Oleh Teguh Setiawan*
Aung San Suu Kyi dipastikan kehilangan dukungan dari semua etnis minoritas dan Burma di Myanmar jika berani membela Muslim Rohingya.
Tanyakan kepada Aung San Suu Kyi,
tokoh gerakan demokrasi Myanmar yang dipuja aktivis dunia--termasuk di
Indonesia--di manakah genosida terlama dalam sejarah umat manusia?
Jika cukup jujur, Aung San Suu Kyi pasti menjawab, “Di Myanmar.“ Namun, apa yang dilakukan Suu Kyi ketika mendengar kabar pembantaian Muslim Rohingya oleh kelompok ekstremis Rakhine? Membisu.
Isu pembantaian Muslim Rohingya menempatkan Suu Kyi pada posisi sulit. Ia telanjur telah menempuh jalan kooperatif; ikut pemilu, dan mendapatkan kursi di parlemen yang membuatnya melunak.
Sikap keras atau setidaknya mengkritik pembantaian itu hanya akan membuat Suu Kyi kembali terusir dan menghilangkan peluangnya menjadi orang nomor satu di Myanmar. Suu Kyi tampaknya telah memilih tidak bersikap terhadap nasib Muslim Rohingya meski tindakan itu sama halnya dengan mengkhianati cita-cita yang diwariskan Jenderal Aung San, ayahnya.
Lebih ironis lagi, Suu Kyi adalah pemenang Nobel Perdamaian 1991, tapi tidak melakukan apa pun untuk menghentikan kekerasan di negaranya. Ia lebih suka menikmati tur ke Eropa, seperti selebritas yang berbulan madu.
Awal Juni 2012, pengadilan distrik Kyaukphyu Barat, negara bagian Rakhine atau Arakan, mengadili dua orang Muslim Rohingya. Tuduhannya adalah memerkosa seorang wanita Buddha dan membunuhnya. Satu tersangka lainnya tewas gantung diri sebelum diajukan ke pengadilan.
Myanma Ahlin, koran pemerintah, memberitakan, pemerkosaan dan pembunuhan terjadi pada 28 Mei. Segera setelah pemberitaan atas peristiwa itu, masyarakat Buddha melakukan aksi balas dendam. Mereka menyerbu sebuah bus dan membunuh 10 Muslim Rohingya.
Hari-hari berikutnya, eskalasi kekerasan meningkat. Etnis Rakhine yang beragama Buddha menyerang desa-desa Rohingya, membantai penduduknya, dan membakar rumahrumah mereka. Seluruh mayat Muslim Rohingya diangkut untuk dibakar di suatu tempat.
Kekerasan tidak hanya terjadi di Distrik Kyaukphyu, tapi juga di kotakota, Taunggok, Maungdaw, dan Sittwe, yang menyebabkan 54 Muslim Rohingya tewas dan lainnya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Kaladan News melaporkan, Tatmadaw, tentara Pemerintah Myanmar, memerkosa 11 Muslimah Rohingya, merampas harta, emas perak, dan barang berharga milik penduduk Muslim. Di selatan Maungdaw, tentara meminta penduduk menyediakan 50 ribu kyat seraya mengancam membunuh seluruh dari mereka.
Saw Maung, seorang Buddha Rakhine, memimpin penjarahan terhadap Desa Nurullah. Para polisi dan militer Myanmar sama sekali tak berusaha mencegah.
Media Myanmar menyebut Rohingya sebagai teroris dan mempropagandakan pembersihan Muslim dari Arakan. Pemerintah Myanmar menolak memberikan jaminan keamanan ketika petugas PBB berniat mengunjungi Rakhine untuk membagikan makanan.
Akibatnya, ribuan Muslim Rohingya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh. Sebagian masuk ke kamp pengungsi Lada, selatan Bangladesh. Kamp ini dikelola LSM Muslim Inggris yang setiap saat menyediakan makanan dan obat-obatan.
Kamp terlalu kecil. Akibatnya, sebagian besar dari mereka diusir pihak berwenang Bangladesh karena dianggap ilegal. Banyak dari mereka yang menjalani hukum jemur di atas pasir pantai yang panas sebelum dihalau kembali ke Arakan.
Mohammed Islam, salah seorang Muslim Rohingya yang melarikan diri lewat laut menuju Bangladesh, mengatakan, “Helikopter Bangladesh menembaki kami untuk memaksa kami kembali ke Arakan.“ Nahida Begum, wanita usia 10 tahun, melompat ke laut dan berenang ke pantai setelah perahu yang membawa mereka berbalik dan kembali ke Myanmar.
Mereka yang kembali ke Arakan atau Rakhine hidup dalam ketakutan dan kelaparan. Tidak diketahui berapa dari mereka yang bisa tahan dalam kondisi mengenaskan seperti itu. Mereka hanya berharap bantuan internasional.
Tidak ada yang bisa dilakukan Muslim Rohingya. Mereka yang berani melawan akan cepat menemui ajal. Yang melarikan diri menderita sedemikian rupa sebelum menemui kematian. Yang beruntung, jumlahnya sangat sedikit, bisa tinggal sementara di kamp-kamp pengungsian tak layak huni.
Jauh di luar negeri, kelompokkelompok Muslim Rohingya di pengasingan berupaya membuka mata dunia akan adanya genosida--pemusnahan sistematis terhadap satu kaum. Asosiasi Rohingya Birma, kelompok Muslim Rohingya di Thailand, menulis surat kepada Aung San Suu Kyi untuk berbicara dan menghentikan pembantaian.
“Tahun 1946, Jenderal Aung San mengunjungi kami,“ tulis Maung Kyaw Nu, presiden Asosiasi Rohingya Birma di Thailand, dalam suratnya kepada Suu Kyi. Jenderal Aung San mengatakan, “Kami beri cek kosong.
Silakan bekerja sama dengan kami.“
Jenderal Aung San, masih menurut Kyaw Nu, menjanjikan hak yang sama kepada Muslim Rohingya. “Kini, kami menagih janji itu kepada Aung San Suu Kyi, putri Jenderal Aung San. Kami hanya ingin Aung San menghentikan pembantaian,“ tulis Kyaw Nu.
Kyaw Nu memublikasikan surat ini di situs http://www.irrawaddy.org pada 24 Mei 2012. Reaksi dari Myanmar, terutama etnis Burma, lumayan heboh dan sedemikian banyak. Ada yang memberikan analisis menarik mengenai sikap diam Suu Kyi terhadap pembantaian Muslim Rohingya.
“Suu Kyi akan kehilangan dukungan dari semua etnis minoritas di Myanmar, Kachin, Mon, Shan, Chin, Kayah, Kayin, Rakhine, dan sebagian besar etnis mayoritas Burma, jika mengeluarkan komentar soal pembantaian ini,“ tulis salah seorang mahasiswa di Yangoon, ibu kota Myanmar.
Lainnya menulis, “Kami yakin Aung San Suu Kyi tidak akan gegabah. Ia tahu Rohingya adalah ancaman masa depan negara dan agama kami.“ Pe Kyaw Htin, seorang mahasiswa di Yangoon, menulis, “Siapa pun yang menerima Rohingya sebagai bagian dari Myanmar, akan menjadi musuh kami.“
Tidak ada yang tahu berapa jumlah Muslim Rohingya di Arakan atau Rakhine State. Perhitungan badan-badan internasional menyebutkan, Muslim Rohingya berjumlah antara 690 ribu sampai 1,5 juta. Namun, organisasi Muslim Rohingya di luar negeri mengklaim jumlah lebih dari dua juta.
Yang pasti, Rohingya pernah menjadi minoritas terbesar di Myanmar. Sampai 1962, ketika rezim di Yangoon--dulu bernama Rangoon-masih mengakui mereka sebagai bagian integral Myanmar (dulu Burma), jumlah mereka melebihi Rakhine, komunitas pemeluk Buddha di Arakan.
Selepas 1962, setelah serangkaian pembantaian, pembatasan kelahiran, eksodus besar-besaran hampir setiap tahun, Muslim Rohingya mengalami penurunan drastis. Banyak dari mereka melarikan diri lewat laut menuju Australia, Amerika, atau terdampar di banyak negara lainnya.
Pada awal kemerdekaan, Jendeal Aung San masih melihat Muslim Rohingya sebagai minoritas strategis yang harus dirangkul sebagai upaya melemahkan posisi Inggris. Un Nu yang berkuasa di Myanmar sampai 1962 merasa perlu merangkul Muslim Rohingya dan memanfaatkan kekuatan ekonominya.
Setelah Un Nu terguling dan Jenderal Ne Win memimpin Myanmar, dimulailah kampanye pengingkaran Muslim Rohingya sebagai bagian Myanmar. Kampanye yang disertai pembantaian sistematis berlangsung sedemikian masif dari tahun ke tahun.
Kampanye masif itu sebagai bagian dari politik xenofobia dan Burmanisasi sukses menanamkan kebencian terhadap Muslim Rohingya di belakang kepala setiap anakanak Myanmar yang baru lahir. Dalam situasi seperti ini sangat tidak mungkin bagi Aung San Suu Kyi yang relatif berjuang untuk menegakkan politik dinasti menyelamatkan Muslim Rohingya.
Adalah tidak keliru jika Medicines san Frontiers, sebuah LSM kesehatan asal Prancis, menempatkan Muslim Rohingya sebagai satu dari 10 etnis minoritas di dunia yang berada dalam bahaya kepunahan.
Jika cukup jujur, Aung San Suu Kyi pasti menjawab, “Di Myanmar.“ Namun, apa yang dilakukan Suu Kyi ketika mendengar kabar pembantaian Muslim Rohingya oleh kelompok ekstremis Rakhine? Membisu.
Isu pembantaian Muslim Rohingya menempatkan Suu Kyi pada posisi sulit. Ia telanjur telah menempuh jalan kooperatif; ikut pemilu, dan mendapatkan kursi di parlemen yang membuatnya melunak.
Sikap keras atau setidaknya mengkritik pembantaian itu hanya akan membuat Suu Kyi kembali terusir dan menghilangkan peluangnya menjadi orang nomor satu di Myanmar. Suu Kyi tampaknya telah memilih tidak bersikap terhadap nasib Muslim Rohingya meski tindakan itu sama halnya dengan mengkhianati cita-cita yang diwariskan Jenderal Aung San, ayahnya.
Lebih ironis lagi, Suu Kyi adalah pemenang Nobel Perdamaian 1991, tapi tidak melakukan apa pun untuk menghentikan kekerasan di negaranya. Ia lebih suka menikmati tur ke Eropa, seperti selebritas yang berbulan madu.
Kekerasan terbaru
Awal Juni 2012, pengadilan distrik Kyaukphyu Barat, negara bagian Rakhine atau Arakan, mengadili dua orang Muslim Rohingya. Tuduhannya adalah memerkosa seorang wanita Buddha dan membunuhnya. Satu tersangka lainnya tewas gantung diri sebelum diajukan ke pengadilan.
Myanma Ahlin, koran pemerintah, memberitakan, pemerkosaan dan pembunuhan terjadi pada 28 Mei. Segera setelah pemberitaan atas peristiwa itu, masyarakat Buddha melakukan aksi balas dendam. Mereka menyerbu sebuah bus dan membunuh 10 Muslim Rohingya.
Hari-hari berikutnya, eskalasi kekerasan meningkat. Etnis Rakhine yang beragama Buddha menyerang desa-desa Rohingya, membantai penduduknya, dan membakar rumahrumah mereka. Seluruh mayat Muslim Rohingya diangkut untuk dibakar di suatu tempat.
Kekerasan tidak hanya terjadi di Distrik Kyaukphyu, tapi juga di kotakota, Taunggok, Maungdaw, dan Sittwe, yang menyebabkan 54 Muslim Rohingya tewas dan lainnya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh.
Kaladan News melaporkan, Tatmadaw, tentara Pemerintah Myanmar, memerkosa 11 Muslimah Rohingya, merampas harta, emas perak, dan barang berharga milik penduduk Muslim. Di selatan Maungdaw, tentara meminta penduduk menyediakan 50 ribu kyat seraya mengancam membunuh seluruh dari mereka.
Saw Maung, seorang Buddha Rakhine, memimpin penjarahan terhadap Desa Nurullah. Para polisi dan militer Myanmar sama sekali tak berusaha mencegah.
Media Myanmar menyebut Rohingya sebagai teroris dan mempropagandakan pembersihan Muslim dari Arakan. Pemerintah Myanmar menolak memberikan jaminan keamanan ketika petugas PBB berniat mengunjungi Rakhine untuk membagikan makanan.
Akibatnya, ribuan Muslim Rohingya melarikan diri ke perbatasan Bangladesh. Sebagian masuk ke kamp pengungsi Lada, selatan Bangladesh. Kamp ini dikelola LSM Muslim Inggris yang setiap saat menyediakan makanan dan obat-obatan.
Kamp terlalu kecil. Akibatnya, sebagian besar dari mereka diusir pihak berwenang Bangladesh karena dianggap ilegal. Banyak dari mereka yang menjalani hukum jemur di atas pasir pantai yang panas sebelum dihalau kembali ke Arakan.
Mohammed Islam, salah seorang Muslim Rohingya yang melarikan diri lewat laut menuju Bangladesh, mengatakan, “Helikopter Bangladesh menembaki kami untuk memaksa kami kembali ke Arakan.“ Nahida Begum, wanita usia 10 tahun, melompat ke laut dan berenang ke pantai setelah perahu yang membawa mereka berbalik dan kembali ke Myanmar.
Mereka yang kembali ke Arakan atau Rakhine hidup dalam ketakutan dan kelaparan. Tidak diketahui berapa dari mereka yang bisa tahan dalam kondisi mengenaskan seperti itu. Mereka hanya berharap bantuan internasional.
Dilema Suu Kyi
Tidak ada yang bisa dilakukan Muslim Rohingya. Mereka yang berani melawan akan cepat menemui ajal. Yang melarikan diri menderita sedemikian rupa sebelum menemui kematian. Yang beruntung, jumlahnya sangat sedikit, bisa tinggal sementara di kamp-kamp pengungsian tak layak huni.
Jauh di luar negeri, kelompokkelompok Muslim Rohingya di pengasingan berupaya membuka mata dunia akan adanya genosida--pemusnahan sistematis terhadap satu kaum. Asosiasi Rohingya Birma, kelompok Muslim Rohingya di Thailand, menulis surat kepada Aung San Suu Kyi untuk berbicara dan menghentikan pembantaian.
“Tahun 1946, Jenderal Aung San mengunjungi kami,“ tulis Maung Kyaw Nu, presiden Asosiasi Rohingya Birma di Thailand, dalam suratnya kepada Suu Kyi. Jenderal Aung San mengatakan, “Kami beri cek kosong.
Silakan bekerja sama dengan kami.“
Jenderal Aung San, masih menurut Kyaw Nu, menjanjikan hak yang sama kepada Muslim Rohingya. “Kini, kami menagih janji itu kepada Aung San Suu Kyi, putri Jenderal Aung San. Kami hanya ingin Aung San menghentikan pembantaian,“ tulis Kyaw Nu.
Kyaw Nu memublikasikan surat ini di situs http://www.irrawaddy.org pada 24 Mei 2012. Reaksi dari Myanmar, terutama etnis Burma, lumayan heboh dan sedemikian banyak. Ada yang memberikan analisis menarik mengenai sikap diam Suu Kyi terhadap pembantaian Muslim Rohingya.
“Suu Kyi akan kehilangan dukungan dari semua etnis minoritas di Myanmar, Kachin, Mon, Shan, Chin, Kayah, Kayin, Rakhine, dan sebagian besar etnis mayoritas Burma, jika mengeluarkan komentar soal pembantaian ini,“ tulis salah seorang mahasiswa di Yangoon, ibu kota Myanmar.
Lainnya menulis, “Kami yakin Aung San Suu Kyi tidak akan gegabah. Ia tahu Rohingya adalah ancaman masa depan negara dan agama kami.“ Pe Kyaw Htin, seorang mahasiswa di Yangoon, menulis, “Siapa pun yang menerima Rohingya sebagai bagian dari Myanmar, akan menjadi musuh kami.“
Tidak ada yang tahu berapa jumlah Muslim Rohingya di Arakan atau Rakhine State. Perhitungan badan-badan internasional menyebutkan, Muslim Rohingya berjumlah antara 690 ribu sampai 1,5 juta. Namun, organisasi Muslim Rohingya di luar negeri mengklaim jumlah lebih dari dua juta.
Yang pasti, Rohingya pernah menjadi minoritas terbesar di Myanmar. Sampai 1962, ketika rezim di Yangoon--dulu bernama Rangoon-masih mengakui mereka sebagai bagian integral Myanmar (dulu Burma), jumlah mereka melebihi Rakhine, komunitas pemeluk Buddha di Arakan.
Selepas 1962, setelah serangkaian pembantaian, pembatasan kelahiran, eksodus besar-besaran hampir setiap tahun, Muslim Rohingya mengalami penurunan drastis. Banyak dari mereka melarikan diri lewat laut menuju Australia, Amerika, atau terdampar di banyak negara lainnya.
Pada awal kemerdekaan, Jendeal Aung San masih melihat Muslim Rohingya sebagai minoritas strategis yang harus dirangkul sebagai upaya melemahkan posisi Inggris. Un Nu yang berkuasa di Myanmar sampai 1962 merasa perlu merangkul Muslim Rohingya dan memanfaatkan kekuatan ekonominya.
Setelah Un Nu terguling dan Jenderal Ne Win memimpin Myanmar, dimulailah kampanye pengingkaran Muslim Rohingya sebagai bagian Myanmar. Kampanye yang disertai pembantaian sistematis berlangsung sedemikian masif dari tahun ke tahun.
Kampanye masif itu sebagai bagian dari politik xenofobia dan Burmanisasi sukses menanamkan kebencian terhadap Muslim Rohingya di belakang kepala setiap anakanak Myanmar yang baru lahir. Dalam situasi seperti ini sangat tidak mungkin bagi Aung San Suu Kyi yang relatif berjuang untuk menegakkan politik dinasti menyelamatkan Muslim Rohingya.
Adalah tidak keliru jika Medicines san Frontiers, sebuah LSM kesehatan asal Prancis, menempatkan Muslim Rohingya sebagai satu dari 10 etnis minoritas di dunia yang berada dalam bahaya kepunahan.
*REPUBLIKA (4/7/2012, Teraju)
No comments for "MUSLIM ROHINGYA Dilema Aung San Suu Kyi"!
Posting Komentar