Ahad, 27 Maret 2011 di Komplek Kalibata
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Alhamdulillah. Alhamdulillahilladzi an’ama alaina bil aqidati wal fikrati wad da’wati wal jama’ah. Wa asyhadu ala ilaha illa Allah wahdahu laa syarikalah, wa asyhadu anna Muhammadan abduhu wa rasuluh. Washalatu wasalamu ala nabiyina Muhammad, wa ala alihi wa shahbihi waman waalah.
Wa qalallah azza wa jalla fii kitabihil aziz: “Bekerjalah kalian. Maka Allah akan melihat pekerjaanmu, Rasul dan orang-orang beriman, dan kalian akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.” (At Taubah : 105)
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah
Al ‘Amilun wal ‘Amilat ahabakumullah
Saya setiap kali hadir dalam jumu’ul akbar (kumpulan yang besar dari ikhwan dan akhwat), apalagi di tempat seperti ini, bahkan di komplek seperti ini, saya seringkali kembali ke masa-masa lalu pikiran saya. Betapa besar nikmat karunia Allah yang diberikan kepada kita melalui dakwah ini, melalui jama’ah ini. Yang al Qur’an selalu dan selalu mengingatkan kita, agar kita tidak melupakan masa-masa itu.
Dalam banyak firman Allah, kita diingatkan di antaranya: “Dan ingatlah di saat kalian berjumlah sedikit lagi lemah di muka bumi, kalian takut akan disambar oleh manusia, lalu Allah melindungi kalian dan mengokohkan kalian dengan pertolongan-Nya dan Allah merizkikan kepada kalian perkara-perkara yang baik agar kalian bersyukur.” (Al-Anfal: 26)
Allah minta kita selalu ingat pada langkah awal perjuangan kita. Bagaimana kondisi kita, bagaimana jumlah kita, bagaimana posisi kita di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Kata Allah, qoliilun mustad’afun. Sudah qoliil, tambah mustad’afun. Allah tidak mencukupkan dengan kalimat qoliil, sebab kadang-kadang ada qoliil tapi mustaitir. Yang suka kita sebut diktator minoritas. Tapi ini kondisinya qoliilun mustad’afuna fil ardhi.
Bahkan dalam kondisi ketakutan. Seolah-olah setiap saat, Allah menggambarkannya dengan ‘takhoofuuna ayyatakhoththofakumun naas’. Khoththof itu disambar, seolah-olah digambarkan kecil, lemah, dan tidak ada pembela. Bagaikan adanya ancaman yang dengan mudah saja menyambar kita. Takhoththuf, disambar. Seenaknya orang bisa melakukan itu kepada kita.
Tapi kemudian ‘fa aawaakum’, ‘al iwa’ artinya diberikan tempat perlindungan. ‘Al iwa’, kita masuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. ‘Al iwa’, masuk juga dalam lembaga-lembaga negara. Termasuk ‘al iwa’, kita dapat menyelenggarakan acara-acara di gedung seperti ini dan di komplek yang seperti ini.
‘Wa ayyadakum binashrihi’, didukung lagi dengan pertolongan. Bahkan fasilitas pun, ‘wa rozaqokum minaththayyibaat’. Dan diberi fasilitas-fasilitas yang memadai. Sudah itu, semua ini diingatkan agar kita bersyukur, yang diingatkan oleh Presiden kita.
Bagaimana kita mensyukuri ‘al iwa’ perlindungan dari Allah swt.? Bagaimana kita mensyukuri pertolongan Allah swt.? Bagaimana kita mensyukuri fasilitas-fasilitas yang diberikan Allah swt.?
Ini sekali lagi harus kita ingat. Kita mengingat bagaimana masa lalu kita. Dan antum, ayyuhal ‘amiluna wal ‘amilat, yang merupakan back borne dari jama’ah ini, sudah barang tentu yang pantas untuk mengingat-ingat masa-masa lalu kita dan kemudian mensyukurinya. Mensyukuri demikian besar apa yang diberikan Allah swt. kepada kita.
Ikhwan wa akhwat fillah rahimakumullah
Di antara syukuran kita yang dituntut dari kita adalah adanya rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap kehidupan kita sekarang. Sebab kalau kita lihat secara kontekstual dalam ayat yang saya bacakan dalam muqodimah tadi, yaitu perintah Allah ‘wa quli’malu’, katakanlah bekerjalah. Tapi bekerja ini tidak sembarang kerja. Yaitu pekerjaan yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. ‘Wa quli’malu fasayarallah amalakum’, Allah akan terus memantau, Allah terus melihat apa yang kita kerjakan. Kualitas yang kita kerjakan, kuantitas yang kita kerjakan. Performance kerja dan kinerja kita dilihat oleh Allah.
‘Wa rasuluhu’, Rasul pun selalu memantau. Apakah para penerus risalah Muhammadiyah, para penerus risalah Islamiyah, bekerja sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikannya. Bekerja sesuai dengan arahan-arahan kitab wa sunnah.
‘Wal mu’minun’, publik umat pun melihat kita. Kita sekarang sudah di atas panggung. Sudah ditonton orang banyak. Otomatis dievaluasi oleh orang banyak. Dipantau oleh orang banyak. Bahkan kadang-kadang, orang banyak dengan mudahnya memvonis ini dan itu. ‘Wal mu’minun’ melihat kita.
Jadi kita pertama-tama di bawah pantauan Allah swt., juga dipantau oleh Rasulullah saw., bagaimana sebagai waratsatu anbiya’ wal mursalin meneruskan perjuangan langkah-langkah yang benar. Mu’minun pun melihat, memantau.
Dan kata Allah, pantauan-pantauan itu bukanlah pantauan yang bersifat sambil lalu. Karena kata Allah, ‘wasaturadduuna ila ‘alimil ghaibi wasysyahadah’. Kalian akan dihadapkan di depan mahkamah kubro, di depan ‘alimil ghaibi wasysyahadah, yang mengetahui segala dzahir-batin kita. ‘Fayunabbi’ukum bima kuntum ta’malun’, kemudian akan terpapar seluruh amal-amal kita dengan segala implikasi-implikasinya, akibat-akibatnya, dan natijah-natijahnya seluruhnya. Apalagi ‘amilun dan ‘amilat, sudah tentu tanggungjawab ini akan semakin besar.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Kita dengan karunia Allah dan pertolongan Allah semakin besar. Dan semakin tinggi posisi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pohon yang semakin besar, yang semakin tinggi, pasti dan pasti akan mendapatkan terpaan-terpaan angin yang keras. Akan mendapatkan goyangan-goyangan yang bisa jadi zulzilu zilzalan sadiida. Ketika kita masih seukuran rumput teki, hembusan-hembusan angin kencang itu tidak berasa. Bahkan mungkin tidak ikut terhembus. Sekarang kita tidak mungkin, pasti hembusan-hembusan itu, terpaan-terpaan itu, akan terasa menghantam kita berat. Pohon pun kadang-kadang bergoyang. Bahkan kadang-kadang ada ranting-ranting kecil, dahan-dahan kecil, yang patah.
Jadi itu merupakan sunnatullah. Tapi insyaAllah, secara menyeluruh upaya-upaya kita menjadikan partai ini, menjadikan jama’ah ini, menjadi sajaroh thayyibah, yang asluha tsabitun far’uha fis sama’ tu’thi ukulaha kulla hinnin bi idzni Rabbiha. InsyaAllah usaha-usaha ikhwan wa akhwat, dengan segala keikhlasan dan pengorbanan, untuk menjadikan jama’ah ini, partai ini, sajaroh thayyibah, sudah nampak hasilnya.
Asluha tsabitun, kita semakin berakar di tengah-tengah masyarakat. Wa far’uha fis sama’, dahan-dahan kita rindang, mulai bisa mengayomi banyak aktivitas umat Islam.
Dari dulu sering saya ingatkan, bahwa musyarakah kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, hasil yang pertama dan paling utama adalah adanya payung politik, yang bisa mengayomi seluruh aktivitas umat Islam oleh siapapun pelakunya. Kita bisa mengayomi seluruh komunitas umat Islam, seluruh aktivitas umat Islam. Wa far’uha fis sama’ ini, dahan yang rindang ini sudah terasa pengayomannya, sudah terasa perlindungannya. Sudah terasa sejuk angin semilir, sehingga orang mulai senang yaltafuuna haulaha. Hidup di sekeliling rindang pohon ini.
Ikhwan wa akhwat fillah rahimakumullah..
Oleh karena itu, kalau dilihat dari perspektif ayat tadi, perintah beramal bukan asal beramal, tetapi amal yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Seluruh kalkulasi aktivitas kita, sejak mulai perencanaan, peletakan program-program, sampai pelaksanaan-pelaksanaan dalam bentuk aktivitas-aktivitas, selalu harus dihitung apakah bisa dipertanggungjawabkan di depan Allah swt. Dalam konteks hablu minallah.
Begitu juga, harus mampu bisa mempertanggungjawabkan ini kemudian sesudah di depan Allah, tapi juga di depan manusia. Yang semakin memfokus pandangannya kepada kita. Oleh karena itu, tanggungjawab kita semakin besar, baik konteks hablu minallah ataupun konteks hablu minannaas.
Beberapa ruang lingkup tanggungjawab yang semakin memberat di pundak kita, di antaranya bahwa memang fokus tanggungjawab itu kepada Allah yang utama, yaitu mas’uliyah yang bersifat Rabbaniyah. Tapi dalam implementasinya di lapangan, bentuk-bentuk mas’uliyah Rabbaniyah itu juga ditampilkan dalam kerja-kerja kita, aktivitas kita, performance dari kerja-kinerja dakwah kita, dalam ruang lingkup mas’uliyah Islamiyah. Sejauh mana bisa dipertanggungjawabkan secara Islami. Terutama agar seluruh aktivitas kita, seluruh gerak langkah perjuangan kita, harus bisa dipertanggungjawabkan, apakah meningkatkan izzatul Islam wal muslimin di bumi pertiwi Indonesia ini atau tidak. Ataukah gengsi, karomah, harga diri umat Islam, -na’udzubillah- justru terpuruk oleh kehadiran, oleh kerja, oleh sepak terjang kita. Harus dihitung.
Kita adalah kader dari umat Islam ini, sudah tentu kehadiran kita, kerja kita, sepak terjang kita, harus menjadi kebanggaan umat. Umat harus terangkat gengsinya, terangkat izzahnya, terangkat karomahnya, oleh kehadiran kita. Bukan mereka merasa risih, merasa prihatin. Kehadiran kita dirasakan sebagai benda ganjil, yang harus diamputasi dari kehidupan umat ini. Jadi perhitungannya dalam mas’uliyah Islamiyah itu, apakah kehadiranya, kerja kita, sepak terjang kita, statemen kita, meningkatkan izzatul Islam wal muslimin atau tidak. Meningkatkan karomah Islam wal Muslimin atau tidak. Mengingat umat besar di tengah-tengah bangsa ini, izzahnya perlu secara terus-menerus kita tingkatkan. Kemuliaannya, karomahnya, secara terus-menerus kita tingkatkan. Harga diri dan gengsinya secara terus-menerus kita tingkatkan. Dan itu melalui kehadiran-kehadiran kita, melalui kerja kita, melalui perjuangan kita. Inilah mas’uliyah Islamiyah kita.
Sudah itu, aspek-aspeknya dari mas’uliyah Islamiyah ini banyak. Ada sektor-sektor pendidikan, sektor budaya, sektor seni, sektor ekonomi, sektor politik. Kita lihat dalam konstelasi politik nasional, dari sejak Pemilu pertama tahun ‘55, di mana konstelasi politik umat Islam mendapat porsentasi sekitar 45% bahkan lebih, posisi nomor dua sesudah PNI waktu itu. Dalam pemilu-pemilu berikutnya, yaitu Pemilu kedua ’99. Pemilu-pemilu di zaman Soeharto tidak kita hitung karena merupakan dekorasi saja, bahkan partai-partai yang ada pada waktu itu tidak bisa memilih ketuanya sebelum ada isyarat lampu hijau dari sang penguasa. Sehingga partai-partai lebih kepada dekorasi saja, termasuk penyelenggaraan-penyelenggaraan pemilunya. Sudah ditentukan terlebih dahulu siapa yang harus menang. Bahkan porsentasinya sudah ditentukan, yang ini harus 75%, yang ini 23%, yang ini cukup 2% saja. Sehingga tidak kita hitung.
Pemilu kedua adalah tahun ‘99. Yang menghasilkan di mana kita mulai mucul ke permukaan, sebagaimana entitas-entitas bangsa lain yang mempunyai idealisme dengan aneka ragam ideologinya mulai pada tampil. Dan kita pun, dengan penuh keyakinan kita tampil. Hasilnya, konstelasi politik umat Islam turun. Bandingkan tahun ‘55. Tapi masih sekitar 35 persenan, sekitar itulah kira-kira. Tepatnya, catatan di DPP lebih tepat mungkin. Tapi jelas ada penurunan.
Pemilu 2004, walaupun suara kita meningkat, hasil kerja keras antum ikhwan wa akhwat, hasil pengorbanan ikhwan dan akhwat, kemudian Allah memberi kemenangan, yang orang menyebutnya sebagai hal yang sangat mengagumkan. Karena dari 1,7%, yang kitapun punya target yang mutawadhi’, dari tujuh kursi menginginkan 17 kursi di parlemen pusat, dari 1,7% ingin 3,5% saja, tiba-tiba Allah yang selalu mendahului kepada kita dengan nikmat-nikmat-Nya memberikan yang luar biasa. Yang diinginkan 17, dikasih 45. Yang diinginkan 3,5%, dikasih dua kali lipatnya. Itu dari segi aspek kehadiran kita, tapi dari segi konstelasi aspek politik umat Islam tetap aja turun (menurun).
Begitu juga pemilu yang 2009, merosot lagi. Walaupun kita ada kenaikan sedikit, tapi konstelasi politik umat Islam turun. Sekarang ini tinggal 28 atau 29% saja, jumlah suara yang diraih oleh kumpulan partai-partai Islam. Memang dengan karunia Allah atas perjuangan ikhwan dan akhwat, kita ada peningkatan sedikit, sehingga menempatkan kita pada posisi 4 besar dalam percaturan politik nasional. Dari segi konstelasi politik umat Islam, kita menjadi nomor 1, ini juga harus kita syukuri. Karunia Allah yang sangat besar, posisi kita semakin kuat. Tapi tidak cukup patut dibanggakan. Disyukuri, tapi gak bangga.
