Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

dakwatuna.com - Wushhh……

Ilustrasi (wikipedia)
KRL Ekonomi berlalu melewati. Kibaran rambutnya yang lebat masih terlihat. Lembayung senja mulai menyembunyikan diri di atas cakrawala. Pertanda waktu Maghrib akan terlewati sebentar lagi. Burung-burung pun sudah sejak sore tadi kembali ke sarangnya. Banyak orang berlalu lalang pulang dari kewajiban mereka berusaha bekerja. Merealisasikan salah satu  ajaran Islam yang universal. Agar memiliki kesadaran untuk memiliki sikap iffah pada diri setiap insan.
Ia dan ayah masih berdiri menunggu. Kereta tadi bukan yang mereka akan naiki untuk pulang. Tujuan mereka adalah kota hujan berjuta angkot. Ini pengalaman pertamanya menemani ayah yang selama ini mendidiknya dengan baik bekerja. Tidak seperti biasa, mereka pulang dengan kereta. Padahal dari cerita yang biasa ia dengar, ayah sering pulang menaiki bis. Tapi, ia tak mempedulikannya karena akan mendapatkan kelelahan dalam berpikir. Peluh dan keringat sudah sejak tadi keluar turun menyusuri setiap kulit mereka.
Pernah ia berpikir dalam benaknya, “aku sangat tergugah mengamati kehidupan ayah. Setiap hari pulang pergi mencari penghasilan untuk menghidupi keluarga. Aku memiliki banyak adik yang masih membutuhkan biaya untuk bersekolah. Ia terlihat sangat lelah setiap pulang dari bekerja. Keletihan selalu disembunyikan ketika menghadapi anak-anaknya. Padahal aku dapat melihat dari raut wajahnya yang sangat kelelahan setiap pulang kerja. Satu hal yang kusukai dari cara ia mendidik anak-anaknya. Ayah suka bercerita tentang kehidupan masa kecilnya. Kadangkala juga menceritakan pengalaman yang baru ia dapatkan. Ia selalu berharap anak-anaknya dapat memiliki kehidupan yang lebih baik darinya. Secara tidak langsung dalam alam bawah sadarku muncul sebuah energi jiwa untuk menjadi yang terbaik dari yang lain. Itulah salah satu alasan mengapa aku sangat menginginkan menjadi orang yang diharapkan kedatangannya untuk merubah dunia jauh lebih baik pada saatnya nanti.”
Ia melihat ayah masih berdiri tegak berjiwa tegar. Sesekali terlihat singgungan senyum di bibir ketika ia menatap wajah ayah. Dulu ia tidak mengetahui tentang apa arti dari tanggung jawab seorang ayah dalam berkeluarga. Kini, ia sudah memahaminya. Sudah menjadi sunnatullah bahwasanya manusia tidak akan memperoleh nikmat, rezeki, dan makanan yang ada di atas dan di bawah tanah kecuali dengan kerja keras dan usaha yang sungguh-sungguh. Dari sanalah ia pun menjadi mengerti, mengapa seorang ayah berjuang keras menghidupi keluarga. Ia memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dirinya maupun keluarga. Bukankah sudah diketahui akan hal ini?
كفى بالمرء إثما أن يضيّع من يقوت.رواه أبو داود
“Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.” (H.R Abu Daud)
Tanpa sadar mereka sudah berdiri lebih dari seperempat jam. Kereta yang ditunggu-tunggu ternyata terlambat dari apa yang dikira. Ia dan ayah masih kuat membawa tas di punggung. Dari arah utara tiba-tiba terdengar suara kereta bergerak melambat. KRL Ekonomi AC yang sejak tadi ditunggu telah datang. Suara decitan rem sedikit mengganggu pendengaran beberapa saat. Dengan agak terburu-buru mereka memasuki kereta dengan segera. Takut tak mendapatkan tempat duduk kosong untuk menunggu kereta sampai tujuan. Setelah susah payah berjuang saling mendahului, akhirnya mereka mendapatkan tempat duduk walau sempat bersikukuh dengan seorang penumpang.
Sssshhhh……………
Pintu otomatis di setiap sisi berhadapan mulai menutup. KRL Ekonomi AC yang mereka naiki mulai berjalan meninggalkan stasiun Jakarta Kota. Tujuan mereka adalah tempat pemberhentian stasiun terakhir di Pasar Anyar. Beruntung sekali mereka mendapatkan gerbong yang tak begitu sesak. Dengan keadaan seperti itu bercengkerama bukanlah hal riskan di hadapan penumpang lain. Tapi tetap dengan catatan tidak mengganggu suasana tentunya.
Sepanjang perjalanan mereka berdua menitikberatkan barang yang dibawa. Penjagaan perlu diperketat agar tak lepas dari pegangan. Ayah selalu memperingatkannya bahwa hidup ini selalu berada dalam koridor perjuangan. Ia tahu akan hal itu. Setiap insan lahir ke dunia ini berawal dari perjuangan dengan jutaan kromosom dari spermatozoid seorang ayah. Dan ketika ada satu spermatozoid berhasil menembus ovum dengan akrosom yang dimilikinya melalui proses pembentukan apparatus golgi, saat itulah 2 kromosom haploid dari ayah dan ibu melebur menjadi sebuah zigot diploid yang pada akhirnya akan berkembang menjadi janin di dinding endometriumibu. Hingga Allah mengisi raga janin itu dengan ruh jiwa di saat kandungan berumur 4 bulan. Itulah masa perjuangan setiap insan sampai pada saat ditentukan akan lahir ke dunia menyongsong koridor perjuangan baru.
Tiba-tiba bahu kanan dirinya ditepuk telapak tangan ayah. Dengan wajah tetap cerah dan singgungan senyum yang khas ia berkata, “nak, ayo kita membaca wirid petang hari. Masih ada waktu sampai adzan Isya berkumandang. Tadi kita belum sempat membacanya. Ada sekitar satu setengah jam lagi hingga kita sampai tujuan.”
Itu benar. Ia dan ayah belum sempat melakukan aktivitas yang biasa dilakukan pagi dan petang. Dengan senyuman pun ia mengikuti ayah membaca wirid harian tersebut. Dengan syahdu suara mereka dengan lembut tanpa sadar menyentuh hati setiap penumpang yang ada di gerbong tersebut. Hingga sekitar dua puluh menit kemudian mereka akhirnya selesai dari wirid mereka. Langit dan bumi beserta isinya mengaminkan apa yang dipanjatkan dari wirid tersebut. Adzan Isya pun berkumandang memanggil setiap muslim untuk menunaikan kewajibannya.
“Ayah, adzan Isya sudah berkumandang. Alhamdulillah tadi kita sudah berinisiatif untuk menjamaktaqdim Isya dengan Maghrib di masjid depan stasiun tadi. Oya, sekarang keretanya sudah masuk daerah mana, yah?” Dengan sopan dan dijaga ia bertanya kepada ayah. Beliau hanya melihat wajahnya dengan lekat. Wajahnya cerah tak terlihat sedetik waktu pun kecapekan yang ayah tampakkan kepadanya.
“Anakku, alhamdulillah kita sudah melewati stasiun Pondok Cina. Mungkin sekitar beberapa stasiun lagi kita sampai di Bogor Kota. Ayah mengingat satu hal. Ini dipicu oleh pernyataanmu tadi. Maukah engkau mendengar cerita ayah kembali? Ini tentang salah satu kisah tentang keikhlasan yang ayah alami. Kisah ini terjadi sekitar sepekan yang lalu di masjid yang sama kita singgahi tadi. Jadi, maukah engkau mendengarnya, anakku?”


Wajah ayah yang teduh. Dengan anggukan kecil ia menerima permintaan ayah untuk mendengar dengan baik apa yang akan disampaikan kepadanya. Mereka memperbaiki posisi duduk agar nyaman bercengkerama. Tas di punggung dipindah ke pangkuan mereka. Keadaan gerbong kereta masih terasa sunyi hingga ayah mulai bercerita dengan deheman khasnya dan membaca bismillah.
“Anakku, tentunya engkau masih mengingat tentang sifat iffah. Yaitu menjaga harga diri dan kehormatan. Kisah yang akan ayah ceritakan berhubungan dengan kerja. Banyak hadits yang menyebutkan akan hal ini. Tahukah engkau salah satu dari hadits tersebut?” Pikirannya melayang mengingat kembali hadits-hadits yang ia tahu mengenai hal tersebut. Dengan satu hentakan kaki dan kepalan tangan ia mengingatnya. Dengan kepercayaan diri ia menyebutkan hadits yang ia ketahui.
لأن يحتزم أحدكم حزمة من حطب فيحملها على ظهره فيبيعها خير له من أن يسأل رجلا فيعطيه أو يمنعه. متفق عليه بلفظ مسلم
“Apabila salah seorang di antara kamu mencari kayu bakar dan mengikatnya lalu memikulnya kemudian menjualnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik memberinya ataupun tidak.” (H.R. Bukhari, Muslim)
اليد العليا خير من اليد السفلى و العليا هي المنفقة و السفلى هي السائلة. متفق عليه
“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, di atas adalah yang memberi, sedangkan di bawah yang meminta-minta.” (H.R Bukhari, Muslim)
“Tepat sekali, anakku. Islam mengajarkan kita untuk menjaga harga diri dan kehormatan. Begitu pun juga Islam tidak menganggap keengganan bekerja dan berusaha dengan mengharap rezeki dari arah yang tak diduga-duga termasuk tawakkal, sebagaimana dipahami sebagian orang awam yang tidak berilmu seperti yang dikatakan Imam Ahmad. Sebaliknya, Islam menganggap sikap itu sebagaitawakkul (bergantung).”
“Bergantung dan enggan berusaha merupakan mentalitas yang tidak dikehendaki Islam. Ini merupakan tuntutan agar kita umat Islam tidak terjerumus ke dalam jurang kehinaan. Kita sebagai umat pilihan yang diamanahi untuk memimpin harus bisa menyeleraskan antara kemuliaan Islam dan kepribadian moral kita. Dalam hal ini juga mempengaruhi bahwasanya eksistensi Islam bergantung terhadap umatnya. Bagaimana jadinya jika kita menjadi orang yang hanya bisa meminta-minta? Bukankah itu sebuah kehinaan bagi diri dan agama Islam, wahai anakku?”


Dengan bijak ayah memberikan wejangan kepadanya. Tapi ini belum selesai. Baru pembukaan yang baru ia dengar…
“Begitulah, anakku. Ayah tahu engkau pasti bisa memahaminya. Islam mengajarkan kita untuk tidak enggan berusaha. Jika kita menginginkan sesuatu, maka kita harus berusaha mendapatkannya. Gabungkanlah antara keinginanmu dan kehendak Allah SWT. Jika engkau benar-benar berusaha mencapai apa yang kau inginkan, maka Allah pun pasti akan memberikannya dengan qadar-Nya yang baik. Tentunya tetap dalam kebaikan dan kemaslahatan dirimu dan masyarakat luas.”
Ayah kembali memperbaiki posisi duduknya. Gelagat ayah terlihat ingin mulai menceritakan kisahnya. Ia tahu wejangan awal tadi sebagai pemahaman awal untuk dapat menghayati cerita yang akan disampaikan ayah kepadanya. Dan sekarang cerita akan segera dimulai.
“Pekan lalu merupakan salah satu pengalaman yang tak bisa dilupakan bagi ayah. Ini merupakan kisah tentang bagaimana keikhlasan yang sepatutnya kita tunjukkan pada kepribadian kita. Tahukah engkau, anakku? Sejak saat itu ayah berusaha untuk selalu menjadi hamba yang selalu ikhlas hanya mengharapkan ridha Allah Taala. Awal kisah ini dimulai saat ayah pulang sore dari kantor tempat ayah bekerja.”
Ayah dalam keadaan letih sekali. Tidak biasanya tubuh terasa lemah. Hampir saja ayah jatuh ketika berjalan menuruni tangga. Alhamdulillah saat itu ada teman yang menahan ayah agar tidak jatuh. Dalam keadaan seperti itu ayah memutuskan untuk tidak pulang menaiki bis seperti biasa. Ayah keluar dari gerbang kantor saat langit sudah menampakkan lembayung senjanya. Melihat waktu sudah mulai gelap dan adzan Maghrib pun sudah mulai berkumandang, ayah memutuskan untuk shalat Maghrib dahulu di masjid depan stasiun dan jam tujuh lebih nanti pulang menaiki kereta.
Ayah menitipkan sepatu dan beranjak untuk mengambil air wudhu. Dengan kesegaran berwudhu wajah ayah terlihat sedikit lebih cerah. Segera ayah memasuki masjid agar tidak tertinggal shalat berjamaah dan menjadi masbuq. Setelah imam salam, ayah berdzikir dan berdoa kepada Allah meminta diberikan anak-anak dan keturunan yang qurrata ‘ayun. Tak lupa ayah melaksanakan sunnah rawatib ba’da Maghrib. Dan ayah pun berkemas untuk pergi meninggalkan masjid untuk pulang.
Pikiran ayah tiba-tiba terlintas terhadap seorang bapak yang tadi shalat di samping ayah. Bukankah bapak tersebut tadi duduk di depan masjid sepanjang sore hingga akhirnya adzan Maghrib berkumandang? Ayah ingat bapak itu bekerja sebagai tukang pijat dan urut. Dengan segala pertimbangan antara keberangkatan kereta dan keletihan, ayah mendekati bapak tersebut untuk mendapatkan jasanya.
“Bapak, tolong bisa pijatkan saya? Kebetulan sekali badan saya terasa letih sekali.”
Ayah meminta jasa bapak itu sambil menyerahkan uang sepuluh ribuan. Sebelum memijat tubuh ayah, bapak itu terlihat kurang bersemangat memulai kerjanya. Mungkin karena uang sepuluh ribuan yang ayah berikan. Tapi, tak apa. Ayah tak mempedulikannya. Walaupun sebenarnya ayah kurang mendapatkan manfaat dari pijatan bapak tersebut.
Detik-detik berganti menjadi hitungan menit. Sudah sekitar 5 menit ayah dipijat tanpa merasakan manfaatnya sekalipun. Sempat ayah melihat barang-barang bawaan bapak itu. Terlihat minyak urut berjejer tampak di atas sehelai kain. Ayah mengambil salah satu minyak tersebut.
“Bapak, ini minyak yang digunakan untuk memijat?”
“Iya, betul.”
Dengan wajah kurang senang bapak tersebut menjawab pertayaan ayah. Akhirnya sambil bapak itu bekerja, ayah sedikit bercakap-cakap dengan bapak itu.
“Pak, minyak ini sering saya lihat dijual di beberapa tempat. Di toko kelontongan sempat juga saya melihatnya. Apakah minyak ini bagus untuk pijat dan urut?”
“Benar, minyak ini sudah teruji dengan baik. Saya sendiri nyaman bekerja menggunakan minyak tersebut. Kalau yang sekarang saya gunakan ini campuran antara minyak dengan beberapa ramuan alami.”
Dengan baik bapak tersebut menjelaskan khasiat minyak tersebut kepada ayah. Wajah tidak senangnya sedikit berubah dengan pertanyaan dan tanggapan yang baik dari ayah. Tanpa sadar akhirnya percakapan ayah dengan bapak tersebut berlanjut hingga kehidupan bapak itu yang serba tak mencukupi. Ayah mendengarkan dengan khidmat celotehan bapak tersebut hingga akhir. Hingga ayah pun teringat minyak tersebut dapat bermanfaat jika ayah beli untuk digunakan di rumah.
