Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

Pernikahan Kita 

Saya ingin—ketika kelak menikah—pernikahan saya menjadi pernikahan yang istimewa. Keistimewaannya tidak terletak pada luasnya gedung resepsi serta kemewahan dekorasinya. Pun sekedar makan yang melimpah beraneka ragam rupa. Itu bukan menjadi letak keluarbiasaan yang ditawarkan pernikahan kita. Pernikahan akan menjadi spesial justru karena mahar yang aku tawarkan kepadamu, calon pendamping hidupku.

Engkau layak bersedih bila mengharapkan emas berton-ton beratnya. Kau juga pantas kecewa jika mengharapkan sebuah rumah dan mobil, lengkap dengan perabot penunjang hidup. Pernikahan kita akan menjadi istimewa justru karena mahar yang sederhana yang mendalam maknanya: tawaran sepakat untuk komitmen di jalan dakwah dan berjuang di dalamnya.  Komitmen itu aku tawarkan kepadamu, pinangan jiwaku, sebagai mahar yang harus kau pegang erat-erat dan kau rawat. Tak seperti mahar lainnya, mahar itu tidak boleh kau jual atau kau gadaikan atas nama kesulitan hidup. Mahar itu pun tak boleh kau simpan rapat di lemari besi dan dibiarkan berkarat. Ia akan menjadi titik tolak perkawinan ini dan menjiwainya. Ketiadaannya akan menyebabkan runtuh pula segala hal yang dibangun atasnya, tak terkecuali sendi-sendi pernikahan kita.

Aku ingin mahar ini menjadi tanda sepakat kita berdua; sama-sama  meningkatkan produktivitas kita dalam dakwah. Tekad ini jauh melampaui cita-cita rumah tangga lain yang sekedar berkutat pada urusan menambah anak, meningkatkan nilai deposito keluarga, membangun karir, maupun menambah luasan rumah. 

Aku tidak ingin hanyut dan terlena dalam pesona dunia, seperti yang sudah-sudah dilakukan segelintir ikhwah (rekan saudara) kita yang lain. Pernikahan mereka membuat intensitas mereka hadir di syuro jauh berkurang. Bertautnya ikatan cinta kerap mencerai-beraikan ikatannya dengan halaqoh yang dulu begitu mesra. Mereka larut dalam tetabuh ritme yang rancak dihentak-hentakkan oleh pesona dunia. Mereka lupa komposisi melodi dari simfoni yang seharusnya bersama mereka dendangkan, Dakwah Atas Nama Islam. Kita? Kita akan istiqomah mencoba memainkan komposisi yang sama dari waktu ke waktu.

Keistimewaan Pernikahan Ini

Aku ingin pernikahan ini berbeda dan jauh lebih bermakna. Kau yang dulu tidak bisa mengisi halaqoh yang jauh, kini bisa melakukannya berkat kehadiranku yang setia memboncengmu di belakang Honda Supra-X milikku (ups...promosi ya?). Kelelahanku berdakwah, yang terkadang membuatku malas melanjutkan agenda dakwah keesokan harinya, akan senantiasa sirna dengan hadirnya engkau yang memberikan pijitan lembut di tangan, serta seember air hangat untuk merendam kakiku. Tak hanya itu, kau akan senantiasa memompakan taujih robbani yang mengingatkanku akan pentingnya dakwah dan bekerja didalamnya. 

Sebaliknya, aku pun akan mengingatkanmu kala engkau merasa lelah dan ingin menyerah. Akhirnya, aku dan kau larut dalam munajat penyesalan; pernah berpikir untuk mengendurkan semangat dakwah. Aku pun nanti, Insya Allah, akan senang-senang saja mengisi forum yang jauh, meski harus pulang hingga larut malam. Kenapa? Karena ada kau yang bisa kujadikan teman berbincang dalam perjalanan pulang. Aku pribadi kerap malas pulang sendiri karena merasa sepi sendiri.

Itulah sedikit contoh hal yang bisa kita sinergikan bersama. Sinergi ini membuat produktivitas dakwah kita meningkat, bukan sebaliknya. Inilah kawin mawin segenap potensi, komitmen, dan perjuangan antara dua insan berlawanan rupa dan jenis. 

Angan-Angan versus Realitas
Tapi... aku mencoba realistis. Bisa jadi semua itu hanya menjadi angan-angan belaka. Peningkatan karir di kantorku membuat tak sanggup lagi mengisi halaqoh banyak-banyak. Aku hanya harus puas dengan membina satu halaqoh dan menjadi peserta satu halaqoh yang lain. Engkau pun mungkin akan sibuk menimang dan mengasuh anak-anak kita. Kita juga bisa jadi tak bisa intensif mengikuti syuro organisasi dakwah yang kita geluti, sebagaimana dulu dimasa kita muda. Namun, semua itu tidak berarti pudarnya dakwah dalam rumah tangga kita. 

Aku, Insya Allah, akan profesional sibuk di kantor sebagai investasi agar kelak aku bisa menduduki jabatan yang lebih tinggi. Jabatan yang kelak strategis dan bisa berguna bagi kemajuan dakwah dimasa depan. Aku pun dalam proses itu akan mengimbangi penurunan interaksi dalam dakwah dengan sumbangan yang lain; entah berupa dana, pemberian fasilitas, maupun sekedar doa agar rekan-rekan yang lebih aktif berpartisipasi senantiasa diberikan kekuatan oleh Allah. Kau pun sekedar mengalihkan kerja dakwahmu dalam batas lingkup keempat dinding rumah kita. Kau mungkin memilih berkonsentrasi memberikan anak-anak kita asupan gizi terbaik, kasih sayang yang deras tercurah, ilmu yang luas menghujam, dan nilai-nilai dakwah yang cemerlang berkibar. 

Inilah kerja dakwah kita yang baru bisa dilihat dalam jangka yang amat panjang. Tidak seperti kita dulu yang mengisi banyak halaqoh dan kesuksesannya bisa langsung dilihat dari peningkatan muwashofat (karakteristik kepribadian) dan kontribusi mereka, mad'u kita, dalam kerja-kerja dakwah. Kita baru akan merasakan buah kerja membina anak dalam minimal sepuluh tahun dengan kesolehan yang terpancar kuat dalam diri mereka. Mereka mungkin baru bisa terlibat dalam kerja dakwah nyata saat sudah genap SMU, begitu seterusnya hingga maut menjemput mereka. Aku ingin mereka besar dengan kemampuan luar biasa, melebihi kondisi kita dulu. Usia sepuluh tahun sudah khatam hapal Al-Qur'an, usia 15 sudah memenuhi minimal 90 persen muwashofat kader dakwah, dan pada usia yang lebih matang sanggup menempati posisi strategis dalam dunia dakwah. Betapa bahagia bila kita bisa berjalan seiring bergandengan tangan sebagai keluarga dalam naungan dakwah Islam.

Masa-masa puncak kejayaan—entah dari segi jasmani, karir, amanah, dan ekonomi—tidak membuat kita melupakan untuk senantiasa menjaga kebersihan hati. Kita akan senantiasa larut dalam tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa). Kita akan senantiasa menjaga agar ego dan gerak-gerik kita tunduk-patuh dalam arahan Sang Pencipta. Kita akan  senantiasa kuat dan tegar mengarungi profesi kita sebagai polisi, perawat, tabib, tukang sapu maupun pedagang keliling. Aku dan kau tak akan kenal lelah menjadi polisi yang menjadi garda terdepan dalam pemberantasan kemaksiatan, minimal di keluarga kita. Kita pun siap pada saat bersamaan untuk menjadi perawat yang telaten mengobati bilur luka yang menghimpit mad'u kita akibat cobaan dijalan dakwah. Kita berdua selalu rajin menyapu kemusyrikan dan menyisihkannya kepinggir, untuk kemudian kita lenyapkan sejadi-jadinya. Sebagai tabib, setiap penyakit hati dalam objek dakwah kita akan senantiasa coba diobati.

Kita pun berusaha tekun berkeliling dan menjajakan nilai-nilai dakwah kepada siapapun yang kita lewati dalam perjalanan. Kita kan senantiasa susuri jalan-jalan kehidupan mengemban profesi kita dan berbelok ditikungannya, meski ada pihak yang berusaha menelikung.  Aku pun ingin saat tua, kita tidak akan berkarat dan menghabiskan sisa usia pensiun kita kuyu dalam panti jompo. Aku ingin kita bisa terus berkontribusi bagi dakwah, entah dengan terlibat dalam LSM dakwah maupun dengan mendirikan sekolah gratis bagi kaum duafa. Aku pun masih akan tekun dalam kegemaranku menulis, dan berharap pada saat itu sudah menghasilkan puluhan buku yang menyasar tema beraneka ragam; dakwah, kesehatan, politik, dan pendidikan. Buku-buku yang bisa melecut diriku, dirimu, dan rekan-rekan pembaca melakukan perbaikan, apapun soalnya. Saat itu, kita bisa puas dan bersyukur pada Allah melihat keberhasilan mad'u-mad'u (objek dakwah) kita yang dulu bukan siapa-siapa dimana pada saat itu mereka sudah sukses; baik dalam profesi yang digeluti maupun akselerasi dalam hal sumbangannya dalam dunia dakwah. 

Kita hingga tua akan senantiasa tekun merajut ikatan cinta dan memperkuat simpul-simpulnya. Permadani cinta yang telah tekun kita tenun Insya Allah akan lapang dan memikat hati siapa saja yang sempat meliriknya. Ia bisa menjadi hamparan yang memungkinkan kita berdua, anak, saudara, dan rekan ikhwah lain untuk sejenak duduk melepas lelah. Kita akan leluasa bercengkrama disana, bercanda mesra. Cinta ini juga akan menjadi oase tempat kader-kader dakwah, tak terkecuali kita, bisa sejenak mereguk senila cinta untuk kemudian dijadikan perbekalan mengarungi padang tribulasi kehidupan yang penuh mara bahaya. Pernikahan ini akan menjadi lautan yang sanggup menenggelamkan masalah yang menghadang, sebesar apapun. Ia akan juga menjadi api unggun, tempat kita asyik-masyuk mengelilinginya mencari sejentik kehangatan. 

Perkebunan Dakwah
Nilai Islam dan ruh dakwah yang menyertainya akan senantiasa ditanam di kebun-kebun penghidupan milik kita yang mungkin tak seberapa luas. Ia akan kita tangkar, pupuk, dan kawin silangkan agar bisa optimal dalam proses tumbuh kembangnya. Cabang-cabang yang kering meranggas, bahkan rawan roboh dan membahayakan, akan kita pangkas teratur. Setiap hama-penyakit akan kita halau jauh-jauh. 

Pohon ini akan kita rawat dan tanam, sembari mengajak mad'u, rekan dan segenap tetangga ikut merawatnya, bahkan kalau bisa ikut menanam di pekarangan mereka sendiri. Kompak bersama mereka, kita kan bangun suatu jagad perkebunan dimana spesies dakwah dari genus Islam rimbun bersemi. Akar tauhidnya akan dalam menghujam, sementara batangnya akan tegak menjulang disangga khouf (takut) dan syaja'ah (keberanian) atas dasar Islam. Cabang-cabang dahannya akan teguh menusuk langit, di topang jihad yang kukuh kuat menerabas segala penghalang. Menyembul dari pucuk-pucuk kerimbunan berupa kebahagiaan yang indah memancar. Kita kan mendapati buah berupa akhlak muslim di sela-sela rantingnya. Pohon-pohon itu akan menjadi lokasi yang nyaman tempat kita rehat sejenak saat panas menerpa. 

Pohon-pohon itu akan kita bopong dan jadikan bekal di hari kemudian. Bekal yang kita persembahkan kepada Allah untuk menebus surga yang penuh kenikmatan. Pohon yang menjadi sesaji yang kita larung saat yaumul hisab hingga Allah bisa melihat jelas jerih payah kita dan meridhoi kita masuk surga. Pohon-pohon itu akan kita rekacipta menjadi tangga yang harapannya bisa menjangkau tingkat Al-Wasilah yang ke-100, dimana surga firdaus (surga terbaik) berada. Usai sampai, kita kan potong, pahat, dan ukir salah satu bagian pohon itu untuk menjadi kunci yang memungkinkan kita masuk pintu surga, apapun namanya. Kita akan gunakan segenap bagiannya yang lain menjadi bekal hidup sehari-hari di surga firdaus. 

Bibitnya akan tumbuh disurga dan segera menjadi tempat bernanung yang nyaman. Pohon akan tumbuh secara berbeda. Tumbuh kembangnya akan istimewa. Ia akan tinggi dan rimbun, dengan batang terbuat dari emas. Kita akan mendapat pakaian dari pucuk-pucuknya dan sebuah kuda emas dari bawahnya. Sekelilingnya terdapat pohon-pohon surga yang kita tanam dengan lantunan tasbih dan tahmid yang rutin kita lantunkan tiap pagi dan petang. Tumbuh pula di ujung pangkalnya berbagai buah dengan tujuh puluh rasa berbeda. Pohon indah milik kita akan otomatis membuat pangkalnya runduk merendah bila kita ingin salah satu buahnya, sehingga gampang bagi kita untuk memetiknya. Batangnya akan dicacah dan dibangun menjadi ghuraf, bangunan tinggi yang nyaman. Dedauanannya akan kita jadikan sebagai atap rumah kita. Ranting-rantingnya akan kita jadikan bahan bakar memasak daging sapi jantan dan ikan paus dari surga, yang segera menjadi makanan kegemaran. 

Istimewanya, Allah akan langsung menyembelihnya kedua binatang untuk kita. Bayangkan... khusus untuk kita saja! Air jahe yang diambil dari mata air salsabila akan kita jerang bersama untuk memasak dagingnya. Atau, kita ambil saja air seciduk dari sungai dimana kau jumpai khamr (minuman keras) dalam tiap riaknya? Tak lupa, kita tambahkan seciduk pemanis yang kita ambil dari sungai dengan kandungan madu yang mengalir tanpa henti. Hasil masakan kan kita hidangkan dalam piring-piring emas dengan corak beraneka rupa. Pasti lezat... Apalagi bila ditingkahi minum-minum sloki (piala) berisi khamr murni bercampur ketsuri. 

Makanan pembuka saat itu adalah anggur yang ditenteng pemuda rupawan. Bayangkan, anggur itu lebih besar dan panjang daripada penjelajahan burung hantu yang tak henti mengepakkannya sayap setahun penuh! Bersama rekan-rekan di jagad dakwah, kita akan makan berhadap-hadapan di atas dipan-dipan indah bertelekan bantal. Berhembus semilir angin surga yang bisa kau cium dari jarak seratus tahun. Mungkin pula ia giring bersamanya sekeduk tanah surga, tepung putih yang bersih. Lamat-lamat aroma ketsuri tercium yang membuat lelaki yang diterpanya bertambah tampan, tanpa harus pergi ke pusat kebugaran atau operasi plastik. Selepas terpaan, kau pun akan makin jatuh cinta kepadaku, sepenuh jiwa-ragamu. Indah bukan pesona surga?

Penutup
Itu ku harap terjadi usai kau menyambut pinanganku, menerima maharku, sehingga aku bisa beranjakan melangsungkan akadku untuk menikahimu. Kita pun kemudian bisa bersanding di pelaminan dan merayakannya. Belahan jiwaku, mari kita simpan sebagian besar segenap kebahagiaan itu nanti. Nanti... saat harapan yang telah kuuntai dalam kata ini telah tunai tercapai. Saat itulah kita bisa tersungging puas, akan keberlangsungan pernikahan kita. Saat itu adalah saat setelah kematian. Ketika kita mati kelak, mahar itu bisa kita bawa kepada Rabb kita sebagai mahar akan perjanjian lain. Mahar untuk menebus surga dengan kenikmatan tak berbatas didalamnya, dengan perjanjian kita bisa bertandang dan menginap selama-lamanya di dalamnya. Mudah-mudahan Allah menerimanya, dan memungkinkan kita leluasa bercengkrama di dipan-dipan surga dengan rekan-rekan lain di dunia dakwah. Sembari minum anggur yang penuh hingga ke bibir gelasnya. Insya Allah, bila Allah menghendaki. 

Wallahu'alam, kepada-Nya kita memohon dan senantiasa berharap.

*)Raafqi Ranasasmita
raafqi@yahoo.co.id
6 Mei 2008 7.15 WIB
Revisi:13 Mei 2008 pukul 22.42 WIB

Maraji': "Tamasya Di Syurga" (Syaikh Ibnul Qayyim Al Jauziyah)

No comments for "KOMITMEN BERDAKWAH: MAHAR PERNIKAHAN KITA*) (Sebuah Dialog Imajiner)"!

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog