Ilustrasi: Meski harus bersaing dengan peserta-peserta dengan fisik normal, Esa mengaku optimistis dapat menembus persaingan merebut kursi di perguruan tinggi yang diinginkannya. Kemampuannya bersaing dengan siswa normal telah ditunjukkannya selama duduk di bangku Sekolah Dasar, SMP, hingga SMA. Bahkan, nilai hasil ujian nasional Esa terbilang tinggi, yakni 44,20 atau rata-rata lebih dari tujuh.
Karena Esa Tak Pernah Putus Asa
Kamis, 2 Juli 2009 | 09:33 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Mohamad Burhanudin
PURWOKERTO, KOMPAS.com - "Mohon diulang pertanyaannya, Bu," pinta Esa Anna Mirabillia (19) kepada Titin, pengawas ujian, Rabu (1/7). Dengan sabar, Titin membacakan kembali pertanyaan di lembar soal seperti yang diminta Esa.
"B, Bu," jawab Esa, tegas atas pertanyaan tentang logika itu. Akhirnya, Esa pun mampu menyelesaikan 45 dari 55 soal Tes Potensi Akademik yang diujikan tepat pukul 09.00. Esa dibantu oleh Titin, yang bertugas membacakan soal-soal jawaban beserta petunjuknya.
Hanya 10 soal yang tak dikerjakan Esa. Sepuluh soal tersebut adalah pertanyaan tentang gambar yang memang tak mungkin dikerjakannya.
Ya, Rabu pagi itu, Esa tengah mengikuti ujian Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jateng. Gadis lulusan SMA Negeri 4 Purwokerto tersebut adalah satu-satunya peserta SNMPTN penyandang tuna netra di kampus Unsoed.
Namun, meski memiliki keterbatasan fisik, materi ujian untuk Esa tak dibedakan dengan peserta lainnya. Perempuan kelahiran 16 Mei 1990 ini mengerjakan soal-soal TPA sebagaimana peserta lainnya, serta Matematika Dasar pada sesi kedua.
"Hanya sepuluh soal yang tak saya kerjakan karena sifatnya visual, yaitu melanjutkan gambar," tutur Esa, seusai tes.
Pada SNMPTN ini, Esa memilih jurusan Sastra Belanda Universitas Indonesia sebagai pilihan pertama dan Sastra Perancis Universitas Negeri Semarang sebagai pilihan keduanya.
Esa memilih jurusan ilmu sosial, meskipun sebetulnya di SMA dia adalah siswa jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Selain menyukai sastra, pilihannya ke jurusan sosial juga karena jurusan tersebut memungkinkannya belajar dengan cara mendengar.
"Kalau IPA banyak visualnya," ungkap gadis yang mengaku hobi bermain alat musik kibor ini.
Esa, meskipun harus bersaing dengan peserta-peserta dengan fisik normal, mengaku optimistis dapat menembus persaingan merebut kursi di perguruan tinggi yang diinginkannya. Kemampuannya bersaing dengan siswa normal telah ditunjukkannya selama duduk di bangku Sekolah Dasar, SMP, hingga SMA. Bahkan, nilai hasil ujian nasional Esa terbilang tinggi, yakni 44,20 atau rata-rata lebih dari tujuh.
Untuk mempersiapkan diri mengikuti SNMPTN, Esa secara khusus menggunakan laptop yang dilengkapi dengan alat bantu audio.
"Saya belajar biasanya sampai jam sepuluh malam," lanjut dia.
Stephen Johnson Syndrome
Esa sebenarnya bukanlah penyandang tuna netra sejak lahir. Problem penglihatan mulai dialaminya sejak kelas tiga SD. Menurut ayah Esa, Johanes Giwantoro, kebutaan Esa disebabkan penyakit 'Stephen Johnson Syndrome' yang dideritanya sejak umur tiga tahun.
Awalnya, Esa merasa kepanasan hingga kulitnya pun melepuh. Akhirnya, penyakit tersebut juga menyerang penglihatannya hingga menyebabkan kebutaan saat baru berusia delapan tahun. Akibat kebutaannya itu, Esa secara halus dikeluarkan dari sekolahnya.
"Lalu saya berusaha mencarikan sekolah baru buat dia, akhirnya dia diterima di SD Bruderan, Purwokerto," kata Yohanes.
Selepas lulus SD, bukan perkara mudah bagi Johanes mencarikan sekolah untuk putri sulungnya itu. Banyak SMP yang menolaknya. Akibatnya, keinginan Esa untuk masuk SMP harus tertunda satu tahun, sebelum akhirnya diterima di SMP 5 Purwokerto.
SMP 5 saat itu menjadi SMP pertama yang membuka kelas inklusi di Purwokerto. Sejak saat itu, banyak sekolah SMP di Purwokerto yang ikut membuka kelas inklusi.
"Mungkin itu semua berawal dari kasus Esa ini," ungkap guru sejarah di salah satu SMPdi Purwokerto ini.
Di bangku SMP, prestasi Esa terbilang lumayan. Esa selalu masuk jajaran ranking empat besar di kelasnya. Bahkan, meskipun tuna netra, Esa dapat mengoperasikan berbagai macam program komputer.
"Dia hanya belajar dengan suara, tapi hanya dalam tiga hari mampu mengusai program-program komputer," tutur Johanes.
Esa sendiri mengaku belum memikirkan karir yang dicita-citakannya. Tekadnya saat ini hanya satu, kuliah dan kemudian mendapatkan beasiswa untuk dapat melanjutkan studi di luar negeri.
Ya, semangat Esa itulah yang membuat dia tetap mampu berpretasi dengan segala keterbatasan fisiknya. Keterbatasan yang tak pernah membuatnya putus asa.