Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

Sriyono
ABSTRAK
Penilaian hasil belajar peserta diklat pada dasarnya merupakan bagian integral dari proses pembelajaran, yang diarahkan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Pelaksanaan penilaian kemajuan dan hasil belajar diarahkan untuk mengukur dan menilai performansi peserta diklat baik secara langsung pada saat peserta diklat melakukan aktivitas pembelajaran maupun secara tidak langsung melalui bukti hasil belajar (evidence of learning indicator) sesuai dengan kriteria unjuk kerja (performance criteria) yang diorganisasikan dalam bentuk portofolio. Penilaian hasil belajar peserta diklat menggunakan pendekatan penilaian acuan patokan (criterion reference assessment), dilaksanakan dengan prosedur dan mekanisme yang dapat mengembangkan sistem akuntabilitas jaminan dan kendali mutu (quality assurance dan quality controle), yang melibatkan pihak-pihak terkait (stakeholders) pembina SMK baik internal maupun eksternal.
Berdasarkan karakteristik kurikulum SMK 2004 yang menerapkan pembelajaran berbasis kompetensi (competency based training) baik dalam perancangan, penyusunan, dan pelaksanaan di lapangan, maka sistem penilaian hasil belajar yang digunakan adalah model penilaian yang berbasis kompetensi atau dikenal sebagai Competency Based Assesment (CBA). Penilaian berbasis kompetensi ini mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta diklat, yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara parsial sesuai dengan prosedur dan mekanismenya.
Penilaian pada aspek pengetahuan dimaksudkan untuk mengetahui penggunaan pengetahuan dalam pemecahan masalah yang berhubungan dengan kompetensi, sub-kompetensi, dan kriteria unjuk kerja yang sesuai dengan kondisi pekerjaan di lapangan. Tujuan utama penilaian ini adalah untuk meningkatkan pembelajaran dan pengajaran, selain itu juga untuk memberikan motivasi kepada siswa, mendiagnosa kemampuan siswa, meningkatkan efektivitas pengajaran, dan sebagainya. Bentuk tes yang umum digunakan dalam mengukur aspek ini adalah tes lisan dan tertulis, yang dibuat dalam berbagai bentuk yang berbeda, seperti soal pilihan ganda, melengkapi kalimat, menjodohkan, dua pilihan jawaban, isian, jawaban singkat, dan uraian.
Penilaian pada aspek keterampilan dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan peserta diklat dalam mendemontrasikan pemahaman dan pengaplikasian pengetahuan yang mendalam serta keterampilan berbagai macam konteks tugas dan situasi sesuai dengan kompetensi, sub-kompetensi, dan kriteria unjuk kerja yang sesuai dengan kondisi pekerjaan di lapangan. Guna melakukan penilaian pada aspek ini setidaknya ada tujuh kriteria yang harus diperhatikan, yaitu generability, authenticity, multiple foci, teachability, fairness, feasibility, scorability. Bentuk tes yang umum digunakan dalam mengukur kinerja yang telah dikuasai peserta diklat, dapat berupa: paper and pencil test, identification test, simulation test, dan work sample test.
Penilaian pada aspek sikap dimaksudkan untuk mengetahui sikap peserta diklat dalam berbagai aspek diantaranya: sikap terhadap mata pelajaran, guru mata pelajaran, proses pembelajaran, materi dari pokok-pokok bahasan yang ada
dansebagainya. Pengukuran terhadap aspek sikap ini dapat dilakukan melalui: observasi perilaku, pertanyaan langsung, laporan pribadi, dan penggunaan skala sikap. Hasil penilaian sikap perlu dimanfaatkan guna ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan profesionalisme guru, perbaikan proses pembelajaran, dan pembinaan sikap siswa.
Proses penilaian dalam ketiga aspek tersebut dilaksanakan berdasarkan penilaian berbasis kelas, penilaian berkala (akhir kompetensi, akhir level kualifikasi, akhir pendidikan). Peserta diklat dinyatakan kompeten apabila yang bersangkutan telah menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan oleh suatu kompetensi. Hasil dari pelaksanaan penilaian tersebut dirujuk untuk mendapatkan pengakuan sertifikasi kompetensi berdasarkan bidangnya dan sesuai dengan tuntutan pekerjaan tertentu. Kemudian guna mendapatkan sertifikasi profesi peserta diklat harus melalui proses pengujian yang dilakukan oleh asosiasi profesi atau Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
I. PENDAHULUAN
Pendidikan menengah kejuruan merupakan sub-sistem pendidikan nasional yang mengalami perubahan demi perbaikan dan peningkatan kualitas hasil pendidikan. Penyempurnaan dan perbaikan pendidikan menengah kejuruan dilakukan guna mengantisipasi kebutuhan dan tantangan masa depan. Hal ini perlu terus-menerus dilakukan, diselaraskan dengan kebutuhan perkembangan dunia usaha dan dunia industri, dunia kerja, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Perbaikan pendidikan menengah kejuruan juga diharapkan dapat menciptakan tenaga kerja terampil dalam memenuhi kebutuhan dunia usaha dan dunia industri, serta mencetak jiwa yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri (entrepreneurship). Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan jenjang pendidikan kejuruan tingkat menengah dibawah pembinaan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan (Ditdikmenjur), yang menyiapkan lulusannya untuk bekerja dalam bidang tertentu dengan bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri atau berwirausaha. Hal itu tersirat didalam UUSPN Pasal 18 dan penjelasan Pasal 15 yang mengatur pendidikan menengah kejuruan, yaitu: 1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar; 2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan menengah kejuruan; 3) Salah satu bentuk pendidikan menengah adalah SMK; 4) Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Hal ini juga sejalan dengan tujuan umum dan khusus SMK yang terdapat dalam Dokumen I Kurikulum SMK Tahun 2004, menyatakan bahwa:
1. Tujuan umum SMK adalah:
a. Menyiapkan peserta didik agar dapat menjalani kehidupan secara layak;
b. Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan peserta didik;
c. Menyiapkan peserta didik agar menjadi warga negara yang mandiri dan bertanggung jawab;
d. Menyiapkan peserta didik agar memahami dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia, dan
e. Menyiapkan peserta didik agar dapat menerapkan dan memelihara hidup sehat, memiliki wawasan lingkungan, pengetahuan dan seni.
2. Tujuan khusus SMK adalah:
a. Menyiapkan peserta didik agar dapat bekerja, baik secara mandiri atau mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan dunia industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah, sesuai dengan bidang dan program keahlian yang diminati;
b. Membekali peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam berkompetisi, dan mampu mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminatinya, dan
c. Membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu mengembangkan diri melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Salah satu pencapaian tujuan tersebut melalui suatu pengembangan sistem penilaian yang dilakukan di SMK. Sistem penilaian hasil belajar yang digunakan di SMK adalah model penilaian yang berbasis kompetensi atau dikenal sebagai Competency Based Assesment (CBA). Penilaian berbasis kompetensi ini mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta diklat, yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara parsial sesuai dengan prosedur dan mekanismenya. Penilaian sendiri mengandung makna tentang penafsiran hasil pengukuran dan penentuan hasil belajar.
Berdasarkan observasi di beberapa SMK pelaksanaan penilaian yang dilakukan masih menggunakan cara dan pola lama yakni masih sangat tergantung kepada guru sebagai individu dan menggunakan pendekatan penilaian acuan norma (norm reference assessment). Peserta diklat dinilai hanya dari hasil proses pembelajaran yang telah dilaluinya, bukan ketika proses pembelajaran berlangsung. Hal ini sangat bertolakbelakang dengan kaidah penilaian dalam pelatihan berbasis kompetensi, yang menggunakan pendekatan penilaian acuan patokan. Peserta diklat dinilai tahap demi tahap selama proses pembelajaran berlangsung, hingga akhirnya dilakukan penilaian hasil dari pembelajaran tersebut.
Penilaian hasil belajar peserta diklat SMK pada dasarnya merupakan bagian integral dari proses pembelajaran, yang diarahkan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Pelaksanaan penilaian kemajuan dan hasil belajar diarahkan untuk mengukur dan menilai performansi peserta diklat baik secara langsung pada saat peserta diklat melakukan aktivitas pembelajaran maupun secara tidak langsung melalui bukti hasil belajar (evidence of learning indicator) sesuai dengan kriteria unjuk kerja (performance criteria) yang diorganisasikan dalam bentuk portofolio. Penilaian hasil belajar peserta diklat menggunakan pendekatan penilaian acuan patokan (criterion reference assessment), dilaksanakan dengan prosedur dan mekanisme yang dapat mengembangkan sistem akuntabilitas jaminan dan kendali mutu (quality assurance dan quality controle), yang melibatkan pihak-pihak terkait (stakeholders) pembina SMK baik internal maupun eksternal.
