Oleh M Anis Matta*
Ada perubahan yang
sedang terjadi diam-diam di tengah semua kegaduhan politik hari ini
yaitu perubahan komposisi demografi dan karakteristik masyarakat yang
pada gilirannya nanti akan mempengaruhi lanskap politik pada Pemilu
2014.
Komposisi penduduk mulai condong ke usia muda, bahkan didominasi oleh
penduduk berusia 45 tahun ke bawah. Proyeksi demografis Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan pada 2014 ini angka usia produktif (15-64
tahun) mencapai sekitar 65%. Penduduk berusia muda ini memiliki tingkat
pendidikan dan penghasilan yang cukup tinggi. Tentu saja, Indonesia
telah masuk ke ambang pendapatan per kapita USD3.000 sejak 2011.
Karakter lain dari kelompok ini koneksi ke dunia luar melalui internet
(well connected). Diperkirakan kurang-lebih 60 juta orang Indonesia
terhubung dengan social media. Angka itu sama dengan hampir 25% dari penduduk Indonesia.
Native Democracy
Karakter lain yang khas di Indonesia dewasa ini adalah kelompok yang
saya sebut sebagai “native democracy”. Mereka adalah generasi muda yang
hanya merasakan demokrasi sejak dewasa. Mereka tumbuh remaja dengan
menyaksikan pemilihan presiden langsung, iklan politik di media,
dan kebebasan berpendapat hampir di mana saja. Mereka tidak memiliki
referensi kehidupan dalam suasana otoriter Orde Baru, di mana pers
dibungkam, partai politik dibonsai, serta pemilu yang semata menjadi
“pesta” bagi penguasa, bukan pesta demokrasi yang sebenarnya.
Kelompok “native democracy” ini berbeda dengan “kakaknya” yang lahir
pada awal Orde Baru (akhir 1960-an atau awal 1970- an) yang menyaksikan
runtuhnya Tembok Berlin
dan bubarnya Uni Soviet ketika remaja. Sebagian dari anak sulung Orde
Baru ini menjadi pelaku ketika gerakan Reformasi bergulir karena mereka
sedang berada pada usia pemuda atau mahasiswa. Mereka merekam suasana
otoriter masa lalu dan melihat situasi demokratis sekarang sebagai suatu
pencapaian, sementara adiknya melihat kebebasan hari ini adalah sesuatu
yang terberi (given).
Orientasi yang Berubah
Dari perjalanan sejarah, kita mencatat bahwa pencapaian terbesar para
pendiri bangsa dan pemerintahan pascakemerdekaan di bawah Bung Karno
adalah pembentukan konstitusi Indonesia sebagai negara-bangsamodern.
Namun, paradigma “politik sebagai panglima” di era ini menyebabkan
negara tidak punya perhatian dan kemampuan untuk melakukan pembangunan
sosial dan ekonomi. Orde Baru yang datang
sebagaiantitesisOrdeLamamenempatkan pembangunan ekonomi, dalam arti
peraihan kesejahteraan material, sebagai fokus dan basis legitimasi.
Namun, karena stabilitas politik merupakan premis bagi pembangunan
ekonomi, proses penguatan lembaga negara dilakukan dengan menjadikan
militer sebagai “brain and backbone”
negara, sementara kekuatan sipil terpinggirkan, khususnya partai
politik. Era Reformasi mengalihkan perhatian kita dari politik dan
ekonomi ke masyarakat (society). Yang terjadi selama 15 tahun belakangan
ini adalah penguatan masyarakat sipil dengan empat pranata utama:
kampus, media, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan partai politik.
Inilah yang kemudian menciptakan keseimbangan baru dalam hubungan antara
negara, pasar dan masyarakat sipil. Bersamaan dengan beralihnya pusat
perhatian kita pada society, yang berdampak pada penguatan masyarakat
sipil, kita mendapatkan berkah dari Tuhan berupa “bonus demografi” di
mana komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh usia produktif. Rasio
ketergantungan (dependency ratio) menurun karena orang tidak produktif
(orang tua dan anakanak) yang harus ditanggung oleh penduduk produktif
semakin kecil sampai titik tertentu.
Proyeksi demografis BPS menunjukkan bahwa dividen ini mencapai puncaknya
pada 2020, ketika penduduk berusia produktif (15-64 tahun) mencapai
sekitar 70% dari populasi. Dampak paling besar akibat pergerakan dari
politik ke ekonomi ke masyarakat ini adalah berubahnya tujuan
pertanggungjawaban politik dan ekonomi. Di era ini masyarakat akan
menjadi “panglima” bagi politik dan ekonomi. Karena itu, negara sebagai
integrator bagi semua aktivitas politik dan pasar sebagai integrator
bagi semua aktivitas ekonomi bukan hanya dituntut untuk lebih terbuka
dan transparan, melainkan juga dituntut untuk mempunyai tanggung jawab
sosial.
Masyarakat menjadi faktor pembentuk nilai utama bagi negara dan pasar.
Jargon era ini adalah: society first! Pertanyaan yang berkembang, apa
orientasi hidup masyarakat baru ini? Ternyata jawabnya adalah kualitas
hidup. Kesejahteraan adalah impian, tapi ia tak lagi sendiri.
Kesejahteraan bergeser dari tujuan menjadi salah satu faktor pembentuk
kualitas hidup. Itulah yang kita baca dari perubahan lanskap nilai dan
moral masyarakat baru tersebut.
Di samping nilai-nilai lama yang masih kuat bertahan, yaitu agama dan
gotong-royong, muncul nilai baru yang menyertai dan mengimbangi kedua
nilai tersebut yaitu tendensi pada kekuasaan (power) dan prestasi
(achievement). Agama memberi orientasi hidup, menjadi sumber moral
sementara pengetahuan memberi mereka kapasitas dan sumber produktivitas.
Kesejahteraan adalah output dari kedua hal tersebut yang berfungsi
sebagai pembentuk kualitas hidup secara keseluruhan.
Implikasi
Implikasi dari lahirnya masyarakat baru ini adalah kebutuhan hadirnya
representasi politik yang melampaui polarisasi politik lama. Cara
pandang dikotomis Islam vs nasionalis— kemudian Islam masih dibelah lagi
menjadi tradisionalis vs modernis—menjadi usang dan tidak relevan. Pada
masyarakat baru ini, agama adalah identitas, bukan ideologi. Kehidupan
mereka relatif lebih religius, tetapi tidak otomatis berkorelasi dengan
pilihan-pilihan politis-ideologis.
Kita harus mencari ide tentang “the next Indonesia” yang benar-benar
mewakili ruh zaman, mewakili orang-orang yang berumur di bawah 45 tahun.
Karena itu, seperti sudah saya sampaikan dalam banyak kesempatan,
Pemilu 2014 bukan hanya menjadi momentum politik demokrasi, berupa
peralihan kekuasaan, melainkan momentum peralihan gelombang sejarah
Indonesia. Partai politik harus menyiapkan strategi komunikasi baru
karena nantinya hubungan antara pemerintah (yang merupakan hasil
kontestasi pemilu) dan publik akan berlangsung pada kesepakatan
tingkatan layanan (service level agreement) dari kedua pihak;
layanan apa yang diminta publik dan kewajiban apa (seperti partisipasi
atau pajak) yang harus diserahkan publik untuk mendapat layanan itu.
Partai politik harus menyiapkan dan menyampaikan draf kontrak layanan
itu. Pada skala yang lebih besar, tugas negara bagi masyarakat baru
tersebut adalah memfasilitasi masyarakat bertumbuh secara maksimal
dengan semua potensi mereka. Fungsi fasilitator pertumbuhan sosial
itulah yang akan mencegah terjadi ketegangan diametrak antara negara dan
masyarakat sipil yang banyak terjadi di negaranegara demokrasi baru.
Semua berkah yang diberikan Tuhan itu, seperti sumber daya alam dan
bonus demografi, hanya akan punya makna jika dikelola secara baik. Jika
tidak, berkah itu akan hilang percuma dan kita kehilangan momentum untuk
membuat lompatan menjadi negara yang sejahtera. Perubahan ini yang akan
membuat Pemilu 2014 menjadi menarik dan menantang bagi partai politik.
Mudah-mudahan lebih menarik dari Piala Dunia FIFA yang digelar di
Brasil! ●
*Koran Sindo (Jumat, 20/12/2013)
Artikel Populer
Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah
FB _Q
Diberdayakan oleh Blogger.
Arsip Blog
-
▼
2013
(33)
-
▼
Desember
(10)
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba_...
- Anis Matta : Seminar Guru Besar UI (FK UI-Salemba...
- Masyarakat Baru Indonesia
- Ringan Di Ucap Berat Di Hisab
-
▼
Desember
(10)
No comments for "Masyarakat Baru Indonesia"!
Posting Komentar