisasikan dan menjadi jati diri bangsa yang akan mengilhami setiap perilaku kebangsaan dan kenegaraan, dari waktu ke waktu. Tanpa aktualisasi nilai-nilai dasar negara, kita akan kehilangan arah perjalanan bangsa dalam memasuki era globalisasi di berbagai bidang yang kian kompleks dan rumit.

Reformasi dan demokratisasi di segala bidang akan menemukan arah yang tepat manakala kita menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam praksis kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh toleransi di tengah keberagaman bangsa yang majemuk ini. Reaktualisasi Pancasila semakin menemukan relevansinya di tengah menguatnya paham radikalisme, fanatisme kelompok dan kekerasan yang mengatasnamakan agama yang kembali marak beberapa waktu terakhir ini. Saat infrastruktur demokrasi terus dikonsolidasikan, sikap intoleransi dan kecenderungan mempergunakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan, apalagi mengatasnamakan agama, menjadi kontraproduktif bagi perjalanan bangsa yang multikultural ini. Fenomena fanatisme kelompok, penolakan terhadap kemajemukan dan tindakan teror kekerasan tersebut menunjukkan bahwa obsesi membangun budaya demokrasi yang beradab, etis dan eksotis serta menjunjung tinggi keberagaman dan menghargai perbedaan masih jauh dari kenyataan.

Krisis ini terjadi karena luruhnya kesadaran akan keragaman dan hilangnya ruang publik sebagai ajang negosiasi dan ruang pertukaran komunikasi bersama atas dasar solidaritas warganegara. Demokrasi kemudian hanya menjadi jalur antara bagi hadirnya pengukuhan egoisme kelompok dan partisipasi politik atas nama pengedepanan politik komunal dan pengabaian terhadap hak-hak sipil warganegara serta pelecehan terhadap supremasi hukum.

Dalam perspektif itulah, reaktualisasi Pancasila diperlukan untuk memperkuat paham kebangsaan kita yang majemuk dan memberikan jawaban atas sebuah pertanyaan akan dibawa ke mana biduk peradaban bangsa ini berlayar di tengah lautan zaman yang penuh tantangan dan ketidakpastian? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyegarkan kembali pemahaman kita terhadap Pancasila dan dalam waktu yang bersamaan, kita melepaskan Pancasila dari stigma lama yang penuh mistis bahwa Pancasila itu sakti, keramat dan sakral, yang justru membuatnya teraleinasi dari keseharian hidup warga dalam berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah tata nilai luhur (noble values), Pancasila perlu diaktualisasikan dalam tataran praksis yang lebih ‘membumi' sehingga mudah diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan.

Para hadirin yang berbahagia,

Sebagai ilustrasi misalnya, kalau sila kelima Pancasila mengamanatkan terpenuhinya "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", bagaimana implementasinya pada kehidupan ekonomi yang sudah menggobal sekarang ini?

Kita tahu bahwa fenomena globalisasi mempunyai berbagai bentuk, tergantung pada pandangan dan sikap suatu Negara dalam merespon fenomena tersebut. Salah satu manifestasi globalisasi dalam bidang ekonomi, misalnya, adalah pengalihan kekayaan alam suatu Negara ke Negara lain, yang setelah diolah dengan nilai tambah yang tinggi, kemudian menjual produk-produk ke Negara asal, sedemikian rupa sehingga rakyat harus "membeli jam kerja" bangsa lain. Ini adalah penjajahan dalam bentuk baru, neo-colonialism, atau dalam pengertian sejarah kita, suatu "VOC (Verenigte Oostindische Companie) dengan baju baru".

Implementasi sila ke-5 untuk menghadapi globalisasi dalam makna neo-colnialism atau "VOC-baju baru" itu adalah bagaimana kita memperhatikan dan memperjuangkan "jam kerja" bagi rakyat Indonesia sendiri, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja melalui berbagai kebijakan dan strategi yang berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan usaha meningkatkan "Neraca Jam Kerja" tersebut, kita juga harus mampu meningkatkan "nilai tambah" berbagai produk kita agar menjadi lebih tinggi dari "biaya tambah"; dengan ungkapan lain, "value added" harus lebih besar dari "added cost". Hal itu dapat dicapai dengan peningkatan produktivitas dan kualitas sumberdaya manusia dengan mengembangkan, menerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam forum yang terhormat ini, saya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya para tokoh dan cendekiawan di kampus-kampus serta di lembaga-lembaga kajian lain untuk secara serius merumuskan implementasi nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam lima silanya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam konteks masa kini dan masa depan. Yang juga tidak kalah penting adalah peran para penyelenggara Negara dan pemerintahan untuk secara cerdas dan konsekuen serta konsisten menjabarkan implementasi nilai-nilai Pancasila tersebut dalam berbagai kebijakan yang dirumuskan dan program yang dilaksanakan. Hanya dengan cara demikian sajalah, Pancasila sebagai dasar Negara dan sebagai pandangan hidup akan dapat ‘diaktualisasikan' lagi dalam kehidupan kita.

Memang, reaktualisasi Pancasila juga mencakup upaya yang serius dari seluruh komponen bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai sebuah visi yang menuntun perjalanan bangsa di masa datang sehingga memposisikan Pancasila menjadi solusi atas berbagai macam persoalan bangsa. Melalui reaktualisasi Pancasila, dasar negara itu akan ditempatkan dalam kesadaran baru, semangat baru dan paradigma baru dalam dinamika perubahan sosial politik masyarakat Indonesia.

Para hadirin yang saya hormati,

Oleh karena itu saya menyambut gembira upaya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan kembali empat pilar kebangsaan yang fundamental: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Keempat pilar itu sebenarnya telah lama dipancangkan ke dalam bumi pertiwi oleh para founding fathers kita di masa lalu. Akan tetapi, karena jaman terus berubah yang kadang berdampak pada terjadinya diskotinuitas memori sejarah, maka menyegarkan kembali empat pilar tersebut, sangat relevan dengan problematika bangsa saat ini. Sejalan dengan itu, upaya penyegaran kembali juga perlu dilengkapi dengan upaya mengaktualisasikan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam keempat pilar kebangsaan tersebut.

Marilah kita jadikan momentum untuk memperkuat empat pilar kebangsaan itu melalui aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai weltanschauung, yang dapat menjadi fondasi, perekat sekaligus payung kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan membumikan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian kita, seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai permusyawaratan dan keadilan sosial, saya yakin bangsa ini akan dapat meraih kejayaan di masa depan. Nilai-nilai itu harus diinternalisasikan dalam sanubari bangsa sehingga Pancasila hidup dan berkembang di seluruh pelosok nusantara.

Aktualisasi nilai-nilai Pancasila harus menjadi gerakan nasional yang terencana dengan baik sehingga tidak menjadi slogan politik yang tidak ada implementasinya. Saya yakin, meskipun kita berbeda suku, agama, adat istiadat dan afiliasi politik, kalau kita mau bekerja keras kita akan menjadi bangsa besar yang kuat dan maju di masa yang akan datang.

Melalui gerakan nasional reaktualisasi nilai-nilai Pancasila, bukan saja akan menghidupkan kembali memori publik tentang dasar negaranya tetapi juga akan menjadi inspirasi bagi para penyelenggara negara di tingkat pusat sampai di daerah dalam menjalankan roda pemerintahan yang telah diamanahkan rakyat melalui proses pemilihan langsung yang demokratis. Saya percaya, demokratisasi yang saat ini sedang bergulir dan proses reformasi di berbagai bidang yang sedang berlangsung akan lebih terarah manakala nilai-nilai Pancasila diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demikian yang bisa saya sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya.

Wassalamu ‘alaikum wr wb.

On Label: , , | 0 Comment

Harian Republika, Rabu (11/5/2011) menurunkan berita berjudul: “Kembalikan Pancasila dalam Kurikulum”. Berita itu mengungkap pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mempertanyakan mengapa Pendidikan Pancasila hilang di kurikulum pendidikan. Kata Aburizal, Pancasila tidak boleh dikerdilkan dengan hanya menjadi bagian dari pendidikan kewarganegaraan.

“Sikap Partai Golkar jelas, kembalikan materi pendidikan Pancasila menjadi bagian dari kurikulum pendidikan secara khusus, karena materinya harus diajarkan secara tersendiri,” kata Aburizal Bakrie.

Menurut Aburizal Bakrie, penghapusan pendidikan Pancasila adalah sebuah upaya memotong anak bangsa ini dari akar budayanya sendiri. Pancasila adalah pintu gerbang masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong, budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan, dan toleransi beragama.

Demikian seruan Partai Golkar tentang Pancasila sebagaimana disampaikan oleh Ketua Umumnya. Akhir-akhir ini kita sering mendengar seruan berbagai pihak tentang Pancasila. Tentu saja, ini bukan hal baru. Berbagai seminar, diskusi, dan konferensi telah digelar untuk mengangkat kembali “nasib Pancasila” yang terpuruk, bersama dengan berakhirnya rezim Orde Baru, yang sangat rajin mengucapkan Pancasila.

Partai Golkar atau siapa pun yang menginginkan diterapkannya di Pancasila, seyogyanya bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir dengan tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam perspektif sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam (Islamic worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa Islamic worldview.

Contoh terkenal dari tafsir sekular Pancasila, misalnya, dilakukan oleh konsep Ali Moertopo, ketua kehormatan CSIS yang sempat berpengaruh besar dalam penataan kebijakan politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru. Mayjen TNI (Purn) Ali Moertopo yang pernah menjadi asisten khusus Presiden Soeharto merumuskan Pancasila sebagai “Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan, bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah agama. “Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh negara, maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau melarang siapa saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja.”

Tokoh Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang masalah ini: “Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga meliputi anggapan bahwa Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); atau bahwa Tuhan berjumlah banyak (politeisme), maka ia tidak lagi berdiri di atas Pancasila. Pun pula jika orang beranggapan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi kepercayaan Islam atau Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada hakikatnya juga tidak lagi berdiri di atas Pancasila.” (J.B. Soedarmanta, Pater Beek S.J., Larut tetapi Tidak Hanyut).

Tetapi, sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Drs. R.M. S.S. Mardanus S.Hn., dalam bukunya, Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila, (1968), menulis: “Begitu pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan tidak sekaligus harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan, yaitu percaya dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu agama, karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan.”

Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya, Ketuhanan di Indonesia (Semarang, 1968), menulis: “Apakah orang yang tidak beragama harus dipandang ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit yang percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu.” (Dikutip dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, (Semarang: Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35).

Padahal, jika dicermati dengan jujur, rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ada kaitannya dengan pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu, menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo, menegaskan: “Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125.)

Lebih jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, yang akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).

Sebenarnya, sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot dalam mempertahankan rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan susah payah. Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh Islam lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. Ia, misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan. Tapi, karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi, dan Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat sementara. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki Bagus juga mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar “Ketuhanan”, sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK. Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk akal dibandingkan dengan pengertian yang diajukan berbagai kalangan. (Ibid).

Dalam bukunya, Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”. Syafii Maarif selanjutnya menulis: “Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga melambangkan ajaran tauhid (monoteisme), pusat seluruh sistem kepercayaan dalam Islam.” Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain tidak punya kebebasan dalam menafsirkan sila pertama menurut agama mereka masing-masing. (hal. 31).

Tentang makna Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan Tauhid, juga ditegaskan oleh tokoh NU KH Achmad Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad Siddiq, menyatakan: “Kata “Yang Maha Esa” pada sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (Dikutip dari buku Kajian Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama 1975-1990, disunting oleh Sudjangi (Jakarta: Balitbang Departemen Agama, 1991-1992).

Jika para tokoh Islam di Indonesia memahami makna sila pertama dengan Tauhid, tentu ada baiknya para politisi Muslim seperti Aburizal Bakrie dan sebagainya berani menegaskan, bahwa tafsir Ketuhanan Yang Maha Esa yang tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, di Indonesia, haram hukumnya disebarkan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya, men-SATU-kan Allah. Yang SATU itu harus Allah, nama dan sifat-sifat-Nya. Allah dalam makna yang dijelaskan dalam konsepsi Islam, yakni Allah yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan; bukan Allah seperti dalam konsep kaum Musyrik Arab, atau dalam konsep lainnya.

Kata “Allah” juga muncul di alinea ketiga Pembukaan UUD 1945: “Atas berkat rahmat Allah….”. Sulit dibayangkan, bahwa konsepsi Allah di situ bukan konsep Allah seperti yang dijelaskan dalam al-Quran. Karena itu, tidak salah sama sekali jika para cendekiawan dan politisi Muslim berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid sebagaimana dalam konsepsi Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama Pancasila jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya rumusan tersebut.

Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang antara lain menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia. (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak. (Lihat, pengantar K.H. A. Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009).

Kaum Muslim perlu mencermati kemungkinan adanya upaya sebagian kalangan untuk menjadikan Pancasila sebagai alat penindas hak konsotistusional umat Islam, sehingga setiap upaya penerapan ajaran Islam di bumi Indonesia dianggap sebagai usaha untuk menghancurkan NKRI. Dalam ceramahnya saat Peringatan Nuzulul Quran, Mei 1954, Natsir sudah mengingatkan agar tidak terburu-buru memberikan vonis kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam akan menghapuskan Pancasila. Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada Proklamasi. ”Yang demikian itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak beralasan logika dan kejujuran lagi,” kata Natsir. Lebih jauh Natsir menyampaikan, ”Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita.”

Natsir juga meminta agar Pancasila dalam perjalannya tidak diisi dengan ajaran-ajaran yang menentang al-Quran, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar bangsa Indonesia. (M. Natsir, Capita Selecta 2).

Contoh penyimpangan penafsiran Pancasila pernah dilakukan dengan proyek indoktrinasi melalui Program P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar Negara. Tetapi, lebih dari itu, Pancasila dijadikan landasan moral yang seharusnya menjadi wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah berlebihan. Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981, mantan anggota DPR dari PPP, Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala Perongrongan Agama”. Sejarawan dan budayawan Betawi ini mengupas dengan tajam pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor P-4.

”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”

Kuatnya pengaruh Islamic worldview dalam penyusunan Pembukaan UUD 1945 – termasuk Pancasila – terlihat jelas dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia harus bersikap adil dan beradab. Adil dan adab merupakan dua kosa kata pokok dalam Islam yang memiliki makna penting. Salah satu makna adab adalah pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad saw sebagai Nabi, utusan Allah. Menserikatkan Allah dengan makhluk – dalam pandangan Muslim – bukanlah tindakan yang beradab. Meletakkan manusia biasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan utusan Allah SWT tentu juga tidak beradab. Menempatkan pezina dan penjahat lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan orang yang bertaqwa, jelas sangat tidak beradab.

Jadi, jika Golkar atau siapa pun bersungguh-sungguh menegakkan Pancasila di Indonesia, siapkah Golkar menegakkan Tauhid dan adab di bumi Indonesia? Wallahu a’lam bil-sahawab. (Jakarta, 13 Mei 2011/NB. Paparan lebih lengkap tentang Pancasila bisa dilihat dalam buku: Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (Jakarta: GIP, 2010).

Oleh: Adian Husaini

On Label: | 0 Comment

SHABESTAN — Tim putri Taekwondo Kanada dengan busana Muslim yang dirancang oleh desainer Iran telah meraih medali di kompetisi Taekwondo Montreal. Setelah upaya tanpa lelah Ilham Sayyid Jawad, desainer Iran di Kanada untuk merancang model busana Islam yang sesuai dengan atlet Taekwondo dan atlet-atlet putri Muslim diijinkan kembali untuk mengikuti pertandingan setelah beberapa kali putaran tidak diberi kesempatan, baru-baru ini lima atlet Taekwondo putri Muslim Montreal berhasil meraih empat medali emas dan satu medali perak dalam kompetisi yang mereka ikuti.

Sejalan dengan kebijakan masyarakat Barat yang selalu menentang kehadiran atlet berhijab di kompetisi olahraga, beberapa waktu lalu para pejabat olahraga Quebec Montreal-Kanada juga mencegah partisipasi atlet berhijab di pertandingan Taekwondo.

Setelah kejadian ini Ilham Sayyid Jawad memutuskan untuk merancang model busana Islam yang cocok untuk atlet Taekwondo, dan tidak membiarkan muslimah-muslimah ini kehilangan kesempatan dalam pertandingan hanya karena mengenakan hijab Islam.

Ilham yang mendalami Desain Industri di University of Montreal akhirnya merancang busana Islam khusus untuk atlet Taekwondo.

Busana olahraga ini memiliki dua keistimewaan: pertama, dari sisi keamanan, busana ini tidak melukai dan membahayakan bagi pemakainya dan tidak panas; kedua, topi busana ini didesain sedemikian rapi hingga tidak akan lepas dari kepala ketika ditarik.

Sekarang rancangan yang ia namakan Resport ini sudah terkenal dan memiliki penggemar yang sangat banyak. Tidak hanya dalam olahraga saja, bahkan sektor-sektor lainpun seperti ruang operasi di rumah sakit juga mengenakannya sebagai busana Muslim yang nyaman dan tepat digunakan.

Menurut AFP, Resport kini memiliki harga jual yang sangat tinggi dengan harga sekitar 63 dolar (44 euro).

On Label: , | 0 Comment

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog