Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

Fiqih Datang Bulan
Ditulis oleh almawaddah di/pada 23 Nopember, 2008
Oleh: Abu Zahroh al-Anwar

Segala puji teriring kecintaan dan pengagungan, hanya bagi Alloh semata yang telah menjadikan bagi wanita dengan hikmah dan keagungan-Nya, suatu masa dan darah kebiasaan yang disertakan dengannya rangkaian hukum yang sesuai dengan kemaslahatan dan tabiat kewanitaannya. Sholawat dan salam terhunjuk kepada nabi Muhammad, pembawa pelita kebenaran bagi umat, keluarga, isteri dan pengikut mereka di dalam kebajikan hingga hari kemudian. Amma ba’du:
Saudari-saudariku sidang pembaca, rohimakunnallohu ta’ala… Masalah darah kebiasaan wanita atau yang lazimnya dikenal dengan sebutan darah haid merupakan perkara yang tampaknya remeh, namun sebenarnya amatlah besar urusannya di sisi Alloh, karena ia berkaitan dengan tiga ibadah besar, yakni: sholat, puasa, dan haji. Kaum wanita di setiap bulannya, mesti menerima tamu yang tak diundang ini, suka ataupun tak suka. Hal ini tentunya mengharuskan kaum wanita untuk memiliki ilmu untuk menyambut tamunya tersebut agar dapat menyambutnya dengan bagus dan sesuai dengan syari’at Alloh. Mengingat pentingnya masalah ini dan setiap wanita mesti akan bergaul akrab dengannya, marilah dalam majelis kajian kita kali ini, kita bersama-sama menelaah, mempelajari dan memahami bersama, beberapa masalah yang berkaitan dengan darah kebiasaan kaum wanita, dengan harapan semoga kajian ini benar-benar bermanfaat dan menjadi ilmu yang amali!

