Hal yang paling sulit dari banjir informasi di abad informasi, adalah menyaringnya…
Kemampuan yang paling hebat, dan juga paling mengerikan dari para
filsuf, sastrawan, dan penulis amatiran (seperti saya), adalah merangkai
kata-kata. Kemampuan persuasi, yang bisa membuat hal-hal yang
sebenarnya koplak, terlihat bijak. Suatu hal-hal yang jelas salah pun,
akan bisa terlihat luar biasa benar, luar biasa masuk akal, lengkap
dengan argumen yang indah dan berbunga-bunga, yang kedengarannya muncul
dari seorang bijak berjanggut yang sedang bersemedi di bawah pohon,
lengkap dengan kicauan burung di latar belakang.
Kata-kata bijak berikut ini, saat pertama anda membacanya, anda
mungkin akan manggut-manggut setuju, hati anda tersentuh, bahkan mata
anda akan berkaca-kaca sambil menghela napas panjang sambil membatin:
‘iya juga yaa..’ Benarkah itu bijak? Yuk kita kritisi..
“Kita tidak perlu menghakimi keburukan orang lain.
Biarlah itu urusan dia dengan Tuhannya. Hanya Tuhan yang tahu mana yang
paling benar. Hanya Tuhan lah yang berhak menghakimi, di akhirat
kelak..”
Wow, wow, wow, tunggu dulu.. Jika saja hanya Tuhan yang
berhak menghakimi, mari kita bubarkan semua lembaga peradilan, karena
manusia tidak berhak menghakimi bukan? Mau orang korupsi, mencuri,
menjadi gay dan lesbian, menghina agama, bahkan membunuh orang lain,
biarkan saja. Toh kita tidak berhak menghakimi orang lain kan? Hanya
Tuhan yang berhak. Jadi jika ada polisi yang coba mendenda kita karena
buang sampah atau merokok sembarangan di Singapura, tampar saja si sok
tahu itu, dan katakan: “hanya Tuhan yang berhak menghakimi saya!!” Jika
kita hanya membiarkan Tuhan yang mengadili semua keburukan-keburukan
manusia di dunia, kita tidak perlu hukum lagi, dan mari kita kembali ke
zaman batu (bahkan manusia zaman batu pun punya peraturan). Atau kita
ikuti saja kata-kata teman saya: “Lemah teles, Gusti Alloh seng
mbales..”
“Kenapa kita ribut-ribut masalah yang sepele sih?
Pornografi diributin, penulis buku yang mempromosikan lesbi dihalangin..
Lady Gaga diributin.. Mendingan urusin tuh koruptor, mereka yang lebih
berbahaya bagi bangsa kita ini..”
Weks.. Ini sih sama saja dengan: “Ngapain kita tangkap orang
yang nyolong sandal, tuh yang maling motor aja dikejar..”. Lha
perbuatan buruk, besar atau kecil, tetap harus dihalangi. Jika orang
tersebut menentang pornografi, bukan berarti dia diam saja terhadap
koruptor kan? Bukankah lebih baik kita menjaga dari keduanya. Katakan:
say no to pornografi dan korupsi! Dua-duanya, menurut saya, cepat atau
lambat, akan menghancurkan negara ini. bahkan masyarakat barat sendiri
pun cukup resah dengan pornografi, koq malah kita mendukungnya?
“Tuhan itu maha kuasa, maha agung, maha besar. Jadi
ga perlu dibela. Jika kalian membentuk gerakan untuk membela agama, itu
sama saja dengan kalian melecehkan kekuasaan dan kekuatan Tuhan. Tuhan
ga perlu dibela..”
