Oleh KH A Hasyim Muzadi
Sudah barang pasti para founding fathers, jamaah pendiri republik, dan syarikat penyusun tata kerja dan pola kerja pemerintahan negeri ini di masa lalu akan tercengang kalau sempat menyaksikan Indonesia masa kini. Betapa tidak! Nyaris semua pilar kehidupan sudah terbalik-balik. Semuanya terjadi sesuai selera belaka. Bahkan, konsensus nasional pun dibuat atas cita rasa selera. Celakanya, semua terjadi atas nama "konstitusi". Yang paling mutakhir adalah militansi ketua sebuah federasi olahraga yang menolak mundur "on behalf of" konstitusi, meski semua suara sepakat "melemparnya keluar pesawat". Dalam situasi demikian, di mana gerangan berkah kehidupan?
Indonesia masa kini adalah negeri modern dengan berbagai fasilitas dan medium paling sempurna untuk membuat semua mimpi menjadi kenyataan. Sebuah "dunia" di mana yang mustahil bisa menjadi nyata, sistem pemerintahan presidensial, tapi serasa parlementerian ahli ekonomi berbaju mantel pengisap rente, bahkan para moralis bisa sekamar dengan pelaku jual-beli aneka macam "amanat" rakyat. Sebuah "perselingkuhan" yang menjijikkan. Perselingkuhan yang tentu saja dilegitimasi atas nama "konstitusi". Lalu, di mana berkah sebuah konstitusi bagi kehidupan?
Untuk semua ragam pragmatisme itu, di sini amat gampang ditemukan. Hatta kalau kita ingin membeli kepemimpinan, di mana adanya? Hanya di Indonesia modern kita akan memperoleh fasilitas paling nyaman untuk menjadi pemimpin. Dan, itu akan semakin gampang dilakukan kalau kita memiliki keberanian. Berani yang tidak menyisakan rasa takut sedikit pun. Bahkan, kalau harus berhadapan dengan para malaikat pencabut nyawa; para pemimpin produk demokrasi industri sudah siap dengan segala bentuk jawaban. Tentu saja, tak ada keberkahan hidup dalam industri demokrasi semacam ini.
Tak percaya? Lihatlah betapa demokrasi di negeri ini sudah benar-benar menjelma sebuah industri. Dulu, dari zaman James Watt, kita hanya mengenal industri dalam kaitannya dengan alat-alat industri yang bertujuan "membuat" hidup jadi lebih mudah. Maka, muncullah mesin uap. Tapi, Watt tak akan pernah menyangka, "uap" yang jamak ditemukan untuk menjalankan sebuah mesin, kini telah sukses membuat banyak anggaran negara "menguap". Dulu, kita mengenal Thomas Alva Edison karena jasanya membuat dunia terang benderang. Tapi, tentu dia tak akan pernah menyangka listrik menjadi ladang korupsi yang membuat sebuah bangsa merana.
Di mana semua ini bisa terjadi? Salah satunya yang paling mungkin tentu di negeri kita. Sebab, di sini para pemimpin formal dan nonformal bisa berada dalam satu tarikan napas; memproduksi pemimpin-pemimpin yang bukan taat kepada rakyat, melainkan patuh kepada yang membelikan baginya kepemimpinan. Kalau di antara kita punya kenekatan, cobalah peruntungan di bursa industri demokrasi. Kini, sudah amat sulit menemukan di negeri ini, pemimpin yang benar-benar datang dari rakyat, besar bersama rakyat, dan hidupnya hanya diabadikan untuk rakyat yang melindungi dan membesarkannya. Kondisi ini terjadi di hampir semua strata; dari tingkat RT ke RW, dari kepala desa ke wali kota, bupati, gubernur hingga ke presiden, dari DPRD hingga DPR-RI di pusat pemerintahan, Jakarta.
Benarkah kita mengenal mereka semua, para pemimpin, sebelum akhirnya menjadi produk asli industri demokrasi? Tahu-tahu, dia yang selama ini dikenal sebagai pengusaha lalu mentas di Senayan. Tahu-tahu, dia yang dulu penarik retribusi di pasar, kini sudah menjadi anggota DPRD Kota. Dulu, dia tak lebih dari seorang preman kelas kampung, tapi kini sudah mengendarai mobil berlavel SUV atas nama wakil rakyat. Kalau kita, sekali lagi, punya keberanian dan sedikit modal teriak-teriak, datanglah
kepada pemilik modal, mintalah mengeluarkan sedikit uang, maka jadilah kita seorang pemimpin yang sah plus legitimate sesuai norma demokrasi.
kepada pemilik modal, mintalah mengeluarkan sedikit uang, maka jadilah kita seorang pemimpin yang sah plus legitimate sesuai norma demokrasi.
"Hindari politik uang" tak lebih dari sebuah semboyan di mulut, tetapi akan segera mengering diterpa kipas-kipas lembaran rupiah. Kapitalisme yang mencengkeram kuat Indonesia benar-benar telah membuat nilai luhur demokrasi menjadi layaknya sebuah industri; industri penghasil hak suara yang kemudian dijual kepada konsumen. Tentu pembelinya adalah kelompok berduit dan kekuasaan yang tidak percaya diri bahwa dia didukung rakyat. Satu hal yang hampir dapat dipastikan, uangnya bukan kantong sendiri. Ah yang benar? Lihatlah tanda-tandanya! "Siapa yang menang di bursa pemilihan? Yang independen ataukah yang mendadak menang, karena kekuatan tukang intervensi?" Pemimpin yang insya Allah tak akan berkah!
Kalau akhirnya terpilih, akan dengan mudah ditebak ke mana ia akan melangkah. Akankah dia mengabdi kepada para pemilihnya ataukah mengabdi kepada orang atau pihak yang membelikan untuknya kepemimpinan. Saat ini, karena demokrasi sudah menjelma industri, penikmatnya adalah dari kelas masyarakat paling atas hingga mereka yang berada di paling dasar. Rakyat pembeli suara akan berkolaborasi secara mekanis dengan para cukong pembeli suara untuk memproduksi kepemimpinan untuk si terpilih. Renungkan! Betapa hal ini terjadi di semua tingkatan dalam semua lapisan masyarakat, baik itu kepemimpinan formal, nonformal dan informal. Bahkan, untuk jadi seorang "tokoh" pun, kita bisa mencarinya di bursa ini.
Kita tinggal memoles diri atau dipoles alias membangun citra menjadi "seolah-olah". Seolah-olah telah menjadi pemimpin. Seolah-olah pembela rakyat. Ini semua amat bergantung pada selera pemesan. Kalau ingin jadi pemimpin dermawan, tinggal panggil EO atau PR, lalu bersafari ke kantong-kantong kemiskinan, tebar derma. Jangan lupa ikut sertakan beberapa kru media massa. Jangan takut jatuh miskin sebab dermanya tidak meloncat dari kantong sendiri. Itu bisa dari loan, hibah, atau pajak yang diambil dari rakyat. Maka, jadilah kita sebagai pemimpin seolah-olah di tengah rakyat yang juga seolah-olah. Seolah-olah produk asli demokrasi. Bentuk pemerintahan yang katanya kita adopsi dari luar. Dahsyat.
Sadarkah kita bahwa yang kita hadapi ini bukan dunia seolah-olah? Sejujurnya kita hidup di dunia nyata yang semua perbuatan kita harus dipertanggungjawabkan. Kalau pelanggaran atas norma kehidupan masuk kategori rusak dan merusak, Allah akan menyiapkan respons serius atas polah tingkah laku kita. Maka, jangan kaget jika muncul aneka macam musibah dan bencana. Kelaparan dan ketakutan seperti menyelimuti anak bangsa ini. "Fa AdzaaqohaalLaahu Libaasal Juu-i W al Khoufi- Maka Allah akan merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan." "…Liyakfuruu Bimaa Aatainaahum Fa Tamatta-uu-Biarlah mereka mengingkari apa yang telah Kami berikan kepada mereka, maka bersenang-senanglah." (QS an-Nahl : 55). Sadarlah, berkah kehidupan sangat mungkin hilang akibat industri demokrasi. Wallaahu A'lamu Bishshowaab.
Sadarkah kita bahwa yang kita hadapi ini bukan dunia seolah-olah? Sejujurnya kita hidup di dunia nyata yang semua perbuatan kita harus dipertanggungjawabkan. Kalau pelanggaran atas norma kehidupan masuk kategori rusak dan merusak, Allah akan menyiapkan respons serius atas polah tingkah laku kita. Maka, jangan kaget jika muncul aneka macam musibah dan bencana. Kelaparan dan ketakutan seperti menyelimuti anak bangsa ini. "Fa AdzaaqohaalLaahu Libaasal Juu-i W al Khoufi- Maka Allah akan merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan." "…Liyakfuruu Bimaa Aatainaahum Fa Tamatta-uu-Biarlah mereka mengingkari apa yang telah Kami berikan kepada mereka, maka bersenang-senanglah." (QS an-Nahl : 55). Sadarlah, berkah kehidupan sangat mungkin hilang akibat industri demokrasi. Wallaahu A'lamu Bishshowaab.
No comments for "Jual-Beli Pemimpin di Industri Demokrasi"!
Posting Komentar