Di usia berapakah wanita mengalami haid?
Sebagian ahli fiqih mengatakan bahwa usia awal seorang wanita mengalami haid, pada usia 9 (sembilan) tahun. Bila seorang wanita melihat darah yang keluar dari tempat keluarnya darah kebiasaan kaum wanita, namun pada usia kurang dari sembilan tahun, bukanlah dinamakan darah haid dan tidak berlaku baginya hukum-hukum haid. Sedemikian pula kalau seandainya darah yang keluar bersifat seperti darah haid ataupun keluar di setiap bulannya—sehingga dapat dikatakan bahwa ia keluar sebagaimana adat kebiasaannya—mereka mengatakan bahwa darah ini bukanlah darah haid, tetapi darah yang keluar dari urat rahim dan tidak berlaku baginya hukum haid, selagi usianya kurang dari sembilan tahun.
Apa dasar mereka?!
Dasar yang mereka pakai sandaran dalam menetapkan hukum masalah ini adalah adat kebiasaan kaum wanita. Kebanyakan kaum wanita tidaklah mengalami haid kecuali setelah berusia sembilan tahun, dan adat berpengaruh pada ketetapan suatu hukum syar’i. Sebagai contoh riil bahwa adat berpengaruh dalam menetapkan hukum syar’i adalah sabda Rosululloh tentang wanita yang mengalami istihadhoh (yang artinya):
“ Diamlah (tidak puasa dan sholat) seukuran (adat kebiasaan) haidmu menahanmu.”
Rosululloh mengembalikan perkaranya kepada adat kebiasaan haidnya sebelum seorang wanita mengalami istihadhoh. Hal ini menunjukkan bahwa adat berpengaruh dalam ketetapan suatu hukum tertentu.
Adapun perihal akhir usia kaum wanita mengalami haid, sebagian ahli fiqih mengatakan bahwa akhir usia kaum wanita mengalami haid adalah pada usia 50 tahun. Kalau seandainya seorang wanita keluar darah sebagaimana tabiatnya dan sifat-sifatnya sama persis dengan darah haid, namun usianya lebih dari 50 tahun, maka darah tersebut bukanlah darah haid, dan tidaklah berlaku baginya hukum-hukum haid.
Sebagian ahli fiqih yang lain berpendapat bahwa tak ada batasan awal dan akhir dari usia wanita mengalami haid, namun kapan saja seorang wanita keluar darinya darah kebiasaan kaum wanita, maka darah tersebut dihukumi sebagai darah haid, dengan dasar:
1. Firman Alloh Ta’ala dalam surat al-Baqoroh [2]: 222
(قُلْ هُوَ أَذًى) (Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran.”)
adalah hukum yang bergantung terhadap suatu sebab, yaitu: أَذًى (kotoran). Maka pada usia berapapun seorang wanita menjumpai darah yang bersifat kotoran, bukan darah dari urat rahim, maka dihukumi sebagai darah haid.
2. Firman Alloh Ta’ala dalam surat ath-Tholaq [65]: 4
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang belum haid.”
Dan tidaklah Alloh Ta’ala berfirman:“ Wanita yang telah berusia lebih dari lima puluh tahun atau kurang dari sembilan tahun.”
Dengan kata lain, Alloh tidak membatasi usia minimal dan maksimal wanita mengalami haid, maka kapan saja dijumpai darah kebiasaan kaum wanita yang disifati dengan “kotoran”, maka ia adalah darah haid dan berlaku padanya hukum-hukum darah haid.
Pendapat kedua inilah insya Alloh yang lebih kuat dari segi dalilnya. Wallohu A’lam.
Apakah wanita hamil mengalami haid?
Pendapat yang shohih dalam masalah ini, wanita yang sedang hamil, jika memang keluar darinya darah kebiasaan wanita yang disifati dengan “kotoran”, maka darah tersebut merupakan darah haid sehingga ia wajib meninggalkan sholat dan puasa. Namun dalam hal iddah ia berpegang kepada iddah orang hamil (yaitu: hingga melahirkan) bukan iddah orang haid, karena hamilnya dalam hal ini lebih kuat pengaruh hukumnya daripada haidnya. Ahli fiqih menamakan hamil sebagai “Ummu Iddah” (induk iddah). Karena ia memupus semua iddah dengan selain “hingga melahirkan”.
Masa Haid
Masa haid kebanyakan kaum wanita adalah enam atau tujuh hari. Rosululloh bersabda (yang artinya): “Lakukanlah haid selama enam atau tujuh hari di dalam ilmu Alloh, dan kemudian mandilah.” (HR. Ahmad 6/439, Abu Dawud: 287)
Bila seseorang bertanya: Jika wanita keluar darah pada masa lebih dari tujuh hari, sedangkan darah tersebut memiliki sifat-sifat yang sama dengan darah haid, apakah ia dihukum sebagai darah haid ataukah bukan?
Jawab: Menurut pendapat yang shohih dalam masalah ini, darah tersebut dihukumi sebagai darah haid, selagi memiliki sifat-sifat seperti darah haid. Namun, apabila darah keluar secara terus-menerus selama satu bulan penuh, maka dihukumi sebagai darah istihadhoh. Pada kasus ini, ia tidak boleh sholat dan puasa sesuai dengan kebiasaan lama haidnya, dan selebihnya ia dihukumi suci dan wajib sholat dan puasa serta boleh melakukan thowaf apabila sedang haji atau umroh.
Hal-hal yang Tidak Boleh Dilakukan Kaum Wanita Ketika Haid
1. Sholat dan puasa, berdasarkan HR. Bukhori: 304.
2. Jima’, berdasarkan QS. al-Baqoroh [2]: 222 dan HR. Muslim: 302.
Barangsiapa yang menyetubuhi isterinya ketika sedang haid, maka ia wajib mengeluarkan kaffaroh satu atau setengah dinar (lihat HR. Ahmad 1/230, Abu Dawud: 264)
Bagaimana dengan wanita haid yang disetubuhi? Wajibkah ia mengeluarkan kaffaroh?
Jawab: Jika ia mengetahui keharaman perbuatan tersebut, tidak lupa dan tidak dipaksa, maka ia wajib mengeluarkan kaffaroh sebagaimana kaffaroh bagi suami yang menjima’inya. Allohu A’lam.
3. Thowaf di Baitulloh al-Harom, berdasarkan HR. Bukhori: 1650.
Apabila Darah Haid Telah Berhenti
Bilamana darah haid telah berhenti, maka berlaku baginya hukum-hukum berikut:
1. Wajib puasa
Wanita yang telah berhenti darah haidnya, ia wajib berpuasa walaupun belum mandi, seandainya berhenti pada saat mendekati fajar shodiq dan belum sempat mandi. Hal ini diqiyaskan kepada orang yang junub.
2. Mandi
Wanita yang telah berhenti darah haidnya, ia wajib mandi sebagaimana mandi janabat. (HR. Bukhori: 306)
3. Sholat
Bila wanita telah selesai mandi, maka ia wajib mengerjakan “sholat waktunya”. (HR. Bukhori: 306)
Apakah ia wajib mengqodho’ sholat yang bisa dijamak dengan sholat di saat ia telah suci dari haid?
Jawab: Menurut pendapat yang shohih, tidaklah ada kewajiban mengqodho’nya, berdasarkan keumuman hadits Aisyah: “Kami haid pada masa Rosululloh, maka kami diperintahkan mengqodho’ puasa dan tidak diperintahkan mengqodho’ sholat.” (HR. Bukhori)
4. Boleh melakukan jima’
Bila wanita telah selesai mandi, maka ia boleh melakukan jima’, dan jika belum mandi tidaklah diperbolehkan. (Lihat surat al-Baqoroh [2]: 222)
Ciri-ciri Darah Haid
Darah haid mempunyai ciri-ciri yang dapat membedakannya dengan selain darah haid, yaitu:
1. Berwarna merah kehitam-hitaman. Sedangkan darah istihadhoh atau selainnya berwarna merah segar.
2. Kental. Sedangkan darah istihadhoh atau selainnya encer.
3. Berbau tak enak. Sedangkan yang selainnya tidak.
4. Setelah keluar tak akan menggumpal. Sedangkan darah yang lain akan menggumpal.
Cairan Kuning di Masa Haid
Apa hukum cairan kuning yang keluar dari farji di luar masa haid?
Jawab: Ummu Athiyyah berkata: “Kami pada masa Rosululloh tidaklah menganggap cairan seperti nanah dan cairan kuning sebagai haid.” (HR. Bukhori: 326)
Sedemikian pulalah hukum keduanya apabila keluar setelah seorang wanita suci dari haidnya.
Apabila Sehari Keluar Darah dan Sehari Tidak
Bila kaum wanita mengalami peristiwa seperti ini, bagaimana hukumnya? Jawab: Sebagian ulama mengatakan bahwa pada hari ia melihat keluarnya darah haid dari dirinya maka dihukumi haid, dan di hari tidak mendapati keluarnya darah haid ia dikatakan suci dan wajib mandi, sholat, dan puasa; selagi tidak melebihi masa paling lamanya haid, yaitu lima belas hari.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa sehari atau setengah hari atau sehari semalam tidaklah dihitung suci dari haid, karena kebiasaan sebagian wanita mengalami masa kering (berhenti) darah haidnya selama sehari atau semalam di tengah-tengah hari kebiasaan haidnya, dan ia tidaklah berpandangan dirinya telah suci namun ia tetap menunggu keluarnya darah. Ini apabila wanita tersebut memiliki masa haid yang tetap. Di hari yang mana ia tidak keluar darah, tidaklah dianggap sebagai hari suci, tetapi dihitung sebagai hari haid; ia tidak wajib mandi, sholat, thowaf, dan tidak boleh i’tikaf, karena masih berstatus sebagai wanita yang dalam keadaan haid, sehingga ia mendapati masa suci.
Dari kedua pendapat tersebut, yang lebih kuat adalah pendapat kedua, karena mewajibkan manusia untuk mengikuti pendapat pertama sungguh sangat memberatkan bagi kaum wanita.
Apalagi, pendapat kedua ini sesuai dengan perkataan Ummul Mu’minin Aisyah : “Janganlah kalian tergesa-gesa mandi sehingga melihat kapas (ketika diusapkan pada tempat keluarnya darah haid) berwarna putih, tidak bercampur dengan warna kekuning-kuningan.” (HR. Bukhori: 320)
Demikian kajian kita kali ini, semoga bermanfaat. Segala puji bagi Alloh yang sempurna dengan izinnya segala amal sholih dan sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada Rosululloh.
“Sholat waktunya”—begitulah ulama ahli fiqih menyebutkan—yaitu: waktu sholat yang ditemui ketika seorang wanita berhenti dari haidnya.
[1] “Sholat waktunya”—begitulah ulama ahli fiqih menyebutkan—yaitu: waktu sholat yang ditemui ketika seorang wanita berhenti dari haidnya

No comments for "FIQH DATANG BULAN"!

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog