Oleh M Anis Matta*
Ada perubahan yang sedang terjadi diam-diam di tengah semua kegaduhan politik hari ini yaitu perubahan komposisi demografi dan karakteristik masyarakat yang pada gilirannya nanti akan mempengaruhi lanskap politik pada Pemilu 2014.
Komposisi penduduk mulai condong ke usia muda, bahkan didominasi oleh penduduk berusia 45 tahun ke bawah. Proyeksi demografis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2014 ini angka usia produktif (15-64 tahun) mencapai sekitar 65%. Penduduk berusia muda ini memiliki tingkat pendidikan dan penghasilan yang cukup tinggi. Tentu saja, Indonesia telah masuk ke ambang pendapatan per kapita USD3.000 sejak 2011. Karakter lain dari kelompok ini koneksi ke dunia luar melalui internet (well connected). Diperkirakan kurang-lebih 60 juta orang Indonesia terhubung dengan social media. Angka itu sama dengan hampir 25% dari penduduk Indonesia.
Native Democracy
Karakter lain yang khas di Indonesia dewasa ini adalah kelompok yang saya sebut sebagai “native democracy”. Mereka adalah generasi muda yang hanya merasakan demokrasi sejak dewasa. Mereka tumbuh remaja dengan menyaksikan pemilihan presiden langsung, iklan politik di media, dan kebebasan berpendapat hampir di mana saja. Mereka tidak memiliki referensi kehidupan dalam suasana otoriter Orde Baru, di mana pers dibungkam, partai politik dibonsai, serta pemilu yang semata menjadi “pesta” bagi penguasa, bukan pesta demokrasi yang sebenarnya.
Kelompok “native democracy” ini berbeda dengan “kakaknya” yang lahir pada awal Orde Baru (akhir 1960-an atau awal 1970- an) yang menyaksikan runtuhnya Tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet ketika remaja. Sebagian dari anak sulung Orde Baru ini menjadi pelaku ketika gerakan Reformasi bergulir karena mereka sedang berada pada usia pemuda atau mahasiswa. Mereka merekam suasana otoriter masa lalu dan melihat situasi demokratis sekarang sebagai suatu pencapaian, sementara adiknya melihat kebebasan hari ini adalah sesuatu yang terberi (given).
Orientasi yang Berubah
Dari perjalanan sejarah, kita mencatat bahwa pencapaian terbesar para pendiri bangsa dan pemerintahan pascakemerdekaan di bawah Bung Karno adalah pembentukan konstitusi Indonesia sebagai negara-bangsamodern. Namun, paradigma “politik sebagai panglima” di era ini menyebabkan negara tidak punya perhatian dan kemampuan untuk melakukan pembangunan sosial dan ekonomi. Orde Baru yang datang sebagaiantitesisOrdeLamamenempatkan pembangunan ekonomi, dalam arti peraihan kesejahteraan material, sebagai fokus dan basis legitimasi.
Namun, karena stabilitas politik merupakan premis bagi pembangunan ekonomi, proses penguatan lembaga negara dilakukan dengan menjadikan militer sebagai “brain and backbone” negara, sementara kekuatan sipil terpinggirkan, khususnya partai politik. Era Reformasi mengalihkan perhatian kita dari politik dan ekonomi ke masyarakat (society). Yang terjadi selama 15 tahun belakangan ini adalah penguatan masyarakat sipil dengan empat pranata utama: kampus, media, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan partai politik.
Inilah yang kemudian menciptakan keseimbangan baru dalam hubungan antara negara, pasar dan masyarakat sipil. Bersamaan dengan beralihnya pusat perhatian kita pada society, yang berdampak pada penguatan masyarakat sipil, kita mendapatkan berkah dari Tuhan berupa “bonus demografi” di mana komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh usia produktif. Rasio ketergantungan (dependency ratio) menurun karena orang tidak produktif (orang tua dan anakanak) yang harus ditanggung oleh penduduk produktif semakin kecil sampai titik tertentu.
Proyeksi demografis BPS menunjukkan bahwa dividen ini mencapai puncaknya pada 2020, ketika penduduk berusia produktif (15-64 tahun) mencapai sekitar 70% dari populasi. Dampak paling besar akibat pergerakan dari politik ke ekonomi ke masyarakat ini adalah berubahnya tujuan pertanggungjawaban politik dan ekonomi. Di era ini masyarakat akan menjadi “panglima” bagi politik dan ekonomi. Karena itu, negara sebagai integrator bagi semua aktivitas politik dan pasar sebagai integrator bagi semua aktivitas ekonomi bukan hanya dituntut untuk lebih terbuka dan transparan, melainkan juga dituntut untuk mempunyai tanggung jawab sosial.
Masyarakat menjadi faktor pembentuk nilai utama bagi negara dan pasar. Jargon era ini adalah: society first! Pertanyaan yang berkembang, apa orientasi hidup masyarakat baru ini? Ternyata jawabnya adalah kualitas hidup. Kesejahteraan adalah impian, tapi ia tak lagi sendiri. Kesejahteraan bergeser dari tujuan menjadi salah satu faktor pembentuk kualitas hidup. Itulah yang kita baca dari perubahan lanskap nilai dan moral masyarakat baru tersebut.
Di samping nilai-nilai lama yang masih kuat bertahan, yaitu agama dan gotong-royong, muncul nilai baru yang menyertai dan mengimbangi kedua nilai tersebut yaitu tendensi pada kekuasaan (power) dan prestasi (achievement). Agama memberi orientasi hidup, menjadi sumber moral sementara pengetahuan memberi mereka kapasitas dan sumber produktivitas. Kesejahteraan adalah output dari kedua hal tersebut yang berfungsi sebagai pembentuk kualitas hidup secara keseluruhan.
Implikasi
Implikasi dari lahirnya masyarakat baru ini adalah kebutuhan hadirnya representasi politik yang melampaui polarisasi politik lama. Cara pandang dikotomis Islam vs nasionalis— kemudian Islam masih dibelah lagi menjadi tradisionalis vs modernis—menjadi usang dan tidak relevan. Pada masyarakat baru ini, agama adalah identitas, bukan ideologi. Kehidupan mereka relatif lebih religius, tetapi tidak otomatis berkorelasi dengan pilihan-pilihan politis-ideologis.
Kita harus mencari ide tentang “the next Indonesia” yang benar-benar mewakili ruh zaman, mewakili orang-orang yang berumur di bawah 45 tahun. Karena itu, seperti sudah saya sampaikan dalam banyak kesempatan, Pemilu 2014 bukan hanya menjadi momentum politik demokrasi, berupa peralihan kekuasaan, melainkan momentum peralihan gelombang sejarah Indonesia. Partai politik harus menyiapkan strategi komunikasi baru karena nantinya hubungan antara pemerintah (yang merupakan hasil kontestasi pemilu) dan publik akan berlangsung pada kesepakatan tingkatan layanan (service level agreement) dari kedua pihak;
layanan apa yang diminta publik dan kewajiban apa (seperti partisipasi atau pajak) yang harus diserahkan publik untuk mendapat layanan itu. Partai politik harus menyiapkan dan menyampaikan draf kontrak layanan itu. Pada skala yang lebih besar, tugas negara bagi masyarakat baru tersebut adalah memfasilitasi masyarakat bertumbuh secara maksimal dengan semua potensi mereka. Fungsi fasilitator pertumbuhan sosial itulah yang akan mencegah terjadi ketegangan diametrak antara negara dan masyarakat sipil yang banyak terjadi di negaranegara demokrasi baru.
Semua berkah yang diberikan Tuhan itu, seperti sumber daya alam dan bonus demografi, hanya akan punya makna jika dikelola secara baik. Jika tidak, berkah itu akan hilang percuma dan kita kehilangan momentum untuk membuat lompatan menjadi negara yang sejahtera. Perubahan ini yang akan membuat Pemilu 2014 menjadi menarik dan menantang bagi partai politik. Mudah-mudahan lebih menarik dari Piala Dunia FIFA yang digelar di Brasil! ●
*Koran Sindo (Jumat, 20/12/2013)
Ada perubahan yang sedang terjadi diam-diam di tengah semua kegaduhan politik hari ini yaitu perubahan komposisi demografi dan karakteristik masyarakat yang pada gilirannya nanti akan mempengaruhi lanskap politik pada Pemilu 2014.
Komposisi penduduk mulai condong ke usia muda, bahkan didominasi oleh penduduk berusia 45 tahun ke bawah. Proyeksi demografis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2014 ini angka usia produktif (15-64 tahun) mencapai sekitar 65%. Penduduk berusia muda ini memiliki tingkat pendidikan dan penghasilan yang cukup tinggi. Tentu saja, Indonesia telah masuk ke ambang pendapatan per kapita USD3.000 sejak 2011. Karakter lain dari kelompok ini koneksi ke dunia luar melalui internet (well connected). Diperkirakan kurang-lebih 60 juta orang Indonesia terhubung dengan social media. Angka itu sama dengan hampir 25% dari penduduk Indonesia.
Native Democracy
Karakter lain yang khas di Indonesia dewasa ini adalah kelompok yang saya sebut sebagai “native democracy”. Mereka adalah generasi muda yang hanya merasakan demokrasi sejak dewasa. Mereka tumbuh remaja dengan menyaksikan pemilihan presiden langsung, iklan politik di media, dan kebebasan berpendapat hampir di mana saja. Mereka tidak memiliki referensi kehidupan dalam suasana otoriter Orde Baru, di mana pers dibungkam, partai politik dibonsai, serta pemilu yang semata menjadi “pesta” bagi penguasa, bukan pesta demokrasi yang sebenarnya.
Kelompok “native democracy” ini berbeda dengan “kakaknya” yang lahir pada awal Orde Baru (akhir 1960-an atau awal 1970- an) yang menyaksikan runtuhnya Tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet ketika remaja. Sebagian dari anak sulung Orde Baru ini menjadi pelaku ketika gerakan Reformasi bergulir karena mereka sedang berada pada usia pemuda atau mahasiswa. Mereka merekam suasana otoriter masa lalu dan melihat situasi demokratis sekarang sebagai suatu pencapaian, sementara adiknya melihat kebebasan hari ini adalah sesuatu yang terberi (given).
Orientasi yang Berubah
Dari perjalanan sejarah, kita mencatat bahwa pencapaian terbesar para pendiri bangsa dan pemerintahan pascakemerdekaan di bawah Bung Karno adalah pembentukan konstitusi Indonesia sebagai negara-bangsamodern. Namun, paradigma “politik sebagai panglima” di era ini menyebabkan negara tidak punya perhatian dan kemampuan untuk melakukan pembangunan sosial dan ekonomi. Orde Baru yang datang sebagaiantitesisOrdeLamamenempatkan pembangunan ekonomi, dalam arti peraihan kesejahteraan material, sebagai fokus dan basis legitimasi.
Namun, karena stabilitas politik merupakan premis bagi pembangunan ekonomi, proses penguatan lembaga negara dilakukan dengan menjadikan militer sebagai “brain and backbone” negara, sementara kekuatan sipil terpinggirkan, khususnya partai politik. Era Reformasi mengalihkan perhatian kita dari politik dan ekonomi ke masyarakat (society). Yang terjadi selama 15 tahun belakangan ini adalah penguatan masyarakat sipil dengan empat pranata utama: kampus, media, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan partai politik.
Inilah yang kemudian menciptakan keseimbangan baru dalam hubungan antara negara, pasar dan masyarakat sipil. Bersamaan dengan beralihnya pusat perhatian kita pada society, yang berdampak pada penguatan masyarakat sipil, kita mendapatkan berkah dari Tuhan berupa “bonus demografi” di mana komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh usia produktif. Rasio ketergantungan (dependency ratio) menurun karena orang tidak produktif (orang tua dan anakanak) yang harus ditanggung oleh penduduk produktif semakin kecil sampai titik tertentu.
Proyeksi demografis BPS menunjukkan bahwa dividen ini mencapai puncaknya pada 2020, ketika penduduk berusia produktif (15-64 tahun) mencapai sekitar 70% dari populasi. Dampak paling besar akibat pergerakan dari politik ke ekonomi ke masyarakat ini adalah berubahnya tujuan pertanggungjawaban politik dan ekonomi. Di era ini masyarakat akan menjadi “panglima” bagi politik dan ekonomi. Karena itu, negara sebagai integrator bagi semua aktivitas politik dan pasar sebagai integrator bagi semua aktivitas ekonomi bukan hanya dituntut untuk lebih terbuka dan transparan, melainkan juga dituntut untuk mempunyai tanggung jawab sosial.
Masyarakat menjadi faktor pembentuk nilai utama bagi negara dan pasar. Jargon era ini adalah: society first! Pertanyaan yang berkembang, apa orientasi hidup masyarakat baru ini? Ternyata jawabnya adalah kualitas hidup. Kesejahteraan adalah impian, tapi ia tak lagi sendiri. Kesejahteraan bergeser dari tujuan menjadi salah satu faktor pembentuk kualitas hidup. Itulah yang kita baca dari perubahan lanskap nilai dan moral masyarakat baru tersebut.
Di samping nilai-nilai lama yang masih kuat bertahan, yaitu agama dan gotong-royong, muncul nilai baru yang menyertai dan mengimbangi kedua nilai tersebut yaitu tendensi pada kekuasaan (power) dan prestasi (achievement). Agama memberi orientasi hidup, menjadi sumber moral sementara pengetahuan memberi mereka kapasitas dan sumber produktivitas. Kesejahteraan adalah output dari kedua hal tersebut yang berfungsi sebagai pembentuk kualitas hidup secara keseluruhan.
Implikasi
Implikasi dari lahirnya masyarakat baru ini adalah kebutuhan hadirnya representasi politik yang melampaui polarisasi politik lama. Cara pandang dikotomis Islam vs nasionalis— kemudian Islam masih dibelah lagi menjadi tradisionalis vs modernis—menjadi usang dan tidak relevan. Pada masyarakat baru ini, agama adalah identitas, bukan ideologi. Kehidupan mereka relatif lebih religius, tetapi tidak otomatis berkorelasi dengan pilihan-pilihan politis-ideologis.
Kita harus mencari ide tentang “the next Indonesia” yang benar-benar mewakili ruh zaman, mewakili orang-orang yang berumur di bawah 45 tahun. Karena itu, seperti sudah saya sampaikan dalam banyak kesempatan, Pemilu 2014 bukan hanya menjadi momentum politik demokrasi, berupa peralihan kekuasaan, melainkan momentum peralihan gelombang sejarah Indonesia. Partai politik harus menyiapkan strategi komunikasi baru karena nantinya hubungan antara pemerintah (yang merupakan hasil kontestasi pemilu) dan publik akan berlangsung pada kesepakatan tingkatan layanan (service level agreement) dari kedua pihak;
layanan apa yang diminta publik dan kewajiban apa (seperti partisipasi atau pajak) yang harus diserahkan publik untuk mendapat layanan itu. Partai politik harus menyiapkan dan menyampaikan draf kontrak layanan itu. Pada skala yang lebih besar, tugas negara bagi masyarakat baru tersebut adalah memfasilitasi masyarakat bertumbuh secara maksimal dengan semua potensi mereka. Fungsi fasilitator pertumbuhan sosial itulah yang akan mencegah terjadi ketegangan diametrak antara negara dan masyarakat sipil yang banyak terjadi di negaranegara demokrasi baru.
Semua berkah yang diberikan Tuhan itu, seperti sumber daya alam dan bonus demografi, hanya akan punya makna jika dikelola secara baik. Jika tidak, berkah itu akan hilang percuma dan kita kehilangan momentum untuk membuat lompatan menjadi negara yang sejahtera. Perubahan ini yang akan membuat Pemilu 2014 menjadi menarik dan menantang bagi partai politik. Mudah-mudahan lebih menarik dari Piala Dunia FIFA yang digelar di Brasil! ●
*Koran Sindo (Jumat, 20/12/2013)
On Label: MATERI TARBIYAH, PKS | 0 Comment
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
“Tidak mungkin lahir anak yang shalih jika orangtua tidak menshalihkan diri dulu.” Ini kalimat yang tampaknya benar, tetapi ada hal serius yang perlu kita khawatirkan.
Pertama, hendaklah kita tidak menafikan apa yang masih mungkin terjadi. Sama halnya, jangan memastikan apa-apa yang memang tidak dipastikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, jika tidak ada peluang bagi manusia untuk berubah, baik di masa kecil maupun sesudah dewasa, lalu apa gunanya pendidikan dan dakwah?
Berapa banyak orang-orang shalih yang tinggi kemuliaan imannya justru lahir dari orangtua yang salah dan bahkan amat besar kemungkarannya. Bukankah Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalaam, bapak dari para nabi, justru lahir dari orangtua pembuat patung berhala? Bukankah kita juga mendapati di zaman kita maupun di masa silam orang-orang shalih yang juga terlahir dari keluarga yang salah? Ini semua menunjukkan bahwa harapan lahirnya anak-anak shalih dan bahkan menjadi pejuang dakwah yang paling gigih dari keluarga yang bahkan paling keras permusuhannya dengan agama kita ini, senantiasa terbuka lebar.
Ada yang berucap, kalau orangtuanya saja tidak membaca Al-Qur’an, bagaimana mungkin ia berharap anak-anaknya menjadi orang yang mencintai Al-Qur’an dan fasih membacanya? Ini sepintas benar, tetapi tidak berdasar. Banyak ‘alim dalam agama ini yang justru lahir dari keluarga yang sangat awam. Hampir-hampir tak mengenal agama ini.
Setiap kita memang harus berusaha untuk menjadi pribadi yang shalih. Dan kepada Allah Ta’ala kita berharap anak-anak yang shalih dan barakah. Kita perlu berjuang keras untuk menjadi orang yang shalih karena ketundukan kita kepada Allah Ta’ala. Bukan semata agar anak sukses, meskipun tentu saja ini sangat kita harapkan.
“Kalau orangtuanya shalih, pasti dan pasti anak-anaknya akan shalih.”
Apakah kalian mengira Nabi Nuh dan Luth ‘alaihimas salam tidak shalih? Keduanya adalah nabi. Ibadahnya sudah pasti bagus dan akhlaknya jelas terpuji. Teladan? Jangan ditanya lagi. Tetapi putra kedua Nabiyullah yang mulia itu terlepas dari iman dan jatuh pada kekafiran.
Aku nasehatkan kepada diriku sendiri yang bodoh ini, juga kepada para trainer yang amat memukau, jangan pastikan yang Allah Ta’ala tak pastikan! Jangan pula menisbikan apa-apa yang Allah Ta’ala sudah pastikan. Jika sesuatu itu dipastikan oleh Allah Ta’ala, maka tak patut kita meragukannya. Yang perlu kita pahami adalah sebab-sebab di balik buruknya keturunan dari orang-orang yang baik. Pun, baiknya keturunan dari orang buruk.
Bertawakkallah kepada Allah Ta’ala. Jangan bertawakkal kepada sebab. Sepintas sama, tapi keduanya sangat jauh berbeda. Do’a itu adalah pinta kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kita memohon penuh harap dan takut. Adakalanya dikabulkan seketika, adakalanya ditangguhkan dan adakalanya menjadi simpanan kebaikan di akhirat. Di dunia tak dikabulkan, tetapi di akhirat menjadi kebaikan. Ini semua adalah hak mutlak Allah Ta’ala untuk menentukan. Bukan ditentukan oleh jenis ucapan do’a maupun teknik (yang belakangan berkembang). Maka bertawakkallah kepada Allah Ta’ala. Bukan kepada sebab. Apalagi yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Teringat perkataan seseorang di sebuah majelis yang memastikan sesuatu, padahal ia tidak punya kuasa untuk itu. Miris sekali mendengarnya. Ia berkata dalam sebuah majelis tentang jodoh, “Seret jodoh, amalkan ini sekian kali, pasti jodohnya akan segera datang. Saya jamin.”
Tertegun saya mendengar perkataannya yang berani memastikan apa yang ia tidak memiliki kekuasaan untuk mengaturnya. Dan terhenyaklah saya ketika mendengar ia bercerai dari suaminya. Betapa bertentangan apa yang ia katakan dengan apa yang menimpanya. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal yang demikian disebabkan kecerobohan kita bertutur. Di luar itu, ada masalah terkait dengan amalan yang disebut bersebab tidak jelas dasar dan tidak adanya tuntunan.
“Pengen punya anak tapi gak dapet-dapet? Amalkan ini dan ini. Pasti deh…”
Ini termasuk perkataan bathil yang melampaui batas. Ia memastikan apa yang menjadi hak prerogatif Allah Ta’ala sepenuhnya dan termasuk perkara yangghaib. Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi. Lebih-lebih yang mengatakan sendiri tak kunjung punya anak, lalu bagaimana mungkin ia memastikannya? Tentu saja tak punya anak disebabkan Allah Ta’ala tak menganugerahinya bukanlah aib. Yang rusak adalah jika ia sendiri tak kuasa menentukan takdir atas dirinya, tetapi berani memastikan takdir atas orang lain. Na’udzubillahi mn dzaalik.
Jika ada di antara kalian yang berkata semacam itu dan Allah Ta’ala beri teguran langsung semisal perceraian, bersyukur dan bertaubatlah. Bersyukur karena Allah Ta’ala memberi peringatan. Tidak membiarkan dalam kelalaian yang bertambah-tambah. Bertaubat atas salah yang terjadi.
Sepanjang pengetahuan yang terbatas, di antara tafsir “يخرج الحي من الميت ويخرج الميت من الحي” adalah Allah Ta’ala munculkan orang-orang shalih dari para pendahulunya yang ingkar; dan sebaliknya lahirnya orang-orang ingkar dari para pendahulunya yang shalih.
Teladan saja tidak cukup. Bukankah Nabi Luth dan Nabi Nuh ‘alaihimas salaam adalah sebaik-baik teladan bagi keluarganya? Maka, kita perlu senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala perlindungan atas anak-anak kita dan keturunan kita seluruhnya. Juga atas diri kita. Kita berdo’a sepenuh pinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan menjaga adab-adabnya seraya bertawakkal kepada-Nya. Bukan kepada trik berdo’a.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala, “رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ Tuhanku, karuniailah aku (seorang) anak yang termasuk orang-orang shalih.” (QS. Ash-Shaaffaat, 37: 100).
Kita juga memohon untuk diri kita kepada Allah Ta’ala istri/suami serta keturunan yang menjadi penyejuk mata; di dunia hingga akhirat:
“رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا”
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqaan, 25: 74).
Sudahkah engkau do’akan istri dan anak-anakmu?
Kembali pada perbincangan awal. Atas setiap perkataan, takarlah adakah ia bersesuaian dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau menyelisihinya? Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabuLlah, yakni Al-Qur’anul Karim, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Janganlah karena ingin menunjukkan dirimu mampu memberi solusi yang pasti ampuh, lalu engkau melalaikan apa yang digariskan agama ini.
Jagalah lisanmu, wahai diriku, dan ingatkan saudaramu agar tak tergelincir pada perkataan indah yang menjerumuskan ke dalam api yang menyala. Ingatlah perkataan Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
“إِنَّ الْعَبْدَ يَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَزِلُّ بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ”
“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kata yang tak ia periksa (kebenarannya sebelum berucap), maka karena satu kata tersebut dia dapat terjerumus ke dalam neraka yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari & Muslim).
Alangkah sedikit ilmu, alangkah banyak yang harus diperbincangkan. Maafkan. Semoga yang benar-benar berilmu berkenan menasehatkan.*
Twitter, @kupinang
“Tidak mungkin lahir anak yang shalih jika orangtua tidak menshalihkan diri dulu.” Ini kalimat yang tampaknya benar, tetapi ada hal serius yang perlu kita khawatirkan.
Pertama, hendaklah kita tidak menafikan apa yang masih mungkin terjadi. Sama halnya, jangan memastikan apa-apa yang memang tidak dipastikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, jika tidak ada peluang bagi manusia untuk berubah, baik di masa kecil maupun sesudah dewasa, lalu apa gunanya pendidikan dan dakwah?
Berapa banyak orang-orang shalih yang tinggi kemuliaan imannya justru lahir dari orangtua yang salah dan bahkan amat besar kemungkarannya. Bukankah Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalaam, bapak dari para nabi, justru lahir dari orangtua pembuat patung berhala? Bukankah kita juga mendapati di zaman kita maupun di masa silam orang-orang shalih yang juga terlahir dari keluarga yang salah? Ini semua menunjukkan bahwa harapan lahirnya anak-anak shalih dan bahkan menjadi pejuang dakwah yang paling gigih dari keluarga yang bahkan paling keras permusuhannya dengan agama kita ini, senantiasa terbuka lebar.
Ada yang berucap, kalau orangtuanya saja tidak membaca Al-Qur’an, bagaimana mungkin ia berharap anak-anaknya menjadi orang yang mencintai Al-Qur’an dan fasih membacanya? Ini sepintas benar, tetapi tidak berdasar. Banyak ‘alim dalam agama ini yang justru lahir dari keluarga yang sangat awam. Hampir-hampir tak mengenal agama ini.
Setiap kita memang harus berusaha untuk menjadi pribadi yang shalih. Dan kepada Allah Ta’ala kita berharap anak-anak yang shalih dan barakah. Kita perlu berjuang keras untuk menjadi orang yang shalih karena ketundukan kita kepada Allah Ta’ala. Bukan semata agar anak sukses, meskipun tentu saja ini sangat kita harapkan.
“Kalau orangtuanya shalih, pasti dan pasti anak-anaknya akan shalih.”
Apakah kalian mengira Nabi Nuh dan Luth ‘alaihimas salam tidak shalih? Keduanya adalah nabi. Ibadahnya sudah pasti bagus dan akhlaknya jelas terpuji. Teladan? Jangan ditanya lagi. Tetapi putra kedua Nabiyullah yang mulia itu terlepas dari iman dan jatuh pada kekafiran.
Aku nasehatkan kepada diriku sendiri yang bodoh ini, juga kepada para trainer yang amat memukau, jangan pastikan yang Allah Ta’ala tak pastikan! Jangan pula menisbikan apa-apa yang Allah Ta’ala sudah pastikan. Jika sesuatu itu dipastikan oleh Allah Ta’ala, maka tak patut kita meragukannya. Yang perlu kita pahami adalah sebab-sebab di balik buruknya keturunan dari orang-orang yang baik. Pun, baiknya keturunan dari orang buruk.
Bertawakkallah kepada Allah Ta’ala. Jangan bertawakkal kepada sebab. Sepintas sama, tapi keduanya sangat jauh berbeda. Do’a itu adalah pinta kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Kita memohon penuh harap dan takut. Adakalanya dikabulkan seketika, adakalanya ditangguhkan dan adakalanya menjadi simpanan kebaikan di akhirat. Di dunia tak dikabulkan, tetapi di akhirat menjadi kebaikan. Ini semua adalah hak mutlak Allah Ta’ala untuk menentukan. Bukan ditentukan oleh jenis ucapan do’a maupun teknik (yang belakangan berkembang). Maka bertawakkallah kepada Allah Ta’ala. Bukan kepada sebab. Apalagi yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Teringat perkataan seseorang di sebuah majelis yang memastikan sesuatu, padahal ia tidak punya kuasa untuk itu. Miris sekali mendengarnya. Ia berkata dalam sebuah majelis tentang jodoh, “Seret jodoh, amalkan ini sekian kali, pasti jodohnya akan segera datang. Saya jamin.”
Tertegun saya mendengar perkataannya yang berani memastikan apa yang ia tidak memiliki kekuasaan untuk mengaturnya. Dan terhenyaklah saya ketika mendengar ia bercerai dari suaminya. Betapa bertentangan apa yang ia katakan dengan apa yang menimpanya. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal yang demikian disebabkan kecerobohan kita bertutur. Di luar itu, ada masalah terkait dengan amalan yang disebut bersebab tidak jelas dasar dan tidak adanya tuntunan.
“Pengen punya anak tapi gak dapet-dapet? Amalkan ini dan ini. Pasti deh…”
Ini termasuk perkataan bathil yang melampaui batas. Ia memastikan apa yang menjadi hak prerogatif Allah Ta’ala sepenuhnya dan termasuk perkara yangghaib. Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi. Lebih-lebih yang mengatakan sendiri tak kunjung punya anak, lalu bagaimana mungkin ia memastikannya? Tentu saja tak punya anak disebabkan Allah Ta’ala tak menganugerahinya bukanlah aib. Yang rusak adalah jika ia sendiri tak kuasa menentukan takdir atas dirinya, tetapi berani memastikan takdir atas orang lain. Na’udzubillahi mn dzaalik.
Jika ada di antara kalian yang berkata semacam itu dan Allah Ta’ala beri teguran langsung semisal perceraian, bersyukur dan bertaubatlah. Bersyukur karena Allah Ta’ala memberi peringatan. Tidak membiarkan dalam kelalaian yang bertambah-tambah. Bertaubat atas salah yang terjadi.
Sepanjang pengetahuan yang terbatas, di antara tafsir “يخرج الحي من الميت ويخرج الميت من الحي” adalah Allah Ta’ala munculkan orang-orang shalih dari para pendahulunya yang ingkar; dan sebaliknya lahirnya orang-orang ingkar dari para pendahulunya yang shalih.
Teladan saja tidak cukup. Bukankah Nabi Luth dan Nabi Nuh ‘alaihimas salaam adalah sebaik-baik teladan bagi keluarganya? Maka, kita perlu senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala perlindungan atas anak-anak kita dan keturunan kita seluruhnya. Juga atas diri kita. Kita berdo’a sepenuh pinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan menjaga adab-adabnya seraya bertawakkal kepada-Nya. Bukan kepada trik berdo’a.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala, “رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ Tuhanku, karuniailah aku (seorang) anak yang termasuk orang-orang shalih.” (QS. Ash-Shaaffaat, 37: 100).
Kita juga memohon untuk diri kita kepada Allah Ta’ala istri/suami serta keturunan yang menjadi penyejuk mata; di dunia hingga akhirat:
“رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا”
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqaan, 25: 74).
Sudahkah engkau do’akan istri dan anak-anakmu?
Kembali pada perbincangan awal. Atas setiap perkataan, takarlah adakah ia bersesuaian dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau menyelisihinya? Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabuLlah, yakni Al-Qur’anul Karim, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Janganlah karena ingin menunjukkan dirimu mampu memberi solusi yang pasti ampuh, lalu engkau melalaikan apa yang digariskan agama ini.
Jagalah lisanmu, wahai diriku, dan ingatkan saudaramu agar tak tergelincir pada perkataan indah yang menjerumuskan ke dalam api yang menyala. Ingatlah perkataan Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
“إِنَّ الْعَبْدَ يَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا، يَزِلُّ بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ”
“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kata yang tak ia periksa (kebenarannya sebelum berucap), maka karena satu kata tersebut dia dapat terjerumus ke dalam neraka yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari & Muslim).
Alangkah sedikit ilmu, alangkah banyak yang harus diperbincangkan. Maafkan. Semoga yang benar-benar berilmu berkenan menasehatkan.*
Twitter, @kupinang
On Label: MATERI TARBIYAH, RUMAHKU SURGAKU | 2 Comments
Artikel Populer
Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah
FB _Q
Diberdayakan oleh Blogger.
Arsip Blog
-
▼
2013
(33)
-
▼
Desember
(10)
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba...
- Masyarakat Baru Indonesia
- Ringan Di Ucap Berat Di Hisab
-
▼
Desember
(10)