Kenapa? Kita memang naik, tapi partai-partai Islam lainnya merosot tajam. Maunya seluruh partai Islam naik dan kita naiknya tertinggi. Sehingga konstelasi politik umat Islam sebagai komponen bangsa mayoritas ini, pantasnya kumpulan suaranya tertinggi kalau digabung. Ini masih juga –sekali lagi kenapa kita bersyukur tapi tidak berbangga-, karena kita jadi nomor satu di antara partai-partai Islam yang suaranya pada turun. Harapan kita, saudara-saudara kita dari partai lain, meningkat suaranya. Ketika kita menjadi nomor satu, merekapun jaraknya tidak terlalu jauh dari kita. Begitu.
Ikhwan wa akhwat fillah rahimakumullah..
Jadi, secara politik pun kita turun gengsinya. Walaupun kita sadari dan kita tahu, bahwa partai-partai lain yang tidak bermerk Islam, tidak berlebel Islam, juga didukung oleh komunitas-komunitas umat Islam. Yang kita rasa, komunitas umat masih dijadikan komoditi non migas. Ketika menjelang pesta demokrasi, tawaran-tawaran dari komunitas-komunitas itu, bahwa kami punya pengikut sejuta, kami punya dua juta, kami punya sepuluh juta, dan diserahkan bukan kepada partai-partai Islam. Ini fenomena yang nyata. Sehingga, karena hanya menjadi barang jual-beli, akhirnya izzahnya semakin merosot. Karomahnya semakin rendah. Gengsi dan harga dirinya semakin turun. Kewajiban kita sebagai partai dakwah, untuk meningkatkan izzatul Islam wal muslimin. Untuk meningkatkan karomatul Islam wal muslimin.
Ikhwan wa akhwat fillah rahimakumullah..
Jadi mas’uliyah Islamiyah kita, tidak hanya membesarkan jama’ah partai kita, tapi kita harapkan entitas-entitas umat Islam yang lain pun tumbuh. Sehingga akumulatif terbesar. Kita pun tidak ingin hidup sendirian, menang sendirian. Ingin menang bersama-sama dengan komunitas-komunitas Islam yang lain.
Ikhwan wa akhwat fillah..
Itulah kira-kira sebuah mas’uliyah Islamiyah yang harus kita perhitungkan, apakah sepak terjang kita, kerja-kinerja kita, langkah-langkah perjuangan kita, sudah memenuhi mas’uliyah Islamiyah kita. Yaitu yang paling utama meningkatkan izzatul Islam wal muslimin.
Ikhwan wa akhwat fillah..
‘Amilun wal ‘amilat..
Yang kedua, harus kita hitung juga kehadiran kita, kontribusi kita, dari sudut pandang mas’uliyah dakwah kita, karena kita sudah mendeklarasikan diri sebagai partai dakwah. Sebagai gerakan dakwah, meminjam istilah akh Luthfi –Presiden kita-, ‘nahnu abna’ul harakah al Islamiyah’. Ada yang bertanya, ‘Wa ain abuhum?’ Sebab berkali-kali diucapkan oleh akh Luthfi dengan ‘nahnu abna’ul harakah al Islamiyah’. Ada yang nanya, ‘Wa ain abuhum?’ Di mana bapaknya?
Kita sudah mengindentifikasi diri sebagai gerakan dakwah, sebagai partai dakwah, sudah tentu tuntutan mas’uliyah da’wah kepada kita sangat besar. Di mana dalam dakwah kita, peran amar ma’ruf nahi munkar selalu tampil di dalam jama’ah kita atau di luar jama’ah kita. Ke luar dan ke dalam, selalu tampil. Karena ini merupakan esensi substansi dari tugas dakwah kita, beramar ma’ruf nahi munkar. Dan amar wa nahi dalam bahasa Arab itu, merupakan shighatu isti’la. Tidak mungkin bisa amar wa nahi, kalau tidak punya izzah. Tidak mungkin kita bisa memerintah dan melarang, kalau tidak punya izzah. Tidak mungkin kita bisa memerintah dan melarang, kalau kita tidak punya keberanian moral. Tidak mungkin kita bisa al amar wa nahi, kalau kita tidak mempunyai basis aqidah yang kuat, basis idealisme yang kuat. Oleh karena itu, kita secara organisatoris merupakan partai kader yang selalu digembleng dalam proses-proses tarbiyah kita untuk membangkitkan izzah, memunculkan izzah, memunculkan karomah, memunculkan syaja’ah, karena tugasnya amar wa nahi.
Orang yang tidak punya izzah, tidak punya karomah, tidak punya syaja’ah adabiyah, tidak mungkin melaksanakan itu. Disodorkan apa saja, melihat fenomena apa saja, akan mengatakan silakan saja. Monggo wae. Terserah saja. Sementara kita tidak boleh begitu, kita tetap beramar ma’ruf nahi munkar.
Dan amar ma’ruf nahi munkar, kita pahami secara komprehensif, amar ma’ruf artinya usaha kita mengkoordinasikan, mengkonsolidasikan, dan memobilisasikan, seluruh potensi positif yang ada pada diri kita masing-masing, yang ada pada jama’ah ini, yang ada pada umat ini, yang ada pada bangsa ini. Untuk bersama-sama memproduk kebajikan-kebajikan. Sehingga kita bisa melaksanakan rahmatan lil ‘alamin secara bersama-sama. Nahi munkar artinya bagaimana upaya kita mempersempit ruang gerak potensi negatif yang ada pada diri kita, dalam jama’ah kita, dalam masyarakat kita, dalam umat kita, dalam bangsa kita. Agar potensi negatif itu tidak dominan.
Bagaimana kita memperkecil efek-efek negatif dari potensi destruktif yang ada pada diri kita, pada jama’ah kita, umat kita, bangsa kita, agar tidak memprovokasi kehidupan, memecah belah kehidupan, memporak-porandakan kehidupan. Itu pemahaman kita terhadap amar ma’ruf nahi munkar. Seperti itu.
Kita menyadari, baik kita secara pribadi, termasuk saya di antaranya, difitrahkan oleh Allah swt. dengan kedua potensi itu. Fa alhamaha fujuroha wa taqwaha. Yang ingin kita konsolidasikan adalah potensi taqwanya. Agar potensi taqwa tampil ke depan, dominan (musaitir), dialah yang mengendalikan kehidupan kita. Potensi negatif kita marginal, tersisih, tidak berperan banyak dalam kehidupan-kehidupan kita. Dan itu tabiat sunnatullah dalam kehidupan.
Jika kita berhasil menampilkan potensi positif, yang negatif akan tersisih. Qul idza ja’al haq wa dzahaqol bathil, innal bathila kana dzahuqo. Tapi jika potensi positif tidak hadir, maka potensi negatif akan tampil, memporak-porandakan kehidupan kemanusiaan. Secara umum, secara khusus, kehidupan umat, kehidupan para da’i semuanya rusak, diprovokasi oleh potensi-potensi negatif yang memang melekat dalam diri kita masing-masing. Makanya amal jama’i ini, bagaimana potensi positif dalam diri kita himpun, agar potensi negatif dalam diri kita tersisih, tidak berperan. Kalau kadang-kadang muncul, efeknya tidak banyak. Karena yang dominan adalah kekuatan positif.
Ikhwan wa akhwat fillah rahimakumullah..