Implementasi pelatihan berbasis kompetensi (Competency Based Training) di SMK telah dimulai sejak dikeluarkannya kebijakan kurikulum SMK edisi 99, kemudian diperkuat lagi dengan dikeluarkannya kurikulum SMK tahun 2004 yang akan diimplementasikan mulai semester ganjil tahun ajaran 2004-2005 ini. Pembelajaran ini idealnya dilaksanakan dalam dua situasi yakni situasi di sekolah dan industri. Penilaian kompetensi hasil pembelajaran dan pemberian sertifikat terhadap peserta diklat dilaksanakan bersama antara lembaga pendidikan dengan industri dan atau asosiasi profesi independen yang memiliki kewenangan melakukan pengujian dan menerbitkan sertifikat kompetensi.
Lembaga Pendidikan Teknologi Kejuruan dapat menjadi lembaga pengujian dengan syarat dapat menunjukkan bahwa prosedur dan mekanisme pengujian dalam proses pembelajaran yang diselenggarakan dapat memberikan jaminan mutu kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (Depdiknas, 2001: 40). Sebagai upaya untuk mendapatkan hasil penilaian yang dapat mengungkap ketercapaian kompetensi peserta diklat, masalah-masalah yang berkaitan dengan sistem penilaian dapat ditinjau dari sisi teknis metodologis penilaian. Penilaian meliputi komponen kompetensi normatif, adaptif, dan produktif, masing-masing pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan, perlu dikembangkan guna memperoleh suatu acuan yang sama dalam melakukan penilian. Penilaian berbasis kompetensi idealnya tidak tergantung siapa, dimana, dan kapan pelaksanaan penilaian itu berlangsung, akan tetap sama dalam perolehan hasilnya.
II. PENGEMBANGAN SISTEM PENILAIAN
Penilaian kemajuan dan hasil belajar peserta diklat untuk aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap, harus dilakukan secara secara proporsional sesuai dengan sifat materi diklat. Oleh karena itu instrumen yang digunakan harus mampu menjaring data dari ketiga aspek tersebut.
A. PENILAIAN ASPEK PENGETAHUAN PESERTA DIKLAT
Salah satu cara untuk menilai penguasaan kompotensi aspek pengetahuan dapat dilakukan dengan tes tertulis. Tes adalah himpunan pertanyaan yang harus dijawab, atau pertanyaan yang harus ditanggapi, atau tugas-tugas yang harus dilakukan oleh orang yang dites (testee) dengan tujuan untuk mengukur suatu aspek (periku) tertentu dari orang yang dites (Depdikbud,1999: 15).
Tes yang digunakan untuk mengukur aspek pengetahuan peserta didik harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Hanya mengukur satu dimensi (unidimensionality).
Suatu tes yang mengukur suatu bidang studi tertentu, setiap butir soal pada perangkat tes harus mengukur hanya di bidang studi tersebut. Dengan dipenuhinya syarat ini akan diperoleh suatu perangkat tes yang valid.
2. Kehandalan (reliabilitas).
Kehandalan tes meliputi kecermatan (precision) hasil pengukuran dan keajegan/kestabilan (consistency) dari hasil pengukuran. Menurut Depdikbud (1999: 18) sebuah tes dengan jumlah soal yang banyak dan seluruh soalnya bertaraf kesukaran sedang (on-target) bagi orang yang menempuh ujian, akan menghasilkan informasi yang lebih teliti mengenai orang yang diuji jika dibandingkan dengan tes yang soalnya sedikit dan tingkat kesukaranya rendah atau tinggi (off-target). Dengan kata lain, soal-soal sebuah tes tidak boleh terlalu jauh di bawah atau di atas kemampuan tingkat pencapaian hasil belajar peserta didik, dan tingkat kesukaran butir-butir soal sebaiknya homogen.
Sebuah kisi-kisi tes yang menetapkan prosentase soal yang mudah, sedang, dan sukar, pada prinsipnya adalah salah dan menyimpang ditinjau dari teori tentang kehandalan hasil sebuah tes (Depdikbud, 1999: 18). Jika para siswa sangat heterogen tingkat kemampuannya, maka menurut teori keterhandalan pengukuran, para siswa tersebut harus dibagi menjadi beberapa kelompok yang relatif homogen, sehingga untuk setiap kelompok dapat diberi tes yang tingkat kesukarannya sesuai dengan tingkat kemampuan mereka.
Menurut Allen (1979: 118) langkah-langkah dalam pengembangan suatu perangkat tes adalah:
1. Plan the test.
Rumuskan tujuan tes yang akan dilakukan. Tujuan tes harus dirumuskan secara jelas sehingga dapat memberikan arah dan lingkup pengembangan tes selanjutnya. Setelah tujuan tes dirumuskan, buat kisi-kisi tes (test blue-print/ table of specification). Pada intinya, kisi-kisi tes diperlukan sebelum penyusunan tes. Kisi-kisi tes adalah deskripsi mengenai ruang lingkup dan isi dari apa yang akan diujikan, serta memberikan rincian mengenai soal-soal yang diperlukan oleh tes tersebut. Langkah ini akan mendapatkan tes yang memiliki validitas isi.
2. Write item for each of the areas in the plan.
Penulisan soal adalah penjabaran indikator kompetensi yang hendak diukur menjadi pertanyaan-pertanyaan yang karakteristiknya sesuai dengan kisi-kisi. Setiap butir soal yang dibuat harus jelas apa yang ditanyakan dan jela pula apa yang dituntut. Pada soal yang telah dibuat dilakukan review dan revisi yang idealnya dilakukan oleh orang lain, karena seringkali kekurangan yang terdapat pada suatu soal tidak terlihat oleh penulis soal.
3. Administer all the items to a reasonably large sample of at least 50 (and preferably several hundred) examinees.
Soal-soal yang telah direview dan direvisi secara teoretis sudah merupakan soal yang baik. Guna memperoleh gambaran empirik perangkat tes perlu diujicobakan pada kelompok subjek yang memiliki karakterik sama atau hampir sama dengan kelompok subjek dimana tes tersebut akan digunakan.
4. Conduct an item analysis.
Analisis item hasil uji coba bertujuan untuk memperoleh informasi soal-soal mana yang sudah baik, perlu revisi dan harus dibuang. Analisis item bisa dilakukan berdasarkan teori tes klasik atau tes modern (Item Response Theory). Perbedaan mendasar dari kedua teori tersebut adalah analisis item berdasarkan teori tes klasik bersifat sample bond sedangkan tes modern bersifat sample free. Tes yang akan digunakan untuk menguji penguasaan kompetesi sebaiknya telah terkalibrasi berdasarkan tes modern.
5. Administer the revised test to another representative sample of examinee.
Ujikan kembali tes yang sudah direvisi pada sample lain yang memiliki karakreristik sama atau hampir sama dengan karakteristik peserta tes dimana tes tersebut akan digunakan. Terhadap hasil tes lakukan kembali langkah 4. Langkah ini disebut test standardization.
Setelah diperoleh tes terstandar, naskah tes siap diberikan atau disajikan kepada peserta tes. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian tes adalah waktu penyajian, petunjuk yang jelas mengenai cara menjawab atau mengerjakan tes, ruangan dan tempat duduk peserta tes. Pada prinsipnya, hal-hal yang menyangkut segi administratif penyajian tes harus diperhatikan sehingga pengujian dapat terselenggara dengan lancar dan baik.
B. PENILAIAN ASPEK KETERAMPILAN PESERTA DIKLAT
Pengujian penguasaan kompetensi aspek keterampilan peserta didik dilakukan dengan penilaian kinerja (Performance Assessment). Menurut Trespeces (Depdiknas, 2003) performance assessment adalah berbagai macam tugas dan situasi dimana peserta tes diminta untuk mendemonstrasikan pemahaman dan mengaplikasikan pengetahuan yang mendalam, serta keterampilan di dalam berbagai macam konteks. Jadi performance assessment adalah suatu penilaian yang meminta peserta tes untuk mendemonstrasikan dan mengaplikasikan pengetahuan ke dalam berbagai macam konteks sesuai dengan kriteria yang diinginkan.
Guna mengevaluasi apakah penilaian kinerja sudah dapat dianggap berkualitas baik, maka paling tidak harus diperhatikan tujuh kriteria yang dibuat oleh Popham (1995: 147). Kriteria-kriteria tersebut adalah:
a. Generalizability, artinya adalah apakah kinerja peserta tes (students’ performance) dalam melakukan tugas yang diberikan tersebut sudah memadai untuk digeneralisasikan kepada tugas-tugas lain? Semakin dapat digeneralisasikan tugas-tugas yang diberikan dalam rangka penilaian keterampilan atau penilaian kinerja tersebut atau semakin dapat dibandingkan dengan tugas yang lainnya, maka semakin baik tugas tersebut. Hal ini terutama dalam kondisi bila para peserta tes diberikan tugas-tugas dalam penilaian keterampilan yang berlainan.
b. Authenticity, artinya apakah tugas yang diberikan tersebut sudah serupa dengan apa yang sering dihadapinya dalam praktek kehidupan sehari-hari?
c. Multiple foci, artinya apakah tugas yang diberikan kepada peserta tes sudah mengukur lebih dari satu kemampuan yang diinginkan?
d. Teachability, artinya tugas yang diberikan merupakan tugas yang hasilnya semakin baik karena adanya usaha pembelajaran. Jadi tugas yang diberikan dalam penilaian keterampilan atau penilaian kinerja adalah tugas-tugas yang relevan dengan yang dapat diajarkan guru.
e. Fairness, artinya apakah tugas yang diberikan sudah adil (fair) untuk semua peserta tes. Jadi tugas-tugas tersebut harus sudah dipikirkan tidak bias untuk semua kelompok jenis kelamin, suku bangsa, agama, atau status sosial ekonomi.
f. Feasibility, artinya apakah tugas yang diberikan dalam penilaian keterampilan atau penilaian kinerja memang relevan untuk dapat dilaksanakan mengingat faktor-faktor seperti biaya, ruangan (tempat), waktu, atau peralatannya?
g. Scorability, artinya apakah tugas yang diberikan dapat diskor dengan akurat dan reliabel ? Karena memang salah satu yang sensitif dari penialaian kinerja adalah peskorannya.
Langkah–langkah yang perlu diperhatikan untuk membuat penilaian kinerja yang baik antara lain:
a. Identifikasi semua langkah-langkah penting yang diperlukan atau yang akan mempengaruhi hasil akhir (output) yang terbaik.
b. Tuliskan prilaku kemampuan-kemampuan spesifik yang penting dan diperlukan untuk menyelesaikan tugas dan menghasilkan hasil akhir (output) yang terbaik.
c. Usahakan membuat kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur tidak terlalu banyak sehingga semua kriteria tersebut dapat diobservasi selama peserta didik melaksanakan tugas.
d. Definisikan dengan jelas kriteria kemampuan-kemampuan yang akan diukur berdasarkan kemampuan siswa yang harus dapat diamati (observable) atau karateristik produk yang dihasilkan.
e. Urutkan kriteria-kriteria kemampuan yang akan diukur berdasarkan urutan yang diamati.
f. Kalau ada, periksa kembali dan bandingkan dengan kriteria-kriteria kemampuan yang sudah dibuat sebelumnya oleh orang lain di lapangan.
Penting untuk diperhatikan pada penilaian kinerja adalah cara mengamati dan menskor kemampuan kinerja peserta didik. Guna meminimumkan faktor subjektifitas dan memaksimumkan faktor keadilan dalam menialai kemampuan kinerja peserta tes, biasanya orang yang menilai kemampuan kinerja jumlahnya lebih dari satu orang sehingga diharapkan hasil penilaian mereka menjadi lebih valid dan reliabel.
Menurut Depdiknas (2003:7) permasalahan (isue) yang sering muncul dalam mendesain dan menggunakan penilaian kinerja adalah permasalahan tentang:
a. Validitas
Karakteristik dan complexity dari performance assessment biasanya menimbulkan masalah dalam mengumpulkan data untuk membuktikan validitas (validity evidence) tidak seperti pengembangan tes pilihan ganda. Kompleksnya tugas dan kemampuan yang akan diukur dalam performance assessment dapat menimbulkan masalah dalam peskoran dan keterwakilan domain yang hendak diukur.
b. Reliabilitas
Pertanyaan kunci tentang reliabilitas adalah sampai sejauh mana skor siswa dapat merefleksikan kemampuan peserta didik yang sebenarnya (true ability) dan bukan akibat dari kesalahan pengukuran (error measurement). Tujuan dari pengembang tes adalah mendesain penulisan, membuat kondisi pelaksanaan tes dan penskorannya tidak terhambat pada situasi yang tidak berkembang dengan kemampuan yang hendak diukur. Masalah pada penilaian kerja biasanya adalah: Penskoran (rating) dari pemberi skor performance assessment; Siswa tidak mengenal alat-alat performance assessment yang dimanipulasi; Siswa tidak mengenal topik yang ditingkatkan dalam performance assessment.
Kesalahan yang disebabkan oleh penskor (rater) dapat diminimalkan apabila pedoman penskoran performance assessment dibuat dan didefinisikan sebaik mungkin dan juga sebelum dimulai penskoran diadakan pelatihan rater terlebih dahulu.
c. Fairness
Tiga permasalahan dalam performance assessment yang berhubungan dengan fairness yaitu (1) perbandingan dalam penulisan, (2) ketersediaan alat-alat yang diperlukan, (3) kesempatan untuk belajar atau berlatih. Apabila tugas dalam performance assessment ada beberapa pilihan, maka harus ada bukti validitas perbandingan dari tugas-tugas tersebut. Setiap tes yang bermaksud untuk mengukur kemampuan peserta didik harus mempertimbangkan bahwa setiap siswa mempunyai akses yang sama dalam menggunakan alat-alat yang dibutuhkan dalam mengerjakan tugas dalam tes tersebut.
Penilaian kinerja di lembaga Pendidikan Teknologi Kejuruan dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk. Ketika melakukan performance assessment untuk menyimpulkan tingkat pencapaian kinerja peserta tes, biasanya digunakan dua pendekatan, yaitu: (1) metode holistic, dan (2) metode analytic.
Metode holistic digunakan apabila para penskor (rater) hanya memberikan satu buah skor atau nilai (single rating) berdasarkan penilaian mereka secara keseluruhan dari hasil kinerja peserta tes. sedangkan pada metode analytic para penskor (rater) memberikan penilaian (skor) pada berbagai aspek yang berbeda yang berhubungan dengan kinerja yang dinilai.
Beberapa cara menilai atau menskor kemampuan keterampilan atau kemampuan kinerja (performance assessment) peserta tes dengan metode analytic antara lain adalah dengan cara menggunakan (1) checklist; dan (2) rating scales.
Performance assessment dapat dilakukan dengan cara yang paling sederhana yaitu dengan menggunakan checklist. Apabila kriteria kemampuan tertentu pada siswa atau produk yang dihasilkan siswa dapat diamati oleh penilai atau penskor, maka siswa tersebut mendapat skor dan apabila tidak maka siswa tersebut tidak mendapat skor. Ada beberapa kelemahan pada checklist, (1) penilai atau penskor hanya bisa memilih dua pilihan yang absolut, yaitu teramati dan tidak teramati, jadi tidak ada skor diantaranya, (2) sukar menyimpulkan kemampuan peserta tes dalam satu skor.
Performance assessment dengan cara lain yaitu dengan menggunakan rating scale. Walaupun cara ini serupa dengan checklist, tetapi rating scale memungkinkan penilai atau penskor untuk menilai kemampuan siswa secara kontinum tidak lagi dikotomos. Kedua cara ini sama-sama berdasarkan pada beberapa kumpulan kemampuan kinerja yang hendak diukur, bedanya adalah checklist hanya memberikan dua kategori penialaian sedangkan rating scale memberikan lebih dari dua kategori penilaian. Ada tiga jenis rating scale, yaitu: (1) numerical rating scale; (2) graphic rating scale; dan (3) descriptive graphic rating scale (Grounlund, 1976: 441).
Kesukaran yang paling utama, ditemukan pada performance assessment adalah peskorannya. Hal ini karena banyak faktor yang mempengaruhi pada hasil penskoran performance assessment. Masalah penskoran pada performance assessment lebih kompleks daripada penskoran pada bentuk soal uraian. Menurut Popham (1995: 152) ada tiga sumber kesalahan (sources of error) dalam performance assessment, yaitu:
a. Scoring-instrument flaws, instrumen pedoman penskoran tidak jelas sehingga sukar untuk digunakan oleh penilai. Selain itu komponen-komponen yang harus dinilai juga sukar untuk diskor, umumnya karena komponen-komponen tersebut sukar untuk diamati (unobservable). Hal tersebut menyebabkan hasil penskoran tidak valid dan tidak akurat.
b. Procedural flaws, prosedur yang digunakan dalam performance assessment tidak baik sehingga juga mempengaruhi hasil penskoran. Masalah yang biasanya terjadi adalah penskor (rater) harus menskor komponen-komponen yang terlalu banyak. Bagi rater sebenarnya makin sedikit komponen yang harus dinilai semakin baik, tetapi pembuat pedoman penskoran tetap harus membuat pedoman penskoran yang dapat mewakili semua komponen-komponen penting yang mempengaruhi kualitas hasil akhir. Masalah lain dari prosedur ini adalah umumnya penskor (rater)
hanya satu orang, sehingga sukar untuk membandingkan hasil pertimbangan penskoran dengan penskor (rater) lain.
c. Teachers’ personal-bias errors, penskor (rater) cenderung sukar menghilangkan masalah personal bias. Waktu menskor hasil pekerjaan peserta tes ada kemungkinan penskor mempunayi masalah generocity error artinya penskor cenderung memberi nilai yang tinggi-tinggi, walaupun kenyataan yang sebenarnya hasil pekerjaan peserta tes tidak baik. Kemungkinan juga penskor mempunyai masalah severity error artinya penskor cenderung memberi nilai yang rendah-rendah, walaupun kenyataannya hasil pekerjaan peserta tes tersebut baik. Kemungkinan lain penskor juga cenderung memberi nilai yang sedang-sedang saja, walaupun kenyataan yang sebenarnya hasil pekerjaan peserta tes ada yang baik dan ada yang tidak baik. Masalah lain adalah adanya kemungkinan penskor tertarik atau simpati kepada peserta tes sehingga sukar baginya untuk memberi nilai yang objektif.
C. PENILAIAN ASPEK SIKAP PESERTA DIKLAT
Menurut Birren (Depdiknas, 2003: 1) sikap adalah kumpulan hasil evaluasi seseorang terhadap objek, orang, atau masalah tertentu. Kompetensi aspek sikap yang harus dicapai dalam pembelajaran meliputi tingkat pemberian respon, apresiasi, penilaian, dan internalisasi.
Jenis tingkatan aspek sikap yang dinilai adalah kemampuan siswa dalam:
1. Memberikan respon atau reaksi terhadap nilai-nilai yang dihadapkan kepadanya.
2. Menikmati, menerima nilai, norma, serta objek yang mempunyai nilai etika dan estetika.
3. Menilai (valuing) ditinjau dari segi baik buruk, adil tidak adil, indah tidak indah terhadap objek studi.
4. menerapkan atau mempraktikkan nilai, norma, etika, dan estetika dalam prilaku kehidupan sehari-hari (Depdiknas, 2002: 21).
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan beberapa cara. Cara-cara tersebut antara lain: observasi prilaku, pertanyaan langsung, laporan pribadi, dan penggunaan skala sikap.
1. Observasi prilaku
Prilaku seseorang pada umumnya menunjukkan kecenderungan seseorang dalam suatu hal. Observasi di sekolah dapat dilakukan dengan menggunakan buku catatan khusus tentang kejadian-kejadian berkaitan dengan siswa selama di sekolah. Selain itu, dalam observasi prilaku dapat juga digunakan daftar cek (checklists), yang memuat prilaku-prilaku tertentu yang diharapkan muncul dari siswa pada umumnya, atau pada situasi tertentu.
2. Pertanyaan langsung
Miller (Sukardi, 1986: 185) menganjurkan langkah-langkah berikut dalam persiapan dan penyelenggaraan suatu wawancara:
a. Tentukan tujuan wawancara.
b. Susunlah jadwal dan pegangan wawancara.
c. Ciptakan suasana dan kondisi yang diperlukan
d. Berusaha untuk mengadakan hubungan pribadi yang baik dengan peserta didik selama wawancara.
e. Pergunakan pertanyaan-pertanyaan yang sederhana dan mudah dimengerti.
f. Catatlah hasil wawancara dengan cermat.
g. Akhirilah wawancara dengan penuh kesantaian, keakraban, dan kebijaksanaan.
Berdasarkan jawaban dan reaksi yang muncul dari peserta didik dalam memberikan jawaban dapat dipahami sikap peserta didik tersebut terhadap objek sikap tertentu.
3. Laporan pribadi
Penggunaan teknik ini, misalnya siswa diminta membuat ulasan yang berisi tanggapan tentang suatu masalah, keadaan, atau hal yang menjadi objek sikap. Teknik ini cocok untuk menilai sikap secara individual. Penilai (rater) memerlukan waktu lebih banyak untuk membaca dan memahami sikap seluruh siswa.
4. Penggunaan skala sikap
Ada beberapa model skala yang dikembangkan oleh para pakar untuk mengukur sikap, antara lain:
a. Skala diferensiasi semantik
Teknik ini memiliki dua kelebihan dibandingkan dengan berbagai teknik lain. Pertama, teknik ini dapat digunakan dalam berbagai bidang, dan kedua, teknik ini sederhana dan mudah diimplementasikan dalam pengukuran dan penilaian sikap.
Langkah-langkah pengembangan skala dengan teknik skala diferensiasi semantik (Depdiknas. 2003: 13) adalah: Menentukan objek sikap yang akan dikembangkan skalanya. Memilih dan membuat daftar dari konsep dan kata sifat yang relevan dengan objek penilaian sikap. Misalnya; menarik, penting, menyenangkan, mudak dipelajari, dan sebagainya. Memilih kata sifat yang tepat dan akan digunakan dalam skala. Menentukan rentang skla pasangan bipolar dan penskoranya.
b. Skala Likert
Langkah-langkah pengembangan skala Likert seperti yang dikemukakan oleh Popham (Depdiknas, 2003: 16) adalah: Menentukan objek sikap yang akan dikembangkan skalanya. Menyusun kisi-kisi instrumen (skala sikap). Menulis butir-butir pernyataan, dengan memperhatikan kaidah sebagai berikut:
 menghindari kalimat yang mengandung banyak interpretasi;
 rumusan pernyataan singkat;
 satu pernyataan hanya mengandung satu pikiran yang lengkap;
 pernyataan dirumuskan dalam kalimat yang sederhana;
 hindari penggunaan kata-kata: semua, selalu, tidak pernah, dan sejenisnya;
 hindari pernyataan tentang fakta atau dapat diinterpretasikan sebagai fakta Butir pernyataan yang ideal diperlukan kurang lebih antara 30 sampai dengan 40 butir. Antara penyataan positif dan negatif hendaknya relatif berimbang. Setiap pernyataan diikuti skala sikap (bisa genap atau ganjil).
III. PENUTUP
Pengujian bertujuan untuk mendapatkan informasi/data tentang pencapaian kompetensi peserta didik sebagai bahan pertimbangan pemberian sertifikat kompetensi. Lulusan lembaga Pendidikan Teknologi Kejuruan diharuskan menguasai kompetensi yang disyaratkan supaya mereka dapat bersaing di dunia usaha/dunia industri. Kompetensi yang disyaratkan terdiri dari tiga komponen, yaitu: (1) komponen kompetensi normatif; (2) komponen kompetensi adaptif, dan (3) komponen
kompetensi produktif. Masing-masing komponen kompetensi mengandung aspek keterampilan, pengetahuan, dan sikap.
Penyelenggaraan pembelajaran di lembaga Pendidikan Teknologi Kejuruan menganut pendekatan Competency Based Training. Konsekuensinya pembelajaran tidak hanya dilakukan di lembaga penyelengara pendidikan tapi juga harus dilakukan di dunia kerja/dunia industri. Kewenangan melakukan pengujian dan menerbitkan sertifikasi kompetensi berada pada lembaga independen. Pengujian kompetensi dapat dilakukan oleh lembaga Pendidikan Teknologi Kejuruan dengan syarat dapat menunjukkan bahwa prosedur dan mekanisme pengujian yang dilakukan dapat memberikan jaminan mutu kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), sehingga sertifikat kompetensi dapat diterbitkan.
Syarat utama pengujian adalah diperolehnya data hasil pengukuran dengan tingkat akurasi (kecermatan) yang tinggi, sehingga sertifkat yang diterbitkan oleh LSP berkenaan dengan pengakuan penguasaan kompetensi memiliki tingkat objektifitas dan keadilan yang tinggi pula. Guna memperoleh hasil pengukuran yang akurat diperlukan alat ukur yang valid dan reliable, yang bisa dikembangkan oleh penulis yang memahami dan mengikuti secara ketat langkah-langkah pengembangan instrumen (alat ukur).
PUSTAKA ACUAN
Allen, M.J. & Yen, W.M. (1979). Introduction to measurement theory. Monterey California: Brooks/Cole Publishing Company.
Depdikbud. (1999). Pengelolaan pengujian. Jakarta: Tim Penulis
Depdiknas. (2001). Model penataan pendidikan menengan kejuruan tingkat kabupaten. Jakarta: Tim Penulis.
________ . (2001). Pedoman penyusunan standar pelayanan minimal penyelenggaraan persekolahan bidang pendidikan dasar dan menengah. Jakarta; Tim Penulis.
________ . (2001). Rencana stategis pendidikan menengah kejuruan 2001-2005. Jakarta: Tim Penulis.
________ . (2001). Reposisi pendidikan kejuruan menjelang 2020. Jakarta: Tim Penulis.
________ . (2002). Penilaian berbasis kelas. Jakarta: Tim Penulis.
________ . (2003). Penilaian tingkat kelas. Jakarta: Tim Penulis.
Grounlund, N.E. (1985). Measurement and evaluation in teaching (5th Ed.). New York: Macmillan Publishing Co., Inc.
Popham, W.J. (1995). Classroom assessment: What teachers need to know. Boston: Allyn and Bacon.
Sukardi, E. (1986). Penilaian keberhasilan belajar. Surabaya: Airlangga University Press.
Umar, J. (1995). Berbagai permasalahan penggunaan bentuk soal uraian dan pilihan ganda dalam ujian. Buletin Pengujian dan penilaian, Januari 1995 , 6-10.

No comments for "PENGEMBANGAN SISTEM PENILAIAN BERBASIS KOMPETENSI PESERTA DIKLAT SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN"!

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog