dakwatuna.com - Sebagai dai kita bergembira sebentar lagi akan bertemu dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah, rahmat, dan ampunan. Bukan karena kita akan mendapat banyak jadwal ceramah, tapi karena semua aktivitas Ramadhan (ansyithah ramadhaniyah) mendorong kita untuk kembali kepada fitrah.
Kita juga tahu betul bahwa Ramadhan sebagai bulan tarbiyah bukanlah program yang berdiri sendiri. Jika lulus dari program Ramadhan dan kita telah masuk program Allah dalam bentuk tajdid al-fitrah di bulan Syawal (Idul Fitri), program pembekalan ruhul badzl wa tadh-hiyah di bulan Dzulhijah (Idul Adha) sudah menunggu. Di bulan itu kita disiapkan untuk menjadi pribadi yang total dalam berdakwah dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada.
Syakhshiyah (figur) dai yang seperti tersurat dalam ayat 207 Al-Baqarah dan ayat 111 At-Taubah lah yang diinginkan Allah swt. terbentuk di diri kita.
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (Al-Baqarah: 207)
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. (At-Taubah: 111)
Karena itu, kita sangat berharap nanti saat orang banyak bergembira lantaran meninggalkan Ramadhan, kita justru bersuka cita karena memiliki perbaikan fitrah. Sebab, hanya dengan kefitrahan yang utuhlah, kita akan sanggup menjalani kehidupan ini secara benar sesuai dengan syariat Islam yang Allah turunkan sebagai way of life (lihat Ar-Rum ayat 30). Jika fitrah kita tak utuh, maka daya serap dan aplikasi keislaman kita akan tidak sempurna.
Begitu pula saat Idul Adha tiba. Kebanyakan orang bergembira lantaran mendapat daging yang bisa disate bareng bersama tetangga, kita justru bergembira dengan ikrar kesiapan untuk berkorban secara total dalam berdakwah. Bagi kita, semangat fitrah tanpa pengorbanan bagaikan mesin tanpa bahan bakar. Mesin dakwah Islam tidak akan bergerak tanpa kesiapan memberi dan kesiapan korban di jalan Allah dari diri para penghasungnya.
Karena itu, bagi kita, mempertahankan fitrah dengan melanjutkan tradisi ibadah di bulan Ramadhan –meski dengan intensitas yang mungkin agak berkurang– menjadi kebutuhan. Dalam kerangka pengelolaan dakwah, setidaknya ada lima bentuk kegiatan yang harus kita jaga dalam iklim Ramadhan sepanjang tahun yang kita ciptakan.
Pertama, senantiasa memperhatikan aktivitas intelektual (ansyithah fikriyah). Sebab, memelihara keutuhan fitrah sama artinya dengan merealisasikan ibadah yang terdiri dari dua aktivitas –seperti yang disebut ayat 190 surat Ali Imran–, yaitu tadzakur (dzikir) dan tafakur (berpikir).
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Jadi, keutuhan fitrah bukan hanya dijaga dengan ibadah dalam bentuk dzikir (baca: ibadah ritual), tapi juga dengan tafakur mempelajari rambu-rambu alam semesta hingga sampai pada pemahaman yang mencapai hakikat. Inilah aktivitas yang menjadi kelebihan Bapak kita, Adam, sehingga ia mendapat derajat yang lebih tinggi daripada makhluk-makhluk lain yang lebih senior sekalipun, baik malaikat maupun jin.
Fitrah manusia, orisinalitas keislaman, dan dakwah harus dibangun melalui proses ansyithah fikriyah. Dakwah tidak boleh hanya berorientasi pada ashalah aqidah, fikrah, dan manhaj saja. Sebab, jika ketiganya berlangsung tanpa pengembangan, kita akan terjebak pada kejumudan yang membawa malal (kebosanan) dan futur (kemandegan).
Padahal, kereta dakwah yang kita ada di dalamnya bertujuan untuk membangun sebuah peradaban baru yang menghidupkan nilai-nilai Islam dalam dimensi kekinian. Kita bukan saja ingin membentuk setiap individu dalam masyarakat kita sebagai muslim yang berakidah shahihah, tapi juga lokomotif peradaban baru berdasarkan nubuwah yang dibawa Nabi Muhammad saw. Karena itu, kerja-kerja pikir menjadi tuntutan yang harus dilakukan para dai jika ingin bisa mengendarai peradaban (rukub al-hadharah). Inilah hukum besi sejarah yang tidak bisa ditawar. Itulah tiket yang wajib kita miliki jika ingin menang di kancah pertarungan peradaban.
Dengan fitrah yang senantiasa terjaga keutuhannya dan visi-misi ibadah, seorang dai harus bisa memfungsikan peran kekhilafahan yang Allah swt. bebankan di atas pundaknya. Jadi, seorang dai memang bukan saja harus mampu memahami dinamika sejarah, tapi harus selangkah lebih maju dari isu-isu kemanusiaan, trend peradaban, dan perkembangan sosial-budaya-politik yang tengah terjadi.
Kedua, selalu memperhatikan pengembangan kerjasama dan penataan tatanan dakwah (tathwir amal jama’i wa tanzhimi). Sebagai dai kita harus memiliki al-fahm as-syamil wal iltizam al-kamil (pemahaman dan komitmen paripurna) untuk bisa menggerakkan dakwah dengan konsepsi syumuliyah mutakamilah. Fase-fase dakwah yang terus berkembang pesat, dari fase pembentukan kader, pembentukan keluarga-keluarga Islami, membentuk masyarakat Islami, hingga memperbaiki negeri, menuntut dipenuhinya unsur-unsur penyempurna dalam pendekatan dakwah yang sesuai dengan realitas dunia yang berkembang cepat.
Dakwah tidak bisa lagi hanya melakukan pengkaderan, tapi aktivitas yang beragam sesuai dengan fase dan skup dakwahnya. Namun, dalam fase apa pun, sumber daya penggerak dakwah (dalam bentuk waktu, jumlah kader, dan dana dakwah) selalu lebih sedikit dari yang dibutuhkan. Karena itu, kita harus cerdas mengelolanya dengan membuat prioritas amal jama’i yang tepat, syukur-syukur bisa ikut menggerakan program-program yang menjadi prioritas sekunder.
Dalam aktivitas dakwah yang telah menyentuh fase memperbaiki negara dan skup dakwah dengan spektrum yang luas, tidak lagi sekadar mencetak kader, dakwah memerlukan para pengusung yang siap memikul beban, bukan menjadi beban. Dakwah harus dipikul oleh kumpulan dai-dai sehat yang saling bersinergi memberi dan berkorban, saling membantu, senasib dan sepenanggungan untuk mengobati penyakit yang mengidap di tubuh umat.
Memang betul Rasulullah saw. pernah bersabda, “An-naasu ka ibili mi’ah laa takaadu tajidur rahhilah, manusia itu bagaikan seratus unta, tapi hampir saja dari jumlah yang banyak itu kamu tidak mendapatkan unta rahilah, yang sanggup membawa beban berat.” Karena itu, kita berdoa semoga kita adalah yang satu itu. Persis seperti perkataan Umar bin Khaththab, “Jika ada seribu orang muhajid berjuang di garis depan, aku satu di antaranya; jika ada seratus orang mujahid berjuang di garis depan, aku satu di antaranya; jika ada sepuluh orang mujahid berjuang di garis depan, aku satu di antaranya; jika ada satu orang muhajid berjuang di garis depan, itulah aku!” Mari kita tingkatkan kapasitas dan kapabilitas diri kita selalu cocok untuk memikul beban dakwah di setiap fase.
Ketiga, senantiasa memberi perhatian pada pengembangan ilmu, wawasan dan perabadan (tathwir ilmi wa tsaqafi wa hadhari). Ini aspek penting untuk meningkatkan penguasaan kita terhadap wasail (sarana) dan asalib (metoda) dalam memperjuangkan peradaban yang kita idamkan.
Kita harus mampu mengantisipasi masa depan dengan memahami perkembangan trend ilmu dan teknologi, trend ekonomi, politik dan budaya. Bahkan, kita harus maju melangkah dengan menjadikannya sebagai sarana dakwah. Karena itu, belajar dan tingkatkan terus wawasan kita. Serap informasi dunia, khususnya yang terkait dengan tathwir ilmi wa tsaqafi, sehingga kita mampu mengokohkan pemahaman masyarakat melalui unsur-unsur peradaban.
Keempat, memperhatikan pengembangan sosial dan ekonomi (tathwir ijtima’i wa iqtishadi). Berdakwah tentu saja berarti kita harus berinteraksi dengan masyarakat berikut dinamika peradaban yang melingkupnya yang terus menerus berubah. Tentu saja tanpa kita menanggalkan prinsip dan kepribadian Islam yang telah menjadi jati diri kita.
Untuk itu, Rasulullah memberi empat resep pola pendekatan yang jitu: pertama, pendekatan budaya dan bahasa, khatibun naas ala qadri lughatihim, berbicara dengan manusia sesuai bahasa mereka. Kedua, pendekatan intelektual, khatibun naas ala qadri uqulihim, bicaralah dengan manusia sesuai kemampuan nalarnya. Ketiga, pendekatan sosial, anzilun nas manazilahum, tempatkanlah manusia sesuai dengan kedudukan mereka. Keempat, pendekatan ekonomi, tu’khadzu min aghniyaaihim wa turaddu ila fuqaraihim, ambillah sebagai harta orang kaya dan bagikanlah kepada orang-orang miskin di antara mereka.
Namun, Rasulullah saw. juga bersabda, “Orang yang tidak punya, tidak bisa memberi.” Karena itu, di kalangan para dai harus ada ta’awun ijtima’i dan iqtishadi. Jangan sampai ada teman seperjuangan kita yang mengeluh masalah pemenuhan kehidupan sehari-hari.
Kelima, perhatian pada pengembangan politik (tathwir siyasi). Bentuknya berupa kemampuan mendayagunakan apa yang ada untuk tujuan dakwah. Kisah Nabi Yusuf mengajarkan kepada kita bahwa sumber daya kafir sekalipun (struktur kerajaan dan masyarakat Mesir waktu itu) bisa dikendalikan sang dai untuk mensukseskan misi dakwahnya.
Begitu juga Rasulullah saw. dengan Piagam Madinahnya di awal-awal hijrah. Beliau mampu membuat rekayasa politik yang positif dengan membentuk kerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat lain untuk mempertahankan kota Madinah jika diserang musuh.
Jadi, seorang dai tidak alergi untuk membentuk aliansi strategis dengan kelompok-kelompok yang memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama ingin mempertahankan kedaulatan negara dan menyejahterakan masyarakat. Dengan stabilitas politik dan ekonomi yang tercipta, dakwah akan bisa dilakukan lebih masif dan mengcover semua penduduk negeri. Itulah rahasia kemenangan perjanjian Hudaibiyah yang baru belakangan diketahui oleh para sahabat. Setelah perjanjian itu ditandatangani, dakwah bisa disebarkan melampaui batas-batas wilayah Arab (sampai ke Persia dan Romawi), sebab para dai tidak lagi disibukan dengan kegiatan perang.
Begitulah cara dai memaknai Ramadhan dan beraktivitas menciptakan suasana Ramadhan di luar Ramadhan.