Peran amar ma’ruf nahi munkar melekat dalam partai dakwah. Dibawa ke manapun kita, termasuk dibawa koalisi sekalipun, amar ma’ruf nahi munkar kita tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dipasung. Kita akan terus begitu. Dan dari awal, karakter kita, kita perkenalkan dan kita ingatkan kepada partner-partner kita. Dan amar ma’ruf nahi munkar itu untuk kebaikan bersama. Untuk kebaikan negara, untuk kebaikan pemerintah, untuk kebaikan koalisi. Jadi karakter amar ma’ruf nahi munkar ini melekat. Nggak bisa dipasung, dikerangkeng, atau dihentikan karena pesan-pesan sponsor. Kita akan berjalan begitu. Yang ingin berpartner dengan kita, harus dihitung peran itu. Dan kita pun secara terbuka akan mengatakan, kita ini partai dakwah, akan selalu begitu. Dan semuanya demi kebaikan bersama.
Ikhwan wa akhwat fillah..
Mas’uliyah dakwah ini adalah aspek yang harus kita tampilkan. Dalam kehadiran kita, dalam sepak terjang kita, dalam seluruh gerak perjuangan kita.
Yang ketiga, kita sebagai ‘amilin dan ‘amilat, harus bisa mendorong penampilan jama’ah kita, partai kita, mempunyai mas’uliyah wathoniyah, tanggungjawab nasional. Bangsa Indonesia ini mayoritas adalah umat Islam. Negeri tercinta ini adalah anugerah Allah kepada kita. Apalagi tanah air kita, yang indah permai, mengandung banyak resouces. Yang bangsa-bangsa lain ngiri, ingin ikut menikmatinya. Bahkan kadang-kadang berkonspirasi untuk merebutnya, atau memanfaatkannya, tanpa melihat hak-hak dari pemilik sah dari bumi pertiwi Indonesia ini. Mas’uliyah wathoniyah ini harus tampil, tanggungjawab nasional ini harus tampil, dalam kehadiran kita, dalam program kita, agenda kita, sepak terjang perjuangan kita. Harus tampil.
Pertama, dijaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Kita dengar pada sepuluh tahun yang lalu ada agenda-agenda ingin memecah bumi pertiwi Indonesia ini ke dalam 50 negara. Usaha itu sampai sekarang tetap ada. Sebab, pemerintahan-pemerintahan mungkin berganti-ganti, tapi ada yang tidak bisa digantikan yaitu bangsa, yaitu umat. Pemerintahan siapa saja, ya penghuninya negeri ini umat Islam terbesar. Dan saudara-saudara kita yang non Muslim, insyaAllah di bawah rahmatan lil ‘alamin kita. Jadi tanggungjawab nasional mengawal persatuan dan kesatuan bangsa ini, persatuan kesatuan negeri ini, tidak boleh terpecah.
Ikhwan wa akhwat fillah..
Begitu juga mas’uliyah wathoniyah kita akan kejayaan bangsa ini, akan kemajuan negara ini, harus bisa dibaca dan dilihat dari seluruh kehadiran kita, dan program-program kita, dan kerja-kerja kita.
Ikhwan dan akhwat rahimakumullah..
Dengan segala ikhlas dan pengorbanannya, betapa tanggungjawab nasional itu sudah tampil. Di banyak kejadian, di banyak situasi, termasuk situasi yang paling memprihatinkan sekalipun, kita terus tampil. Di Aceh ketika tsunami, di Jogja ketika gempa, di Ambon ketika konflik, di Sumatera Barat ketika gempa plus tsunami, kita tampil. Itu adalah bentuk-bentuk mas’uliyah wathoniyah kita, tanggungjawab nasional kita.
Ketika erupsi merapi, kader kita merambah sampai ke daerah-daerah yang paling berbahaya, yang orang lain tidak berani masuk ke situ. Di saat-saat banjir, menolong para korban banjir. Sampai di situasi-situasi yang sangat sulit, kader-kader kita berani terjun ke pusaran-pusaran air untuk menyelamatkan korban-korban itu. Tanggungjawab nasional kita sudah kita tampilkan. Dan akan selalu kita tampilkan dalam situasi apapun.
Termasuk dalam gempa politik kemarin, kita pun dengan penuh tanggungjawab nasional menghadapinya. Kita tidak mau diprovokasi, kita tidak mau dijebak, kita tidak mau terseret-seret pada langkah-langkah destruktif. Kita tenang. Kenapa? Karena ada tanggungjawab nasional.
Memang kondisi bangsa ini sedang prihatin. Kondisi sosial religius, ada isu-isu tentang Ahmadiyah. Sosial ekonomi, juga belum selesai dientaskan. Sosial politik, komplikasi-komplikasi antar kekuatan politik baik yang dhahir ataupun yang tersembunyi ada.
Sehingga ilalang kering di mana-mana bersebaran. Sumbu-sumbu pendek tergeletak di mana-mana. Yang kalau ada orang gegabah menyulutnya, akan ada kebakaran secara nasional. Kita tidak ingin itu terjadi. Makanya, demikian hebat provokasi kepada kita, kita tetap tenang. Dan itu merupakan refleksi tanggungjawab nasional kita. Kita tidak ingin bangsa dan negara ini kebakaran. Oleh karena, sebab ketersinggungan gengsi kita umpamanya, atau kejengkelan akibat diprovokasi, lalu kita sembarangan melakukan langkah-langkah yang menimbulkan kebakaran secara nasional. Kita tidak mau itu.
Makanya, betapapun keras hantaman keras pada kita, kita tenang. Tidak apa-apa. Kita hanya melakukan konsolidasi internal. Kita melakukan Rapim di Lembang. Bertemu menteri-menteri di DPP. Silaturrahim dengan pimpinan BEM, umpamanya. Untuk menjaga jangan ada langkah sendiri-sendiri, begitu. Jangan ada langkah-langkah sendiri.
Sebab, banyak juga dengan hantaman-hantaman fitnah itu, yang pada gatel. “Ah, ustadz, pingin olahraga nih.”
Saya bilang, “Kalo olahraga ke Lembang aja, ada clambing tuh di sana.” Begitu.
Jadi banyak yang pada pegel-pegel, katanya. Banyak. Cuma kita tidak mau, tidak mau kemudian dari respon-respon yang tidak diperhitungkan itu, muncul percikan api yang menimbulkan kebakaran secara nasional. Khawatir kebakaran ilalang itu menyulut sumbu-sumbu, sumbu yang ada di Aceh, sumbu yang ada di Papua, sumbu yang ada di wilayah Timur. Banyak sumbu-sumbu tergeletak, jika ilalang kering itu terbakar, ledakan ada di mana-mana. Kita tidak mau itu. Itulah bentuk tanggungjawab nasional kita.
Bahkan setelah Rapim di Lembang, saya berkumpul dengan para menteri, saya katakan, “Jangan terprovokasi. Menteri tetap melakukan pelayanan kepada masyarakat. Nah, esensi tugas dalam kabinet adalah untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat. Jangan terganggu, terus saja jalan.”
Jadi insyaAllah tanggungjawab nasional kita, bahkan alhamdulillah dengan tidak terprovokasinya kita, tidak terseret-seretnya oleh isu-isu itu, boleh dikatakan konspirasi plan A itu gagal. Ini yang dari tanggungjawab nasional kita.
Saya harap semua ‘amilin dan ‘amilat, menyadarkan seluruh jajaran jama’ah akan tanggungjawab nasional ini. Kita adalah pengawal di garis terdepan bagi kepentingan-kepentingan bersama secara nasional. Kita tidak ingin merusak negara ini, karena ini adalah negara karunia Allah. Yang orang pada iri. Bahkan ada yang menyebutkan kepulauan Indonesia ini, merupakan qit’atun minal jannah.
Ikhwan wa akhwat fillah rahimakumullah..
Jadi, setelah tanggungjawab yang bersifat Islamiyah, juga tanggungjawab mas’uliyah da’wiyah dan mas’uliyah wathoniyah harus tampil dalam perilaku kita. Jangan terprovokasi, jangan terseret-seret, jangan gampang jadi korban dikomporin. Gak perlu.
Kita tidak perlu dipanasi orang lain, sebab temperatur jama’ah ini sudah kita atur sendiri. Kebutuhannya, panasnya segimana, kita ngatur sendiri. Nggak bisa lah dikompor-komporin siapapun.
Yang keempat, ikhwan dan akhwat fillah..
Situasi dunia, terutama dunia Islam, yang tampil dalam kurun waktu tiga bulan ini, menuntut semakin tampil dari kita tanggungjawab internasional kita. Bangsa-bangsa Muslim sedang menggeliat, merobohkan dinding-dinding kediktatoran di mana-mana.
Kita harus mempunyai juga selain mas’uliyah wathoniyah, mas’uliyah duwaliyah juga. Tanggungjawab internasional, terutama di dunia Islam. Dan kita dari dulu, selalu berusaha menampilkan itu. Termasuk di saat-saat sulit sekalipun, kita selalu ingin memberikan kontribusi dalam memecahkan kemelut atau problema di dunia Islam. Kita hadir di Afghanistan. Kita hadir di Palestine. Bahkan yang hadir di Palestine, akhwat di sana tampil. Di Iraq, Doktor Hidayat juga tampil di sana. Di Gaza. Seluruhnya itu adalah bagian tanggungjawab internasional kita, terutama di dunia Islam.
Kita tahu, dunia Islam ini di bawah konspirasi segala macam. Sudan baru dua bulan dibelah. Bagian Selatan dipecah. Untuk memecah diri, pindah, atau terpecah, disintegrasi, dan seterusnya. Sekarang nasib di Libya pun, mudah-mudahan rahmat Allah terlimpah kepada mereka. Yang katanya suatu aksi untuk larangan terbang, untuk melindungi masyarakat sipil dari bom-bomnya Qadafi, tapi ternyata bukan menembak pesawat yang terbang, yang di bawah juga ditembaki. Yang korbannya, di antara bagiannya masyarakat sipil juga. Ini kita bertanya-tanya, apa benar melindungi masyarakat sipil atau mengincar minyak.
Dunia Islam sekarang sedang bergolak. Sudah hampir selesai di Tunis. Alhamdulillah hampir selesai juga di Mesir. Sekarang gejolak di Libya. Gejolak di Yaman. Gejolak di Syria. Di Bahrain. Di Yordan. Bahkan nampak percikan-percikan di Saudi. Menyebar, merata.
Di sisi lain, kita bergembira akan kesadaran umat Islam, untuk melepaskan diri dari dominasi diktator atau otoriter. Tapi di pihak lain, musuh-musuh Islam mengincar. Mencuri hasil-hasil reformasi, untuk mencuri hasil-hasil revolusi, hasil-hasil perjuangan umat. Di sini kita harus tampil rasa tanggungjawab itu.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Da’watuna, da’wah ‘alamiyah. Oleh karena itu, harus ada mas’uliyah ‘alamiyah dari kita. Seperti yang sudah selama ini kita lakukan. Tuntutannya harus semakin meningkat. Dan sudah barang tentu untuk bisa membantu bangsa-bangsa Muslim lain, bangsa Indonesia ini harus kita tingkatkan izzahnya, kejayaannya, kemampuannya, pembangunannya di segala sektor. Supaya kita menjadi bangsa yang berwibawa. Bangsa yang besar, yang tidak dilecehkan oleh bangsa-bangsa yang jumlah jutaannya tidak melebihi jari-jari di sebelah tangan kita.
Ikhwan wa akhwat fillah rahimakumullah..
Bahwa kehadiran kita, perencanaan kita, program kita, agenda kita, harus juga mencerminkan tanggungjawab yang bersifat insternasional, yang ‘alamiyah. Ini tugas kita.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Di mana-mana, di belahan penjuru dunia Islam, yang mendapat himpitan kezaliman sekarang ini, yang pertama dilirik adalah Indonesia. ‘Wein ikhwanuna fii Indonesia?’
‘Wein hum?’ Di mana mereka? Selalu ditanya. Harusnya kita siap menjawab, ‘Labaik ya ikhwan, labaik..’ Harus begitu.
Kita sambut mereka. Merasa ada da’am (dukungan), back up, dari bangsa Muslim yang besar ini.
Mas’uliyah yang kelima juga mas’uliyah insaniyah. Yang lebih luas, melampaui batas-batas geografis, batas-batas agama, batas-batas ideologi. Bangsa manapun yang terjajah, tertindas, terzalimi, harus mendapatkan uluran tangan dari kita. Mas’uliyah basyariyah, mas’uliyah insaniyah.
Kalau ingin kita menjadi bangsa besar, umat besar, organisasi umat yang besar, harus sampai mas’uliyah kita kepada mas’uliyah insaniyah. Krisis-krisis kemanusiaan, problem-problem kemanusiaan, musibah-musibah kemanusiaan, yang direkayasa ataupun tidak karena musibah-musibah yang bersifat kauniyah, kita harus mengulurkan tangan. Kita harus berempati dan bersimpati. Tanggungjawab kemanusiaan kita pun harus tampil, dalam tampilan partai kita, tampilan program kita dan kerja-kerja kita.
Ikhwan dan akhwat fillah..
Sekarang, sekali lagi, tuntutan peningkatan tanggungjawab di semua lini yang lima tadi semakin besar. Kita semakin dilirik, semakin dihitung. Banyak tangan-tangan yang terzalimi menggapai-gapai kepada kita. Dan ini tidak boleh kita biarkan. Karena dulupun, in kunna mustad’afiin, mereka pun berkontribusi. Ketika kita dalam posisi qoliilun mustad’afun, mereka pun berkontribusi kepada kita. Membantu, mendirikan pesantren, masjid, majelis ta’lim, aktivitas-aktivitas charity, bahkan mentoring-mentoring berdatangan. Saatnya kita ingat kepada mereka dan membalas budi mereka, sebagai bagian dari kesatuan ‘alamiyah.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Sudah barang tentu untuk tampil menjadi organisasi, jama’ah, partai, yang mempunyai tanggungjawab seperti itu, pertama-tama yang harus dijaga adalah eksistensi kita, integritas kita, soliditas kita. Kita harus memiliki kemampuan apa yang disebut dalam fiqhud dakwah, al qudrah alal itsbatil wujud. Kemampuan untuk membuktikan kehadiran kita selalu. Kita selalu hadir di segala situasi, selalu hadir di segala kondisi. Kita selalu ada. Sudah tentu keberadaan yang hakiki. Bukan hadir secara fisik. Tapi hadir secara moril, hadir secara idil, hadir secara operasional. Di segala situasi-kondisi.
Bagi kita, tidak ada istilah tiarap. Kita harus hadir, tampil, eksis dalam segala situasi. Kita sudah mendeklarasikan diri, tampil di wilayah publik, tampil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai partai dakwah. Hadirlah selalu.
Jangan hadir secara fisik, tapi ghaib dzihniyan. Pikirannya nggak tahu ke mana. Ghaib ma’nawiyan, perasaannya nggak nyambung dengan situasi dan kondisi. Ghaib ‘amaliyan, kerjanya tidak sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Na’udzubillah. Wujuduhu ka ‘adamihi seperti itu tidak kita inginkan. Hudur, hudur fi’li. Kehadiran yang hakiki. Hudur yang fa’al. Kehadiran yang efektif. Itu yang kita inginkan.
Jadi untuk menjaga eksistensi, integritas diri, aktualisasi diri, ini pertama-tama kita harus menjadi organisasi atau komunitas umat yang paling teguh sikapnya. Atsbatu mauqifan, paling teguh sikapnya. Nggak bisa digoyang, nggak bisa ditarik-tarik, nggak bisa didorong-dorong. Kita mau melangkah, menurut kita sendiri. Selebar apapun langkahnya, kita sendiri yang menentukan. Berapa jumlah langkah, kita juga yang menentukan. Sikap kita teguh, tidak bisa diprovokasi, tidak bisa dikompori, tidak bisa dipancing. Itu karena quwatul aqidah kita, quwatul fikrah kita, quwatul manhaj kita, yang membuat kita bersikap teguh.
Atsbatu mauqifan, paling teguh sikapnya. Nggak bisa digoda dengan uang, dengan jabatan. Mungkin digoda dengan tambahan ini dan itu, nggak. Begitu juga kalau digoda dengan dikurangi ini-itu, juga kita teguh saja. Nggak, kita nggak.
Atsbatu mauqifan, sikap kita teguh. Tidak terprovokasi, tidak bisa didorong-dorong, tidak bisa diseret-seret. Sikap kita teguh. Itu yang harus tampil. Dan insyaAllah bi’aunillah, umat ini sudah mengenal itu dari kita.
Betapa dalam kurun dua-tiga bulan ini, kita diprovokasi, kita ditarik-tarik, kita didorong-dorong, kita diintimidasi, ya kita tetap berdiri tegak. Allahu akbar. Semuanya ini dari Allah swt. melalui dakwah yang manhajiyah ini. Membuat sikap kita teguh, kokoh.
Sudah barang tentu ikhwan dan akhwat fillah, keteguhan sikap kadang-kadang menimbulkan eksklusivitas. Kadang-kadang –na’udzubillah- menimbulkan kesombongan. Kadang-kadang menimbulkan kekakuan dalam komunikasi. Oleh karena itu, harus diimbangi dengan arhabu shadron, paling berlapang dada. Teguh sikap, tapi paling berlapang dada.
Berlapang dada terhadap kritikan. Berlapang dada, bahkan terhadap aneka ragam cemoohan. Aneka ragam fitnah, kita berlapang dada. Bahkan kita jadikan semua itu bahan-bahan untuk instropeksi, untuk mawas diri, untuk memperbaiki. Kita sebagai pribadi dan kita sebagai jama’ah, kita perbaiki semua. Jadi insyaAllah semua itu kita terima dalam konteks bahan-bahan untuk instropeksi, untuk memperbaiki diri.
Kita berlapang dada. Kita tidak marah, apalagi ngamuk-ngamuk. Walaupun kalimat amuk itu spesifik melayu, sampai jadi bahasa Inggris. Artinya itu spesifik karakter melayu, melakukan sesuatu tanpa perhitungan, gelap mata. Tapi insyaAllah dengan manhaj kita, kita sudah melepaskan diri sikap-sikap amuk melayu itu. Nggak ada pada kita. Nggak ada sikap-sikap amuk itu. Kita dengan tenang menghadapi cemoohan, menghadapi caci maki. Menghadapi ancaman-ancaman, kita tenang aja.
Karena kita arhabu shadron. Sehingga komunikasi kita dengan orang, termasuk dengan yang mencaci-maki pun tidak patah arang. Setiap saat kita tetap bisa menyambung silaturrahim. Setiap saat kemungkinan ta’awun. Setiap saat terbuka kerjasama. Nggak ada kita mutung-mutungan. Nggak ada.
Ini sikap dari kader kita harus begitu. Atsbatu mauqifan, tetapi arhabu shadron. Paling teguh sikapnya, tapi luar biasa lapang dadanya. Dan ini karunia Allah swt.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Rasulullah saw. qudwah kita, yang sudah berarti ujiannya jauh lebih besar dari ujian kepada kita. Disebutkan asaddu bala’an itu al anbiya’, yang paling berat ujiannya itu para nabi. Rasulullah saw. ketika datang ujian, di saat-saat fatrah makkiyah, beberapa tahun sebelum hijrah, dua tahun - tiga tahun sebelum hijrah, istri beliau Khadijah ra. meninggal dunia. Padahal dengan wibawanya sebagai bangsawan Quraish, denang hartanya sebagai aghniya’ Quraish, itu mem-back up dakwah Rasulullah saw.
Abu Thalib –pamannya- yang mem-back up melindungi keponakannya juga meninggal dunia dalam waktu yang tidak berjauhan. Di saat itu intimidasi Quraish meningkat, ancaman-ancaman meningkat, karena dua pelindung besar ba’da Allah sudah tidak ada. Sudah tentu sebagai manusia, Rasulullah merasakan himpitan itu, tekanan itu, intimidasi itu semakin terasa. Tapi kemudian Allah menurunkan dua surat, menghibur Rasulullah saw.
Kata Allah swt. dalam surat Ad Dhuha, “Waddhuha, wallaili idza saja..” Allah bersumpah terhadap waktu dhuha dan waktu malam. Kata Allah, “Maa wadda’aka Rabbuka wa maa qola..” Tidak sekali-kali Allah meninggalkanmu dan tidak juga marah kepadamu.
Ini kita sebagai waratsatul anbiya’ wal mursalin, ketika ada himpitan-himpitan, kembali kepada waddhuha itu. Allah memang dari waktu ke waktu menguji kita, selagi kita istiqomah ala thoriqid da’wah, insyaAllah, Allah tidak meninggalkan kita. Maa wadda’aka wa maa qola, dan tidak juga marah.
Itu Allah lagi menggembleng kita. Yang kadang-kadang supaya hasil gemblengannya hakiki, instrukturnya itu memang lawan bener gitu. Jadi bukan artifisial, bukan. Bukan dibuat-buat. Memang orang yang berniat jahat banget sama kita yang jadi instruktur. Agar hasilnya hakiki. Kalau yang nembakinnya temen sendiri, umpamanya, yang nembakinnya orang dalem sendiri, ya pasti nembaknya nggak dikenain. Tapi kalau orang luar, walaupun usybatun minkum, tembakannya bener-bener diarahkan. Supaya hasilnya hakiki, dalam pelatihan itu. Itu sunnatullah begitu.
Kalau dalam latihan yang dibuat, yang artifisial, hasilnya tidak hakiki. Jadi sekali lagi, ingat kepada waddhuha wallaili idza saja. Kata Allah, maa wadda’aka Rabbuka wa maa qola. Bahkan Allah membangunkan optimisme kita, walal akhiratu khairu laka minal ula. Masa depan kalian lebih baik dari masa lalu kalian. Yakini itu.
Untuk menyongsong masa depan yang lebih baik, baik dunia atau akhirat kita, ya kita perlu digembleng. Walal akhiratu khairu laka minal ula. Dan, wala saufa yu’thika, Allah akan selalu memberi dan memberi, memfasilitasi dan memfasilitasi, jika kita tetap berjalan dalam thariqul istiqomah. Wala saufa yu’thika Rabbuka fatardho. Dan kamu ridho, puas, qona’ah, akan perjalanan yang benar ini.
Lalu Allah mengingatkan, ketika Allah mengentaskan kita, alam yajidka yatiiman fa aawa. Bukankah kamu adalah merupakan yatim, tidak punya induk organisasi, tidak punya induk negara yang melindungi, tidak ada tokoh yang mengayomi. Fa aawa, kemudian dilindungi oleh Allah swt. Wawajadaka dhoollan fa hada. Dan kamu didapatkan dalam kondisi tersesat, nggak tahu jalan-jalan, nggak tahu solusi. Fa hada, kemudian diberi petunjuk oleh Allah. Ini jalan yang benar, ini manhaj yang benar, ini langkah perjuangan yang benar.
Wawajadaka fa ’aa’ilan fa aghna. Kita dulu datang ke tempat-tempat halaqoh, tempat-tempat usar, hanya membawa sandal, sebagian besar sandal jepit. Yang kemudian disembunyikan di balik pintu. Sekarang yang kita bawa nggak mungkin disembunyikan di balik pintu. Karena ada pajero, ada alpard. Lihat saja komplek DPR ini, penuh dengan mobil yang hadir di sini. Wawajadaka fa ‘aa’ilan fa aghna. Kita nggak punya apa-apa dulu. Yang datang dalam membina diri ke tempat-tempat pembinaan, dengan membawa sandal jepit, yang kemudian dengan mudahnya disisipkan di balik pintu. Sekarang apa yang kita bawa dalam kehadiran kita nggak mungkin disisipkan di balik pintu. Tempat parkir aja penuh berjubel.
Itulah wawajadaka fa ‘aa’ilan fa aghna. Syukurannya, kita harus membela dhu’afa. Kata Allah, setelah wawajadaka dhoollan fa hada, wawajadaka fa ‘aa’ilan fa aghna, fa ammal yatiima falaa taqhar, wa ammas saaila falaa tanhar. Karena diingatkan oleh Rasulullah, innama tunshoruna wa turzaquna biddhu’afa’ikum. Karena sikap pembelaan advokasi kalian terhadap para dhu’afa, kemudian Allah menolong kalian dan memberi fasilitas kepada kalian.
Wa amma bini’mati Rabbika fa haddits. Dan nikmat Allah yang diberikan, terutama nikmat hidayah, ceritakan kepada yang lain, sebarkan terus. Fa hadits dari nikmat kita, juga berarti penikmatan fasilitas diperluas ruang lingkupnya. Baik dalam ruang lingkup jama’ah, atau dalam ruang lingkup umat.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Dalam situasi yang seperti yang saya gambarkan dalam sejarah Rasulullah, kemudian diikuti dengan surat al Insyirah. Alam nasyrah laka shadrok, kata Allah. Bukankah telah kami lapangkan dada kalian. Yang tadi saya katakan arhabu shadron, itu karena Allah melapangkan dada kita.
Alam nasyrah laka shadrok, wawadho’na ‘anka wizrok. Dan Kami letakkan beban yang ada di punggung kalian. Alladzi anqodzo dhohrok. Warafa’na laka dzikrok. Kemuliaan kalian ditingkatkan. Gengsi kalian ditingkatkan. Yang tadinya nggak disebut, nggak dikalkulasi, menjadi masuk dalam kalkulasi. Bukan kalkulasi nasional saja, kita sudah mulai dihitung dalam kalkulasi internasional.
Warafa’na laka dzikrok. Kata Allah dalam menghidupi situasi seperti ini, fa inna ma’al ‘usri yusro, inna ma’al ‘usri yusro. Luar biasa. Allah untuk memberikan kemudahan melalui kesulitan. Dalam kesulitan itulah terkandung kemudahan. Diingatkan sampai dua kali. Untuk menemukan kemudahan dalam kesulitan. Untuk menemukan kenikmatan dalam ancaman. Ya, kita harus terus aktif.
Fa idza faraghta fanshob. Jangan berhenti bekerja. Al ‘amilun dan ‘amilat, gelar ‘amilun dan ‘amilat itu merupakan sifat. Artinya, kita para pekerja dakwah. Yang tidak berhenti oleh situasi apapun, oleh ancaman apapun.
Fa idza faraghta fanshob. Dan motivasi kita, tujuan kita jelas. Wa ila Rabbika farghob. Situasi yang menghimpit Rasulullah, situasi yang menekan Rasulullah itu, dijawab oleh Allah dengan dua surat yang sangat menghibur Rasulullah saw. InsyaAllah, dua surat itu harus menjadi bekalan kita dalam situasi-situasi yang mirip-mirip itu. Toh, situasi itu tidak seberat yang dialami oleh Rasulullah saw.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Jadi kembali saya ingatkan, sekarang ini untuk semakin mampu menghadirkan eksistensi kita, semakin mampu menghadirkan integritas kita, semakin mampu menghadirkan aktualisasi partai dakwah kita, dengan atsbatu mauqifan wa arhabu shadron. Lapang dada sudah tentu tidak jorjoran, sehingga terjadi over toleransi.
Oleh karena itu, ada yang disebut a’maqu fikron. Kita tidak sekadar berlapang dada, tapi kita pun telaah. Inti gempa politik ini epicentrumnya di mana sebetulnya. Kita pikirkan secara mendalam. Supaya kita jangan terjebak oleh jebakan-jebakan, oleh pancingan-pancingan. Epicentrumnya di mana? Supaya respon dari kita tepat sasaran. Ini epicentrumnya di mana sebetulnya. Target-targetnya apa, tujuannya apa, kita telaah secara baik. Kita dalami semua.
Apalagi ikhwan dan akhwat yang ada di lembaga pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, peluang untuk mengembangkan pemikiran yang lebih mendalam itu lebih terbuka dibanding yang ada di luar. Lebih transparan melihatnya. Ini di mana nih?
Sebab melihat dari atas lebih tajam daripada melihat dari bawah, atau juga pandangan yang mendatar. Lebih menyeluruh. Bukan hanya a’maqu fikron, tapi ‘ausa’u nadhoron, pandangannya juga lebih luas. Jadi mendalam dan luas. Segala aspek kita lihat, aspek politik, aspek sosial, aspek ekonomi, aspek budaya. Segala aspek kita lihat. Aspek dakwah kita, aspek dalam pendidikan, semuanya kita lihat.
Setelah atsbatu mauqifan, arhabu shadron, a’maqu fikron, dan ausa’u nadhoron, pandangannya juga luas. Nggak terjebak oleh jebakan-jebakan. Kita perhitungkan semuanya secara luas.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Yang kelima, sebagai ‘amilin dan ‘amilat, sebagai aktivis pekerja dakwah, sebagai kader-kader umat, kader-kader dakwah, harus ditampilkan ansyatu ‘amalan, paling giat kerjanya, paling dinamis kerjanya, paling energik kerjanya. Ansyat, paling giat. Jadi kerja-kerja dakwah kita, kerja-kerja perjuangan kita di segala sektor, jangan ada yang dihentikan. Mungkin mengubah tak-tik dan strategi, tetapi tidak boleh terhenti.
Kita zaman dulu pun, zaman kita qoliilun mustad’afun, kalau ada dhuruf ‘amniyah sho’bah, tidak pernah menghentikan aktivitas. Tapi mengubah tak-tik dan strategi, diubah wasailnya. Tapi tidak menghentikannya.
Selalu saya ingatkan, jika masa sulit berhenti, nanti ketika masa lapang bingung, apa yang mau dikerjain. Tapi kalau masa sulit kita tetap aktif, justru ketika ada masa lapang kitalah potensi yang paling segar, paling bugar, untuk memanfaatkan situasi yang sedang lapang itu, sedang mudah itu.
Ansyatu ‘amalan, kita paling giat bekerja, paling aktif. Dan tuntutan Allah pada aktivitas kita, aktivitas yang mempunyai daya picu dan daya pacu. Aktivitas yang mempunyai daya kompetisi. Permintaan Allah atau perintah Allah dari kita, fal yatanafasi mutanafisun. Fastabiqul khairat. Wa sari’u ilal maghfiroti mirrobbikum. Seluruhnya untuk kerja-kerja yang bersifat kompetitif.
Sudah tentu tidak bisa berkompetisi, kalau kita bukan kader-kader unggulan. Bahasa Rasulullah, kalau kita bukan rowahil. Pemikul beban. An naasu ka ibili mi’ah. Kata Rasulullah, manusia bagaikan seratus onta. Laa takaadu tajidu fiiha rohilah. Hampir saja dari seratus itu tidak didapatkan onta beban, yang ada onta pedaging semua. Sudah tentu kita bukan tipe pedaging, kita bahkan pemakan daging.
Kita harus rohilah. Subhanallah.. Rohilah itu merupakan gambaran dari kader dari manusia, kader dari umat. Onta pemikul beban yang sanggup melakukan perjalanan jauh. Katanya, dua pekan sanggup dalam perjalanan terik matahari padang pasir tanpa makan dan minum. Bekalannya sudah ada dalam dirinya. Jadi punuknya yang tinggi itu, merupakan bentuk lemak khusus, yang jika dalam kesulitan air, dalam terik matahari, oleh oksigen yang dihirup dari hidungnya, secara bertahap mencair lemak khusus itu. Menjadi cairan, mem-back up cairan tubuh yang berkurang.
Rasulullah menggambarkan kader seperti itu. Ada energi yang ada di dalam dirinya. Yang tidak akan lekang oleh panas. Terus tahan berjalan jauh. Dan dakwah kita adalah merupakan perjalanan yang jauh.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Jadi kita tetap harus ansyatu ‘amalan, sebagai yang paling giat bekerja, kita pemikul beban dari risalah Muhammadiyah ini.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Yang keenam, bukan hanya yang paling giat bekerja, tapi paling tertib kerjanya, aslabu tandziman. Paling kokoh tandzimnya, organisasinya, tatanannya. Semua kerja teratur dan terukur. Paling kokoh.
Aslabu tandziman, paling kokoh tatanannya, strukturnya, organisasinya, termasuk agenda-agendanya.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Dan tandzim kita, dalam sejarah perjalanan dakwah ini, sudah dibuktikan. Orang sudah menggelari kita, ‘Wah PKS paling solid’. Itu sudah bahasa umum. Solid, katanya. Kalau kadernya disebut apa? Militan.
Militan itu artinya ansyatu ‘amalan. Solid itu artinya aslabu tandziman. Dan itu sudah omongan orang. Bahkan kadang-kadang, kita tanya, apa bener ya kita begitu?
Kita suka khawatir, bahwa kita lebih jelek dari dugaan orang. Itu yang kita khawatir. Kita harus selalu berusaha untuk lebih baik dari dugaan orang. Jadi kita harus khairun mimma yadzunnun. Jauh lebih baik dari dugaan orang. Hanya ketika muncul pujian, kita meneliti-neliti, apa bener ya kita begitu? Mudah-mudahan kita insyaAllah khairun mimma yadzunnun.
Jadi aslabu tandziman dan ansyatu ‘amalan itu sudah jadi bahasa umum orang menilai kita. Dan kita harus buktikan lebih baik dari itu.
Yang ketujuh, aktsaru naf’an. Paling banyak memberi manfaat kepada umat ini, paling banyak memberi manfaat kepada bangsa ini, paling banyak memberikan manfaat kepada negara ini, paling banyak memberikan manfaat kepada kemanusiaan seluruhnya.
Aktsaru naf’an. Khairun naas, anfa’uhum linnaas. Yang terbaik dari hamba Allah itu, yang paling banyak memberikan manfaat kepada sesama. Manfaat yang bersifat materil, yang bersifat moril. Penyuluhan, pelayanan kita berikan. Apalagi kader-kader kita sudah terlibat dalam lembaga penyelenggara negara. Sehingga kita terlibat dalam menyalurkan manfaat-manfaat umat kepada mustahiknya. Akan lebih besar lagi insyaAllah, dengan musyarokah ini.
Aktsaru naf’an. Dan kalau umat ini mengakui bahwa kita paling bermanfaat, paling banyak pelayanan, paling banyak perhatiannya, sudah tentu an naasu yuwaluna man khodamahum. Manusia itu akan memberikan loyalitas kepada manusia yang paling banyak melayaninya, paling banyak memberi manfaat, dan paling banyak memberikan pembelaan-pembelaan dalam segala sektor.
InsyaAllah ikhwan dan akhwat fillah..
Jika tujuh hal tadi ada dalam diri kita, eksistensi kita dalam situasi apapun, tampil dilihat orang secara nyata. Atsbatu mauqifan, arhabu shadron, a’maqu fikron, ausa’u nadhoron, ansyatu ‘amalan, aslabu tandziman, wa aktsaru naf’an.
Dan sudah tentu, sekali lagi ini untuk menjaga eksistensi, menjaga aktualisasi diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itsbatul wujud. Untuk menjaga integritas kita di tengah-tengah masyarakat. Mudah-mudahan Allah selalu menjaga kita, dan dakwah kita, dan kehadiran dakwah kita di bumi pertiwi Indonesia ini. Sehingga insyaAllah kita mendapatkan keberhasilan di dunia dengan mampu i’la’i kalimatillah, sehingga kita mendapat ridho Allah dan di akhirat pun kita akan dihimpun dalam jannatul firdausi a’la.
Ikhwan dan akhwat fillah rahimakumullah..
Alhamdulillah, sekali lagi nikmat Allah demikian banyak. Kita syukuri seluruh nikmat. Tantangan kita hadapi dengan sepenuh kesabaran. Dengan penuh sikap teguh, lapang dada, pemikiran yang mendalam, pandangan yang luas, aktivitas yang giat, dan tandzim yang kokoh, dan manfaat yang banyak. Sehingga kita laik mengembang misi rahmatan lil ‘alamin.
Faqidu syai’ la yu’thi. Kalau kita bukan manusia yang produktif, menghasilkan banyak kebajikan, tidak bisa kita memberikan kepada orang lain. Kita jangan sekali-kali menjadi komunitas yang defisit kebajikan. Kita harus menjadi komunitas yang surplus kebajikan, sehingga bisa memberi dan memberi. Kita menjadi yadul ulya. Kita menjadi penyelenggara rahmatan lil ‘alamin. Sekian.
Aqulu qouli hadza wa astaghfirullahali walakum walisairil mu’minin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh