Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

Shiddiq Bukan Munafik

Dunia makin pelik, orang licik dan fasik bisa terlihat baik, sementara orang shiddiq  malah dianugerahi gelar munafik.
Miris.
Coba lihat banyak kasus yang bertebaran di sekitar kita, bahkan mungkin yang menimpa diri kita sendiri! Rekan kerja yang membolos saat tak ada bos menganggap orang yang tetap bekerja sebagai orang polos. Orang yang menolak korupsi dicap sok suci. Orang yang tak bersedia nepotis dibilang sadis. Orang yang tak mau menerima uang suap disebut sarap.
Heran deh! Padahal Shiddiq merupakan sifat asli para Nabi loh! Mana ada seorang Nabi yang dalam dirinya tidak disertai sifat shiddiq. Kalau begitu, mengapa kita tidak berlomba-lomba memiliki sifat shiddiq?
Apa sih shiddiq itu?

Jangan salah! Shiddiq bukan hanya berarti jujur, karena orang jujur pun belum tentu shiddiq.
Contoh, ada orang yang jujur melaporkan tindakan temannya yang mencontek saat ujian, tapi itu karena dia ingin mendapat nilai lebih baik daripada temannya tersebut atau karena ia membenci temannya, itu namanya ia jujur... tapi belum dapat dikatakan shiddiq, karena sifat shiddiq tidak dilatarbelakangi oleh kepentingan apa pun.
Lalu, apa dong yang dimaksud shiddiq?
Secara ringkas, shiddiq bisa dikatakan sebagai sikap yang berpihak pada sesuatu yang benar.
Contoh kecil deh, ada seorang guru (anggap namanya A), ia konsisten masuk kelas tepat waktu dan menyiapkan materi pelajaran dengan sebaik mungkin meskipun rekannya yang lain selalu telat masuk ke kelas dan jarang mempersiapkan bahan ajar karena merasa gaji yang mereka terima kurang layak.
Guru A melakukan hal tersebut bukan karena ingin naik gaji atau naik posisi atau mendapat pujian sebagai guru teladan, melainkan ingin memberi yang terbaik pada murid-murid didiknya. Guru A juga tidak merasa iri melihat rekan-rekannya yang bersikap lebih santai dan berleha-leha.
Nah, apa yang dilakukan oleh guru A ini contoh sifat shiddiq, karena bersumber dari kesadaran dan pemahaman akan aturan yang benar, bukan hanya aturan dari instansi atau lembaga tempat ia bekerja, tapi aturan dari Allah dan Rasul-Nya yang memang menyuruh kita untuk melakukan pekerjaan terbaik yang dapat kita lakukan:

“Dan katakanlah “Bekerjalah kamu maka Allah dan Rasu-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikembalikan kepada Yang mengetahui akan yg ghoib dan yg nyata lalu diberitakan-Nya kepada kamu yg telah kamu kerjakan.”( Az-Zumar [39:39])

Artinya, sifat shiddiq sesungguhnya berakar dari keimanan seseorang. Sifat shiddiq merupakan hakikat kebaikan.
Para ulama memiliki beberapa gambaran mengenai sifat shiddiq:
  • Shiddiq adalah menyempurnakan amal untuk Allah. Artinya seseorang berlaku shiddiq bukan untuk kepentingan tertentu yang menguntungkan dirinya, melainkan karena ia mematuhi apa yang Allah perintahkan padanya.
  • Shiddiq adalah kesesuaian dzahir (amal) dengan bathin (iman). Karena orang yang dusta adalah mereka yang dzahirnya lebih baik dari bathinnya.
  • Shiddiq adalah ungkapan yang haq (benar), kendati pun memiliki resiko yang membahayakan dirinya. Misalnya melaporkan tindakan korupsi yang dilakukan oleh penguasa, atau bahkan yang dilakukan oleh teman atau kerabat sendiri.
Orang yang shiddiq biasanya berprinsip, ia akan merasa tidak nyaman melihat sesuatu yang tidak benar, dan ia tidak takut mengatakan kebenaran.
Apa untungnya berlaku shiddiq?

“Buat apa shiddiq kalau gue malah dibilang udik?”
Ada yang berpikir begitu? O-ow, jangan dong! Karena orang shiddiq sesungguhnya orang yang cerdik loh.
Mengapa cerdik? Soalnya orang shiddiq akan mendapat keuntungan luar biasa, baik di dunia maupun di akhirat kelak.


Keuntungan di dunia

Di alam semesta ini berlaku sunatullah, yaitu hukum-hukum Allah yang pasti terjadi, baik kita mempercayainya ataupun tidak. Contoh sunatullah adalah gravitasi yang secara Fisika ditemukan rumusannya oleh Isaac Newton.
Baik kita percaya adanya gaya tarik bumi atau tidak, kalau kita nekat lompat dari gedung tingkat lima sambil berteriak “Gue nggak percaya gravitasiiiii!” tetap saja kita akan jatuh ke bawah karena memang gaya tarik bumi itu ada.
Nah, hukum sunatullah yang lain adalah hukum kekekalan energi. Hapal dong bunyinya?
Hukum Kekekalan Energi (HKE): “Energi di dunia ini bersifat tetap, tidak akan diciptakan lagi dan tidak akan pernah hilang, yang ada hanyalah berubah bentuk.”
Bagi yang pernah membaca buku ”Kubik Leadership” pasti sudah mengetahui konsep HKE ini, bahasa lainnya adalah ”Apa yang ditabur, itu yang akan dituai”.
Mungkin kita tidak menyadari bahwa setiap kegiatan kita—entah itu belajar, bekerja, bermain, jajan, jalan-jalan, chatting—semuanya menggunakan energi, nah... energi yang kita keluarkan ini sesungguhnya tidak hilang, ia hanya berubah bentuk, tapi ia akan kembali lagi ke diri kita.
Jadi, kalau kita melakukan kecurangan atau ketidakjujuran, sebenarnya yang merugi bukanlah orang yang kita bohongi, melainkan diri kita sendiri. Karena suatu saat, energi negatif kebohongan tersebut akan kembali kita dapatkan dalam rupa yang berbeda (tercorengnya nama baik, jatuhnya reputasi, hilangnya kepercayaan orang).
Begitu pula jika kita berlaku shiddiq dan jujur, yang diuntungkan bukanlah Allah atau Rasul-Nya, tapi diri kita sendiri, karena energi positif kejujuran itu akan kembali pada diri kita dalam bentuk lain (kepercayaan orang, apresiasi)
Ada kisah menarik yang disampaikan oleh salah seorang penulis buku Kubik Leadership, Jamil Azzaini. Suatu hari ia mengisi training di perusahaan ternama dan menjelaskan konsep HKE alias ”apa yang ditabur itu yang dituai”, pimpinan di perusahaan itu mengkritik pedas dan tidak percaya konsep HKE bahkan sampai acara berakhir.
Tujuh bulan kemudian, ia diminta bertemu lagi oleh sang pimpinan, dan saat itulah sang pimpinan memeluknya seraya menangis, meminta maaf, dan mengatakan bahwa ia kini percaya pada konsep HKE. Sang pimpinan bercerita bahwa selama ini ia menerima ”uang panas” yang bukan haknya, ia mencatat jumlahnya mencapai lima ratus dua puluh enam juta rupiah.
Ternyata anaknya yang sekolah di luar negeri terjebak salah pergaulan dan mengonsumsi narkoba sampai parah dan sulit diobati. Biaya pengobatan yang dikeluarkannya persis sama dengan uang panas yang ia terima, lima ratus dua puluh enam juta rupiah.
Tepat sekali apa yang Allah sampaikan dalam Al-Quran Surat Al-Isro : 15
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri…”
Sudah sepakat bahwa orang yang berlaku shiddiq adalah orang yang cerdik?


Keuntungan di akhirat

Kalau di dunia saja sudah menerima ganjaran kebaikan dari perilaku shiddiq, apalagi di akhirat kelak.

Dari Ibnu Masud ra, Rasulullah SAW bersabda; Sesungguhnya shiddiq itu menuntun kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan membawanya ke dalam surga…”

Intinya, orang-orang shiddiq adalah calon penghuni surga. Bahkan, Allah menyatakan derajat orang-orang shiddiq berada di atas orang-orang shaleh, bahkan di atas orang-orang yang mati syahid. Subhanallah!
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. 4: 69)

Gak cukup sekedar baik, jadilah orang shiddiq

Sadarkah bahwa setiap kita punya potensi untuk melakukan kecurangan?
Bayangkan kalau kita diberi kembali 40 ribu padahal uang yang kita beri hanya sepuluh ribu, apakah kita akan mengembalikan kelebihannya? Itu kan bukan salah kita loo, kita tidak mencuri, itu uang halal, yang salah yaa tukang warungnya yang tidak teliti.
Lalu, kalau di bis, sang kondektur lupa menagih ongkos kita, apakah kita akan memberinya ongkos atau berpura-pura lupa juga? Toh dia yang salah karena tidak menagih, kalau si kondektur nggak nyadar dia pun nggak akan merasa rugi kan?
Akan tetapi, orang-orang yang telah memiliki sifat shiddiq tidak akan berlaku curang. Orang shiddiq pasti berlaku lurus dan memilih yang benar. Orang shiddiq itu cerdik, ia akan memilih balasan dari Allah daripada sekedar mendapat keuntungan dari kelalaian orang lain.
Sobat, tidak cukup menjadi “sekedar” baik, karena toh orang baik belum tentu benar. Akan tetapi, kalau kita berlaku benar, maka sesungguhnya hal itulah yang akan membawa kita pada kebaikan. (AN NIDA-ON LINE)

No comments for "Tidak Cukup Sekedar Baik, Jadilah Orang Shiddiq!"!

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog