Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
“Tidak mungkin lahir anak yang shalih jika orangtua tidak menshalihkan diri dulu.” Ini kalimat yang tampaknya benar, tetapi ada hal serius yang perlu kita khawatirkan.
Pertama, hendaklah kita tidak menafikan apa yang masih
mungkin terjadi. Sama halnya, jangan memastikan apa-apa yang memang
tidak dipastikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, jika tidak ada peluang bagi manusia untuk berubah,
baik di masa kecil maupun sesudah dewasa, lalu apa gunanya pendidikan
dan dakwah?
Berapa banyak orang-orang shalih yang tinggi kemuliaan imannya justru
lahir dari orangtua yang salah dan bahkan amat besar kemungkarannya.
Bukankah Nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalaam, bapak dari para nabi, justru
lahir dari orangtua pembuat patung berhala? Bukankah kita juga
mendapati di zaman kita maupun di masa silam orang-orang shalih yang
juga terlahir dari keluarga yang salah? Ini semua menunjukkan bahwa
harapan lahirnya anak-anak shalih dan bahkan menjadi pejuang dakwah yang
paling gigih dari keluarga yang bahkan paling keras permusuhannya
dengan agama kita ini, senantiasa terbuka lebar.
Ada yang berucap, kalau orangtuanya saja tidak membaca Al-Qur’an,
bagaimana mungkin ia berharap anak-anaknya menjadi orang yang mencintai
Al-Qur’an dan fasih membacanya? Ini sepintas benar, tetapi tidak
berdasar. Banyak ‘alim dalam agama ini yang justru lahir dari keluarga yang sangat awam. Hampir-hampir tak mengenal agama ini.
Setiap kita memang harus berusaha untuk menjadi pribadi yang shalih.
Dan kepada Allah Ta’ala kita berharap anak-anak yang shalih dan barakah.
Kita perlu berjuang keras untuk menjadi orang yang shalih karena
ketundukan kita kepada Allah Ta’ala. Bukan semata agar anak sukses, meskipun tentu saja ini sangat kita harapkan.
“Kalau orangtuanya shalih, pasti dan pasti anak-anaknya akan shalih.”
Apakah kalian mengira Nabi Nuh dan Luth ‘alaihimas salam tidak
shalih? Keduanya adalah nabi. Ibadahnya sudah pasti bagus dan akhlaknya
jelas terpuji. Teladan? Jangan ditanya lagi. Tetapi putra kedua
Nabiyullah yang mulia itu terlepas dari iman dan jatuh pada kekafiran.
Aku nasehatkan kepada diriku sendiri yang bodoh ini, juga kepada para trainer
yang amat memukau, jangan pastikan yang Allah Ta’ala tak pastikan!
Jangan pula menisbikan apa-apa yang Allah Ta’ala sudah pastikan. Jika
sesuatu itu dipastikan oleh Allah Ta’ala, maka tak patut kita
meragukannya. Yang perlu kita pahami adalah sebab-sebab di balik
buruknya keturunan dari orang-orang yang baik. Pun, baiknya keturunan
dari orang buruk.
Bertawakkallah kepada Allah Ta’ala. Jangan bertawakkal kepada sebab. Sepintas sama, tapi
keduanya sangat jauh berbeda. Do’a itu adalah pinta kita kepada Allah
‘Azza wa Jalla. Kita memohon penuh harap dan takut. Adakalanya
dikabulkan seketika, adakalanya ditangguhkan dan adakalanya menjadi
simpanan kebaikan di akhirat. Di dunia tak dikabulkan, tetapi di akhirat
menjadi kebaikan. Ini semua adalah hak mutlak Allah Ta’ala untuk
menentukan. Bukan ditentukan oleh jenis ucapan do’a maupun teknik (yang
belakangan berkembang). Maka bertawakkallah kepada Allah Ta’ala. Bukan
kepada sebab. Apalagi yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Teringat perkataan seseorang di sebuah majelis yang memastikan
sesuatu, padahal ia tidak punya kuasa untuk itu. Miris sekali
mendengarnya. Ia berkata dalam sebuah majelis tentang jodoh, “Seret
jodoh, amalkan ini sekian kali, pasti jodohnya akan segera datang. Saya
jamin.”
Tertegun saya mendengar perkataannya yang berani memastikan apa yang
ia tidak memiliki kekuasaan untuk mengaturnya. Dan terhenyaklah saya
ketika mendengar ia bercerai dari suaminya. Betapa bertentangan apa yang
ia katakan dengan apa yang menimpanya. Semoga kita dijauhkan dari
hal-hal yang demikian disebabkan kecerobohan kita bertutur. Di luar itu,
ada masalah terkait dengan amalan yang disebut bersebab tidak jelas
dasar dan tidak adanya tuntunan.
“Pengen punya anak tapi gak dapet-dapet? Amalkan ini dan ini. Pasti deh…”
Ini termasuk perkataan bathil yang melampaui batas. Ia memastikan apa
yang menjadi hak prerogatif Allah Ta’ala sepenuhnya dan termasuk
perkara yangghaib. Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi.
Lebih-lebih yang mengatakan sendiri tak kunjung punya anak, lalu
bagaimana mungkin ia memastikannya? Tentu saja tak punya anak disebabkan
Allah Ta’ala tak menganugerahinya bukanlah aib. Yang rusak adalah jika
ia sendiri tak kuasa menentukan takdir atas dirinya, tetapi berani
memastikan takdir atas orang lain. Na’udzubillahi mn dzaalik.
Jika ada di antara kalian yang berkata semacam itu dan Allah Ta’ala
beri teguran langsung semisal perceraian, bersyukur dan bertaubatlah.
Bersyukur karena Allah Ta’ala memberi peringatan. Tidak membiarkan dalam
kelalaian yang bertambah-tambah. Bertaubat atas salah yang terjadi.
Sepanjang pengetahuan yang terbatas, di antara tafsir “يخرج الحي من
الميت ويخرج الميت من الحي” adalah Allah Ta’ala munculkan orang-orang
shalih dari para pendahulunya yang ingkar; dan sebaliknya lahirnya
orang-orang ingkar dari para pendahulunya yang shalih.
Teladan saja tidak cukup. Bukankah Nabi Luth dan Nabi Nuh ‘alaihimas
salaam adalah sebaik-baik teladan bagi keluarganya? Maka, kita perlu
senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala perlindungan atas anak-anak kita
dan keturunan kita seluruhnya. Juga atas diri kita. Kita berdo’a sepenuh
pinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan menjaga adab-adabnya seraya
bertawakkal kepada-Nya. Bukan kepada trik berdo’a.
Kita memohon kepada Allah Ta’ala, “رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Tuhanku, karuniailah aku (seorang) anak yang termasuk orang-orang
shalih.” (QS. Ash-Shaaffaat, 37: 100).
Kita juga memohon untuk diri kita kepada Allah Ta’ala istri/suami
serta keturunan yang menjadi penyejuk mata; di dunia hingga akhirat:
“رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا”
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan
keturunan kami sebagai penyejuk mata (kami), dan jadikanlah kami imam
bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqaan, 25: 74).
Sudahkah engkau do’akan istri dan anak-anakmu?
Kembali pada perbincangan awal. Atas setiap perkataan, takarlah
adakah ia bersesuaian dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau
menyelisihinya? Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabuLlah,
yakni Al-Qur’anul Karim, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Janganlah karena ingin
menunjukkan dirimu mampu memberi solusi yang pasti ampuh, lalu engkau
melalaikan apa yang digariskan agama ini.
Jagalah lisanmu, wahai diriku, dan ingatkan saudaramu agar tak
tergelincir pada perkataan indah yang menjerumuskan ke dalam api yang
menyala. Ingatlah perkataan Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa
sallam:
“إِنَّ الْعَبْدَ يَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا،
يَزِلُّ بِهَا إِلَى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
وَالمَغْرِبِ”
“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan satu kata yang tak
ia periksa (kebenarannya sebelum berucap), maka karena satu kata
tersebut dia dapat terjerumus ke dalam neraka yang lebih jauh daripada
jarak antara timur dan barat.” (HR. Bukhari & Muslim).
Alangkah sedikit ilmu, alangkah banyak yang harus diperbincangkan.
Maafkan. Semoga yang benar-benar berilmu berkenan menasehatkan.*
Twitter, @kupinang
Artikel Populer
Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah
FB _Q
Diberdayakan oleh Blogger.
Arsip Blog
-
▼
2013
(33)
-
▼
Desember
(10)
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba...
- Masyarakat Baru Indonesia
- Ringan Di Ucap Berat Di Hisab
-
▼
Desember
(10)
10 Februari 2014 pukul 21.04
folback ya om :)
artikelnya bagus-bagus..
10 Februari 2014 pukul 21.04
Folback ya om :)
artikelnya bagus-bagus..