Weleh, tunggu sebentar. Organisasi-organisasi agama yang
dibentuk selama ini, dari agama manapun, didirikan untuk membela Tuhan,
atau untuk kepentingan para pemeluk agama? Organisasi tersebut dibentuk
untuk mengurusi, menyuarakan, dan mengakomodasi kepentingan para
penganutnya. Jika organisasi tersebut bertujuan melindungi kepentingan
para anggotanya, kenapa dituduh sedang berusaha membela Tuhan? Saya koq
tidak ingat ada organisasi agama yang visi dan misi organisasinya
adalah: “untuk membela Tuhan di muka bumi..”
“Kenapa sih anti banget dengan seks bebas? Anti
banget dengan rok mini? Padahal diam-diam toh suka nonton film porno,
doyan seks juga, suka melototin paha juga.. Dasar otaknya aja yang
kotor.. Bersihin tuh otaknya, jangan urusin pakaian orang lain.. Kalau
otaknya bersih dan imannya kuat, mau ada yang telanjang di depannya juga
ga akan tergoda.. Gak usah munafik dan sok suci deh..”
Lhaaa… Sebentar… Kelompok yang anti seks bebas bukan berarti
mereka ga doyan seks ya.. Yang menjadi penentu adalah bagaimana cara
kami menyalurkan hasrat kami.. Kami tentu saja suka seks, menikmati
seks, tapi dengan pasangan kami, dengan cara yang bertanggung jawab..
Seks merupakan rahmat Tuhan, tapi nikmatilah secara bertanggung jawab..
Jika kami memang maniak seks yang suka meniduri semua makhluk yang
berkaki dua, tentu saja kami dengan senang hati mendukung seks bebas..
Itu berarti kami makin bebas meniduri berbagai macam wanita tanpa harus
pusing mikirin pampers dan susu, karena, dengan menyebarnya paham seks
bebas, makin banyak wanita yang bersedia kami manfaatkan (dan kami
tiduri), kemudian kami tinggalkan setelah puas..
Otak kami yang kotor? Ayolah, jika saja para lelaki diciptakan tanpa
nafsu, maka sudah lama manusia punah.. Sudah kodratnya laki-laki akan
tergerak nafsunya jika melihat paha wanita.. Jika ada lelaki yang dengan
gagah berani bilang tidak tergerak nafsunya saat melihat paha wanita
cantik, itu hanya omong kosong agar semakin banyak wanita yang
memamerkan pahanya dengan senang hati.. Rok mini, memang diciptakan
untuk memancing perhatian (dan nafsu) para lelaki.. Jika kami memang
berfikiran kotor dan tak bisa menahan iman, tentu kami akan turun ke
jalan untuk mendukung semua wanita memakai rok mini.. Makin banyak
wanita yang bisa memuaskan nafsu kotor kami.. Jadi, siapakah yang
berfikiran kotor dan tidak bisa menahan iman? Para lelaki yang menentang
rok mini, atau pendukungnya? Para penentang seks bebas, atau
pendukungnya?
Propaganda, seringkali seperti pelacur, menggunakan riasan tebal dan indah untuk menutupi kebusukan di baliknya..
Saya pernah tinggal di kos-kosan di Yogya, yang anak-anaknya
terdiri dari berbagai macam aliran: agnostik, atheis, kejawen, liberal,
penyembah keris, bahkan ada begitu bingung, sehingga akhirnya mengaku
sebagai komunis relijius…
Dengan beragamnya fikiran yang pernah kami perdebatkan, diiringi
menyeruput kopi dan menghisap rokok, fikiran saya dijejali dengan
berbagai macam aliran lengkap dengan argumen yang luar biasa indah..
Mungkin itu yang membuat saya jadi terlatih mengasah logika, sambil
garuk-garuk kepala, dan selalu mencoba melihat jauh ke balik kata-kata
nan indah itu.. Nih, kata-kata bijak yang lagi trend saat ini:
“Lady Gaga koq diributin.. Apa bedanya dengan yang
sudah ada di Indonesia? Penyanyi Indonesia juga banyak tuh yang seronok.
Tuh penyanyi dangdut seronok masuk sampai ke kampung-kampung, ditonton
anak-anak. Jika mau adil, yang seperti itu juga dilarang dong..”
Lha para pendukung kebebasan itu memangnya selama ini mendukung
pelarangan pornografi sampai ke kampung-kampung? Dulu saat Inul banyak
yang menentang, kaum liberalis juga menggunakan dalil yang sama: ‘yang
lain juga dilarang doong’. Protes soal chef Sarah Quin (betul ga ya
namanya?), juga ditentang dengan alasan: ‘dia ga sengaja tampil seronok
koq’. Jika tempat-tempat maksiat digerebek, katanya menghalangi orang
cari nafkah. Jika penyanyi dangdut seronok itu diprotes masyarakat
sekitar, dijawab: urus dosa masing-masing, kalau ga suka ya ga usah
nonton.. Bahkan di saat semua itu berusaha dikurangi dengan UU Anti
Pornografi dan Pornoaksi, banyak yang menjerit-jerit: “jangan memasung
kebebasan berekspresi!” Intinya kan sebenarnya: “Jangan larang kami
melakukan pornografi dan pornoaksi, di tingkat manapun! Mau kami menari
bugil sambil mutar-mutarin baju di atas kepala di genteng rumah kami, yo
jangan protes!” Jadi, kenapa membanding-bandingkan Lady Gaga ama
Keyboard Mak Lampir? (julukan para pedangdut seronok di daerah kami..).
Toh dua-duanya sebenarnya kalian dukung, atas nama kebebasan
berekspresi? Kami, malah sedang berusaha menentang dua-duanya..
“Kita hidup dlm masyarakat yg sangat plural, sehingga
setiap individu hendaknya bebas memilih & menjalankan apapun
prinsip hidupnya (termasuk mendukung Irshad Manji atau Lady Gaga), lalu
semuanya saling menghormati dlm segala perbedaan pilihan tsb”
Hmm.. Bijak dalam teori, kacau balau dalam praktek. Jika saja semua
individu bebas menjalankan prinsip hidupnya, maka kita ga perlu nunggu
suku Maya meramalkan akhir dunia. Bisa dibayangkan, jika banyak orang
yang mendukung Sumanto, lalu menjalankan prinsip hidupnya sebagai
kanibal, maka ayam goreng Kentucky ga bakal laris lagi, dan banyak orang
yang nenteng-nenteng pisau daging dan botol merica di jalanan.. Atau,
jika banyak orang yang mendukung Amrozi, kemudian menjalankan prinsip
hidupnya sebagai pelaku bom bunuh diri, maka terminal bus way yang
paling sesak pun akan bubar dalam 5 detik (termasuk penjaga tiketnya)
begitu ada lelaki menyandang ransel datang mendekat..
Ya, ya saya tahu.. Argumen saya di atas pasti akan berusaha
dimentahkan dengan argumen: “yang penting kan ga merugikan kalian” dalam
bentuk kata-kata bijak nan koplak berikut:
“Apa salahnya dengan pornografi? Atau lesbi? Atau
perbuatan-perbuatan maksiat lainnya? Toh ga merugikan anda. Jika anda
tidak suka, ya ga usah ditonton, ga usah diikuti. Jika takut anak anda
terpengaruh, ya perkuat pendidikan iman anak-anak anda. Kalau iman sudah
kuat, mau 1000 Lady Gaga datang ke Indonesia, iman kita (dan anak-anak
kita) tidak akan terpengaruh..”
Hellooo.. Kita memang makhluk individu, tapi kita juga makhluk
sosial. Setiap tindakan kita, sekecil apapun, akan berpengaruh terhadap
lingkungan kita. Contoh gampangnya, kenapa kita protes sama tetangga
kita yang buang sampah ke kali? “Toh sampahnya sampah dia sendiri (ya
mana mungkin dia dengan ikhlas buangin sampahnya ente), kalinya bukan
milik mbahmu, lantas kenapa ente yang sewot?” Lha memangnya kalo banjir,
banjirnya muter-muter dulu cari siapa bajingan yang membuang sampah,
lalu terus menyerbu menggenangi rumah tetangga anda saja sampai setinggi
kepala?
Ok kita tidak suka perbuatan-perbuatan maksiat, dan kita berhasil
menghindarinya. Lalu kita juga menanamkan iman yang kuat ke anak-anak
kita, dan juga berhasil. Dan kita teriak ke luar sana: “Maree seneee
Lady Gaga, Freddy Mercury, Jhon Kei dan Mak Lampir jadi satu!! Iman saya
dan keluarga saya dah kuat koq!” Tapi sekian tahun ke depan, tiba-tiba
ada anak tetangga kita yang kecanduan pornografi, lalu tidak tahan, dan
akhirnya memperkosa anak perempuan kita.. Atau ada orang yang mabuk
karena alkohol dan narkoba, lalu menabrak seluruh keluarga kita yang
sedang jalan-jalan di trotoar.. Atau anak perempuan kita hilang, diculik
sindikat yang menjualnya ke prostitusi.. Atau anak lelaki anda disodomi
keluarga jauh anda.. Atau seorang pecandu merampok dan membunuh anda
karena butuh uang untuk beli sabu.. Sama seperti banjir, ekses negatif
dari perbuatan maksiat, tidak akan pernah pilih-pilih siapa korbannya,
baik anda berbuat maksiat atau tidak..
Benar, bahwa kita tidak salah 100%, tapi, sebenarnya, kita tetap
punya andil dalam hal itu. Kita sukses memperkuat iman keluarga kita,
tapi kita abai dengan lingkungan kita. Itulah kenapa dalam Islam ada
seruan: “amar makruf, nahi munkar”. Menyeru kepada kebajikan, mencegah
kemungkaran. Jika kita mengabaikan kemunkaran di lingkungan kita, dengan
prinsip: “urus dosa masing-masing”, yakinlah, cepat atau lambat, kita
akan memetik hasilnya…
Masih enggan untuk amar makruf nahi munkar?
“Beri saya 10 media massa, maka saya akan merubah dunia..”
Saat ini, sungguh naif jika kita percaya media mainstream akan
memberikan opini yang netral dan berimbang terhadap semua hal. Mereka
akan memberikan opini yang sesuai dengan kepentingan sang pemilik
(gimana kalo pemiliknya adalah Ryan Jagal?). Sungguh sangat berbahaya
jika kita menganggap semua yang diberitakan media adalah berita yang
100% benar, tanpa berusaha mengkritisi dan mencari berita dari sudut
pandang lain sebagai penyeimbang. Yuk, kita kritisi kata-kata bijak
penutup ini..
“Menonton atau membaca pornografi, kekerasan, atau
apapun tidak akan mempengaruhi saya. Toh semua manusia dibekali filter
untuk menyaring, dan otak untuk berfikir. Jadi mau saya baca atau tonton
ribuan kali pun , tidak akan merubah pendirian saya.. Satu kali nonton konser lady Gaga tidak akan membuat yg nonton jd pemuja setan dan lesbian kan?”
Hohohoho.. Yuk kita bandingkan keadaan sekarang dan keadaan 20 tahun
yang lalu, tahun 80-90an. Zaman dulu, seks bebas di Indonesia masih
sangat sedikit jumlahnya. Untuk kaum remaja saat itu, bergandengan
tangan di depan umum saja, sudah menimbulkan ledekan yang membuat sang
pelaku ingin menceburkan diri ke selokan terdekat. Lihat anak-anak
sekarang? Mungkin anda sendiri yang dengan sukarela akan menceburkan
diri ke selokan terdekat saat melihat gaya mereka berpacaran. Bahkan
sekarang mereka dengan senang hati menyebarkan prilaku mereka dalam
bentuk video yang jumlahnya mulai menyaingi produksi film porno Amerika
dalam setahun.. Kenapa bisa bergeser? Apa anda kira para orang tua dan
guru lah yang menanamkan dogma: “Anakku, kamu harus rajin-rajin seks
bebas yaa, biar dapat rangking.. Yuk kita memasyarakatkan seks bebas dan
menseks bebaskan masyarakat..”?
Jadi, siapa yang mengajari mereka? Jawabannya sederhana: media massa.
Selama berpuluh-puluh tahun mereka menggempur otak bawah sadar kita
dengan berbagai film, buku, berita, cerita, sinetron, dan lain-lain yang
secara sangat halus menyiratkan: “Seks bebas itu hal yang biasa aja
cooy.. Anak gaul, malu dong jika masih perawan di usia 18. Tuh, banyak
artis idola kamu yang melakukannya.” Memang benar 1000 kali membaca,
atau 1x nonton Lady Gaga belum tentu merubah kita.. Tapi, pesan-pesan
itu ditanamkan selama berpuluh-puluh tahun, dalam bentuk jutaan pesan
per tahun, dari berbagai arah, terhadap anda dan keluarga anda. Yakin
anda dan keluarga anda tidak terpengaruh sedikitpun?
Siapa yang paling mudah bobol? Tentu saja anak anda. Anda kira,
kenapa iklan McDonald dan rokok mengarah kepada anak-anak dan remaja?
Karena merekalah berada dalam fase yang labil dan paling mudah
dipengaruhi, dibandingkan orang tuanya. Saat mereka menjadi dewasa dan
lebih bijaksana, rokok, junkfood dan seks bebas itu sudah menjadi
kebiasaan mereka, candu mereka, sehingga mereka akan sangat sulit
meninggalkannya, walau akhirnya paham kerusakan macam apa yang ada
dibaliknya.
“Tetap ngga ngaruh maaas, iman gue kan KW1″ Mungkin. Tapi, sedikit
banyak, anda akan terpengaruh. Anda akan menjadi permisif: “Biar ajalah
orang lain melakukannya, yang penting aku tidak.. Toh banyak yang
melakukan, dan itu bukan urusanku”. Itulah yang menjadi target
selanjutnya: menanggalkan kontrol sosial anda.. Jika laju ‘cuci otak’
ini terus berlanjut, sepuluh tahun ke depan, jangan heran jika akhirnya
kitalah yang mengekspor video porno ke Amerika dan masyarakat Amerika
lah yang nonton konser Iwak Peyek Tour 2022..
“Jangan melihat siapa yang mengatakan dong. Kalau mau
mengkritisi, kritisi gagasannya, kata-katanya, fikirannya. Jangan
kritisi pribadi dan kelakuannya (bahasa alaynya: ad hominem).”
Oalaaah.. Saya beri contoh kasus ringan. Misalnya, kata-kata ini
diucapkan dua orang yang berbeda: “Saya akan memajukan bangsa Indonesia.
Saya akan berjuang menciptakan budaya bebas korupsi, pola hidup
sederhana, dan mengikis habis kebohongan birokrat dan legislatif” Yang
pertama, diucapkan oleh Buya Hamka. Satu lagi, diucapkan Angelina
Sondakh. Saya rasa, yang pertama membuat anda manggut-manggut percaya,
dan yang kedua membuat anda setengah mati menggigit bibir, lalu
terguling karena tertawa terbahak-bahak.. Kenapa kata-kata yang sama
persis, dengan nada sama persis, tapi diucapkan oleh dua orang yang
berbeda, hasilnya bisa berbeda? Setiap kata-kata, sebijak apapun, selalu
ada motif dibaliknya. Dan motif itu, sangat terkait dengan pribadi
orang yang mengucapkannya. Jadi, kenapa kita tidak boleh mengkritisi
pribadi yang mengucapkannya?
Jika anda ingin minta pendapat tentang gaya rambut, anda bertanya
kepada penata rambut, atau ke tukang las? Jika saya bilang “lha masa
tukang las mengerti soal gaya rambut”, apa itu ad hominem?
Kasus Irshad Manji adalah contoh lain yang gamblang tentang hal itu.
Dia dibesar-besarkan media sebagai seorang reformis muslim yang berusaha
mencerahkan umat Islam. Tapi di dalam bukunya, ia membantah
prinsip-prinsip Islam sendiri dengan cara mempromosikan lesbian, gay dan
transgender, menghina jilbab, bahkan meragukan kesempurnaan Al Quran..
Jika kita mengkritisi pribadinya yang lesbian (dan tentu saja ia akan
berjuang keras agar lesbian dihalalkan dalam Islam) dan mengkritisi
sikapnya yang meragukan Al Quran, di mana salahnya? Bukankah kita memang
selalu menilai siapa yang berbicara, bukan hanya apa yang ia ucapkan?
Bagaimana mungkin dia seorang muslim, jika ia meragukan Al Quran? Itu
kan sama saja dgn ia mengaku lesbian, sambil menyatakan lagi jatuh cinta
dgn Rhoma Irama.. Lha kenapa jika kami meragukan keislamannya,
tiba-tiba muncul teriak-teriak histeris “Ad hominem! Ad hominem!?”
Nah, kata bijak terakhir ini, mungkin adalah yang paling masuk akal,
dan paling sulit dibantah. Tapi mungkin juga, inilah kata-kata bijak
yang paling koplak..
“Di masyarakat yang plural ini, janganlah ada
pemaksaan kehendak. Biarlah setiap orang melakukan pilihannya sendiri,
tanpa paksaan. Sesuatu yang dipaksa itu pasti tidak baik. Nilai yang
dianut setiap orang berbeda, jadi jangan paksakan nilai yang kamu anut
terhadap orang lain.. Jangan jadi tirani mayoritas..”
Sulit membantahnya kan?
Pertama-tama, saya tanya dulu: apakah sebagian besar dari kita memang
dengan sukarela masuk kerja jam 8 dan pulang jam 5 atau bahkan lembur?
Apakah memang kita yang memohon-mohon agar jatah cuti kita setahun cukup
dua minggu? Apa anda memang luar biasa ikhlas dengan jumlah gaji anda
sekarang? Jika tidak, kenapa anda tidak coba mengatakan kepada atasan
anda sekarang:”Maaf pak, sebenarnya saya menganut paham bahwa kerja itu
hanya 3 jam sehari, cuti 6 bulan dalam setahun, dengan gaji minimal 30
juta. Jadi, jangan paksakan kehendak bapak..”
Apa anda dulu saat remaja belajar dengan sukarela, ikhlas bin legowo?
Semua hukum dan undang-undang, apalagi dalam alam demokrasi, pada
prinsipnya, adalah pemaksaan kehendak, dari sebagian besar masyarakat
yang sepakat, kepada masyarakat lainnya yang tidak sepakat. Memangnya
semua orang setuju dengan UU tentang Narkotika? Atau UU tentang Korupsi?
Atau bahkan UU Pajak? Apa anda kira semua wajib pajak memang sudah
gatal setengah mati ingin membayar pajak sebesar itu? Lha kenapa kaum
liberal ga pernah menjerit-jerit di jalanan: “Jangan paksakan kehendak!
Biarkan mereka bayar pajak seikhlasnya..”
Jadi kenapa, saat ada penduduk di suatu daerah setuju untuk
memberlakukan perda anti prostitusi, perjudian dan miras, dengan hukuman
cambuk bagi pelakunya, kaum liberal tiba-tiba lantang berteriak “Itu
melanggar HAM!”. Anda kira memenjarakan orang itu tidak melanggar HAM
nya untuk hidup bebas merdeka? Dan kenapa, ketika RUU Anti Pornografi
dan Pornoaksi berusaha disahkan, tiba-tiba saja prinsip demokrasi
berdasar suara terbanyak dianggap sebagai tirani mayoritas? Jika memang
begitu, ga ada salahnya dong jika para pecandu narkoba dan miras
ramai-ramai naik xenia untuk demo di jalanan dan berteriak “Jangan jadi
tirani mayoritas! Kalian sudah melanggar HAM kami untuk ajeb-ajeb sampai
pagi..”.
Jika saja setiap undang-undang harus disepakati semua orang dulu baru
bisa disahkan, maka kita tidak akan pernah punya undang-undang satu
pun. Yang tidak boleh, adalah memaksa dengan kekerasan. Jika sudah
banyak yang setuju, dan memang UU itu demi kebaikan bersama (sama
seperti kita dipaksa belajar saat remaja), di mana salahnya?
Penutup
Jujur, saya tidak membenci orang-orang liberal. Beberapa teman-teman
dekat saya adalah orang liberal. Dan saya tahu, beberapa dari mereka,
memang yakin bahwa yang mereka perjuangkan adalah demi kebaikan bangsa..
Tapi, banyak juga di antara mereka yang hanya ingin menciptakan
lingkungan yang tepat, untuk melampiaskan nafsu mereka..
Tapi, saya koq sama sekali tidak sreg melihat arah menuju kebebasan
yang mulai sangat kebablasan ini. Lihat generasi muda kita. Terus
terang, jika melihat gang motor melintas yang membuat saya ngeri, video
porno remaja yang terbit seminggu sekali, anak-anak SD di warnet yang
saling memaki sambil mendownload lagu “selinting ganja di tangaaan…”,
remaja yang membentak ibunya, siswa SMP menjual diri demi beli
handphone, dan penjual narkoba yang jauh lebih banyak daripada
indomaret, saya kadang-kadang pingin kemas-kemas dan pesan tiket ojek
sekali jalan ke Timbuktu. Bukan ini lingkungan yang saya bayangkan bagi
saya dan anak-anak saya kelak.. Dan saya bisa bayangkan masa depan
negara kita jika para remaja yang seperti ini yang menjadi para pemimpin
kita kelak..
Lantas apa yang bisa kita lakukan? Mengharapkan media mainstream
untuk mendidik remaja kita, sama saja seperti mengharapkan Lady Gaga
mengisi kuliah subuh. Mereka lah yang menolak paling keras dan berjuang
menggiring opini masyarakat setiap kali kita ingin negara mengendalikan
mereka. Kadang-kadang, saya merasa, mereka lah yang menjadi lembaga
superbody. Dan ingatlah: para wartawan media, adalah karyawan, yang
tunduk pada kehendak majikan mereka.
Jurnalisme warga seperti kompasiana, forum-forum seperti kaskus,
blog-blog, dan media-media online lainnya, mungkin itulah satu-satunya
harapan kita di masa depan. Sulit melawan media mainstream? Jelas, jika
dilakukan sendirian. Tapi, saya yakin, banyak orang-orang yang memiliki
nurani di luar sana yang, saya harap, bersedia menyeimbangkan dan
memulihkan cuci otak masyarakat dari pengaruh yang telah media massa
berikan. Ingatlah, revolusi raksasa yang merubah bangsa Arab sudah
membuktikan, bahwa kekuatan jurnalisme warga yang bersatu bahkan mampu
menumbangkan para pemimpin yang didukung salah satu negara terkuat di
dunia. Demi hidup kita, dan hidup anak-anak kita, apa itu bukan sesuatu
yang pantas diperjuangkan?
“Orang-orang
yang mencari kebenaran itu, seperti air. Jika dihadang, ia berbelok.
Dibendung, ia akan merembes. Bahkan jika dibendung dengan menggunakan
beton dalam bendungan raksasa, ia akan menguap.. Ia tidak akan pernah
lelah mencari jalannya…”
Oleh: Dian Jatikusuma, Medan
Kompasianer, http://www.kompasiana.com/dianjatikusuma