“Pak, minyak ini dijual berapa? Saya tertarik untuk membelinya. Bisa jadi di rumah nanti bermanfaat.”
“Ooh… itu harganya sepuluh ribuan. Murah. Tak bisa ditawar-tawar lagi.”
“Kalau begitu sepuluh ribu yang tadi untuk beli minyak ini saja. Boleh kan, pak?”
“Oya, boleh-boleh. Baiklah, pak.”
Dengan wajah sangat sumringah bapak itu menerima tawaran ayah untuk membeli minyak tersebut dari uang sepuluh ribuan yang pada awalnya untuk membayar jasa pijatan bapak itu. Saat-saat itu menjadi masa yang nyaman sekali bagi ayah ketika dipijat. Setelah uang sepuluh ribuan itu dipakai untuk membeli minyak, bapak itu terlihat senang sekali. Ia merubah cara pandangnya terhadap ayah dan berusaha semaksimal mungkin melakukan kerjanya. Tahukah engkau, anakku? Baru setelah itu ayah merasakan manfaat pijatan dari bapak tersebut. Dari pijatan yang awalnya hanya di kaki, ayah meminta bapak tersebut untuk memijat kepala ayah. Ada kenikmatan tersendiri saat ayah dipijat dengan ketulusan dari bapak itu. Tapi, ada kejadian yang perlu diketahui. Kejadian ini membuat ayah tergugah. Ini mengalir apa adanya. Ayah tak merekayasakannya dari awal.
“Bapak, pijatannya enak sekali. Sudah berapa lama bekerja seperti ini? Sepertinya bapak sudah berpengalaman.”
“Oh, ya. Kira-kira saya sudah bekerja sekitar 2 tahunan. Sebelumnya saya tak memiliki pekerjaan apapun. Kehidupan saya amburadul. Tapi alhamdulillah sekarang saya sudah sadar akan tanggung jawab yang saya pikul.”
“Itu benar, pak. Setiap manusia memiliki tanggung jawab masing-masing yang dipikulkan kepadanya. Alhamdulillah ternyata sudah hampir setengah jam saya dipijat. Terima kasih banyak, pak. Pijatannya enak dan sekarang badan saya terasa lebih segar. Apalagi ditambah dengan hadiah minyak yang bapak berikan. Bahkan uang sepuluh ribu pun bapak berikan kepada saya. Padahal bapak sudah memijat saya dengan hebat. Sekarang minyaknya sudah ada di tangan saya. Uang sepuluh ribuan tadi, mana? Kembalikan lagi kepada saya, pak.”
Setelah mendengar perkataan ayah, wajah bapak itu terlihat melas sekali. Cemberut di bibirnya sama sekali tak nyaman dilihat. Dia sangat bingung kenapa uang sepuluh ribu yang sudah diberikan kepadanya harus dikembalikan?. Bapak itu memegang uang sepuluh ribuan itu sambil memandangnya dengan tatapan berharap. Ia sama sekali tak ingin melepaskannya. Ayah hampir saja tertawa karena saking lucunya kejadian tersebut. Lama sekali bapak itu memandang uang sepuluh ribuan itu, anakku. Ia sama sekali tak ingin melepaskan dengan mudah hasil jerih payahnya. Akhirnya dengan masih penuh keheranan dan kasihan bapak itu menyerahkan uang sepuluh ribuan itu kepada ayah.
“Baiklah, pak. Terima kasih atas segalanya. Bapak sudah memijat saya ditambah dengan hadiah minyak sekaligus memberikan ongkos uang sepuluh ribu kepada saya. Bapak baik sekali.”
Ayah berkata dengan menampakkan senyuman kepada bapak itu seraya memperbaiki posisi duduk. Dengan wajah yang masih melas saja bapak itu menundukkan pandangannya. Ia kebingungan dengan aksi yang ayah lakukan. Ayah hanya bisa tersenyum saja dan tertawa dalam hati. Kenapa bisa ya? Bapak itu melakukan hal yang tak dikira. Jika ada di sana, engkau akan melihat kejadiannnya dengan seksama, anakku. Ayah pastikan engkau pun juga akan bingung dengan sikap ayah dan tertawa atas tanggapan yang diberikan bapak tersebut. Tapi ini belum selesai, anakku.
Kemudian, ayah merogoh saku celana mengambil uang lima puluh ribuan dan menggabungkannya dengan uang sepuluh ribuan tadi untuk diberikan kepada bapak itu. Awalnya ia bingung, tapi akhirnya pun bapak itu mengerti akan pelajaran yang ayah berikan kepadanya. Bapak itu menerima uang enam puluh ribu tersebut sambil mengucapkan terima kasih dan menciumi beberapa kali tangan ayah. Ayah berusaha mengelak tapi pegangan bapak tersebut sangat kuat di pergelangan tangan ayah.
“Sudahlah, pak. Jangan berlebihan. Saya mohon lepaskan pegangan tangan bapak dan berhenti menciumi tangan saya. Saya hanya ingin memberikan pelajaran berharga untuk bapak. Jadilah seorang pekerja yang tulus dan ikhlas hanya mengharapkan ridha Allah SWT. Jangan bekerja hanya karena mendapatkan selembar uang sepuluh ribuan. Tapi bekerjalah dengan semaksimal mungkin dengan memberikan semua usaha yang kita miliki. Keridhaan Allah yang seharusnya kita cari. Bukan bekerja mengharapkan pamrih dari orang lain. Dan bekerjalah dengan hati yang berbahagia karena kita menyelesaikan tugas kita dengan baik. Karena dengan keikhlasan saat bekerja, Allah pasti melihatnya dengan memberikan balasan yang setimpal kepada kita. Bapak bisa memahaminya, kan?”
“Iya, saya bisa memahaminya. Terima kasih atas nasihatnya. Insya Allah saya akan melakukan semua nasihat yang bapak berikan untuk ke depannya. Sekarang saya mengerti. Bekerja itu harus mengharapkan ridha Allah. Walaupun manusia ridha, tapi belum tentu Allah ridha atas usaha dan kerja kita.”
“Benar, pak. Kita sebagai seorang muslim sudah sepantasnya menjadikan ridha Allah sebagai tujuan utama kita. Tentang keridhaan manusia terhadap diri kita, itu menjadi hal lain yang sepatutnya kita renungi. Setiap manusia di dunia ini memiliki cara pandang yang berbeda. Tergantung dari banyaknya ilmu yang ia miliki. Bisa jadi ada seseorang yang tidak menyukai sikap dan kepribadian kita. Tapi Allah menyukainya dan memuliakan kita dibanding orang lain dengan meninggikan derajat kemuliaan di sisi-Nya.”
Tanpa sadar air mata mulai mengucur deras di pelupuk mata bapak tersebut. Ayah merasa terharu dengan pernyataan bapak itu. Dari kejadian ini ayah berharap bisa menjadi seorang yang ikhlas dalam segala sesuatu. Khususnya ketika bekerja mempertanggungjawabkan keluarga.
“Bapak, bekerjalah dengan sebaik mungkin. Curahkanlah seluruh upaya untuk memaksimalkan kerja kita. Sungguh Allah pasti melihat apa yang kita lakukan. Allah pasti akan memberikan balasan atas segala usaha kita untuk mendapatkan kebaikan bagi diri dan keluarga. Ingatlah! Di setiap kesusahan itu pasti ada kemudahan. Allah selalu menguji kita apakah kita sudah benar-benar menjadi hamba yang beriman serta ikhlas? Allah selalu berada di dekat hamba-Nya.”
“Dan yang terakhir, pak. Setiap amal yang kita kerjakan akan diterima di sisi Allah jika kita sudah memiliki dua hal; yaitu keikhlasan dan lurusnya niat serta bekerja secara ihsan berdasarkan perintah Nabi Muhammad saw. Kebenaran batin dalam bekerja akan tercapai jika kita memiliki keikhlasan dan kelurusan niat. Sedangkan kebenaran lahir dalam bekerja akan tercapai jika kita ihsan dalam melakukan sesuatu sesuai ajaran Rasulullah saw. Itu semua terangkum dalam firman Allah SWT.”
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُور.لقمان آية  22
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.” (QS. Luqman : 22)
Pada akhirnya ayah dan bapak itu saling merangkul berpelukan. Air mata bapak itu belum berhenti sejak tadi. Ia terharu dengan sikap dan nasihat yang telah ayah berikan kepadanya. Dalam hati ayah berjanji untuk bisa meluangkan waktu agar dapat berinteraksi dengan orang-orang seperti bapak itu di kemudian hari.
Masih banyak orang awam yang tidak memiliki kecukupan ilmu akan pemahaman mereka tentang Islam secara menyeluruh. Tugas kitalah yang telah mendapatkan pemahaman tersebut untuk menyampaikannya kepada orang lain. Jadilah seorang muslim yang sadar akan eksistensi panji Islam yang kita bawa. Jangan hanya menjadi muslim yang biasa-biasa saja. Kita hidup mengemban tugas menyampaikan Islam kepada umat manusia. Itulah salah satu konsekuensi karena kita dilahirkan di dunia ini dalam keadaan muslim. Bersyukurlah karena engkau dapat mengecap manisnya pendidikan Islam sejak dini, anakku. Selanjutnya adalah tugas engkau menyampaikan segala hal yang telah engkau dapatkan kepada orang lain khususnya teman-temanmu, tentang pemahaman Islam yang kaffah di kemudian hari nanti. Ayah selalu mendoakan untuk kebaikanmu.
Sepertinya ayah hampir bercerita setengah jam. Kereta sekarang telah melewati stasiun Cilebut. Hanya tinggal menunggu beberapa saat sampai kereta sampai dan berhenti di stasiun terakhir Bogor Kota, Pasar Anyar. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih. Kereta sampai tepat waktu dari jadwal walaupun keberangkatan tadi agak telat. Ia tersenyum menuruni kereta di belakang ayah. Ia bahagia setelah mendengar cerita yang membuat ia jauh lebih memahami hakikat hidup ini.
Begitulah. Ia mendapatkan pemahaman yang baik dari cerita yang ayah sampaikan kepadanya. Ia mengerti bahwasanya setiap keinginan akan kebutuhan hidup dapat tercapai dengan berusaha tidak enggan untuk bekerja. Seperti yang dikatakan Rasulullah saw. Bahwasanya ”Allah telah menjadikan rezekiku di bawah naungan tombakku”. Karena dengan bekerja sama saja kita telah menjaga kehormatan kita untuk tidak meminta-minta. Sikap iffah harus selalu dijaga dalam kepribadian diri. Allah pun telah menjanjikan bahwasanya bumi ini telah dimudahkan bagi kita.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ.الملك آية 15
“Dialah (Allah) yang telah menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezekinya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Mulk : 15)
Tidak hanya itu, ia juga dapat memantapkan slogan abadi setiap muslim tentang keikhlasan. Bahwasanya Allah adalah tujuan utama hidup. Seyogianya ia bisa mengorientasikan perkataan, perbuatan dan perjuangannya hanya kepada Allah SWT; mengharapkan keridhaan-Nya dan memperoleh pahala-Nya. Bukan hanya sekedar mendapatkan keuntungan duniawi seperti materi, prestise, pangkat, gelar, kemajuan atau kemunduran. Dengan itulah ia menjadi tentara muslim sejati dengan landasan aqidah yang kuat. Bukan tentara kepentingan dan hanya mencari manfaat dunia. Dunia dan segala isinya sebenarnya adalah hadiah bagi seorang muslim jika dapat selalu istiqamah di atas jalan yang benar. Yang diharapkan adalah seorang muslim itu selayaknya dapat menggenggam dunia dan isinya, bukan dunia yang menggenggamnya dengan cengkeraman syahwat. Akhirnya hanya keridhaan Allah yang sepantasnya kita cari di sepanjang perjalanan hidup kita.
فليتك تحلو و الحياة مريرة
و ليتك ترضى و الأنام غضاب
و ليت الذي بيني و بينك عامر
و بيني و بين العالمين خراب
 إذا صحّ منك الودّ فالكلّ هيّن
و كلّ الذي فوق التراب تراب
Dengan-Mu ada kelezatan, meski hidup terasa pahit
Kuharapkan ridho-Mu, meski seluruh manusia marah
Kuharapkan hubunganku dengan-Mu tetap harmonis
Meski hubunganku dengan seluruh alam berantakan
Bila cinta-Mu kudapatkan, semua terasa ringan
Sebab, semua yang ada diatas tanah adalah tanah belaka
***
Untuk seluruh ayah di dunia. Kami selalu menunggu kedatanganmu. Mendengar cerita-cerita yang kau berikan. Luangkanlah waktu untuk kami. Kami tahu engkau sibuk bekerja untuk mendapatkan penghasilan menghidupi keluarga. Tetap kami berharap agar engkau berusaha untuk selalu berada di dekat kami. Kami sangat bahagia ketika engkau bercerita tentang masa kecilmu, atau mungkin pengalaman-pengalaman yang baru kau dapatkan. Ayah, kami selalu menunggu kedatanganmu.
Ayah adalah orang terbaik seluruh dunia. Ia memberikan kami pemahaman untuk bisa hidup. Tak hanya sekedar mendapatkan manfaat dunia. Tapi mengajarkan kepada kami untuk bisa menikmati hidup dengan bahagia. Sejatinya hanyalah kebahagiaan yang selalu dicari setiap insan di dunia.
Ayah. Tahukah engkau? Ada pepatah mengatakan bahwasanya jika ingin melihat kepribadian seseorang lihatlah ayahnya. Kami tahu engkau pasti mengetahui itu. Kesuksesan seseorang bukanlah dilihat dari pencapaian hidupnya. Tapi dilihat dari bagaimana ia bisa mendidik anaknya sebaik mungkin. Agar anak-anaknya bisa menikmati sekaligus menggenggam dunia lebih baik darinya. Jika pada saatnya nanti anaknya lebih baik, berarti saat itulah ia pantas disebut sebagai orang yang sukses. Untuk membangun generasi masa depan yang membanggakan.
Ayah adalah orang yang selalu tegar menghadapi hidup. Ia mengorbankan segala sesuatu agar anak-anaknya bisa bahagia. Dia tidak berbohong atas hakikat yang sebenarnya. Sesungguhnya segala yang dia katakan dan perbuat hanya menginginkan untuk kebutuhan anak-anaknya. Janganlah pernah berprasangka terhadap perlakuan ayah terhadap kita.
Ayah. Kami di sini tetap menunggumu. Di atas bumi Allah yang tiada artinya melainkan untuk kemaslahatan umat manusia. Walau kami harus menunggu hingga batas waktu, kami kan selalu menantimu. Agar bisa mendengar cerita-ceritamu yang membuat kami selalu senang, tersenyum dan bahkan membuat kami kami tertawa lepas. Berikanlah kami pemahaman untuk mendapatkan kehidupan yang berbahagia. Seperti hikmah yang diberikan kepada anak Luqman melalui perantara ayahnya.
Sungguh, kami selalu menunggu cerita-ceritamu.

No comments for "Sudahkan Engkau Ikhlas Bekerja anakku?"!

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog