Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi

mengapa Materialistis-Konsumtif?



Donny memutuskan untuk menjumpai psikolog yang dikenalnya setelah seharian berputar-putar dengan mobilnya karena bingung. Ia tidak berharap mendapat “resep” untuk memecahkan masalah. Ia cukup mengerti apa yang harus dilakukannya, tetapi merasa butuh tempat untuk bercerita pada saat-saat yang sangat menyesakkan hari itu.

,b>Seberat apa persoalannya?
Donny telah hampir satu tahun mengalami perceraian. Itu terjadi saat ia sedang sangat sibuk karena kuliah S2 yang dijalaninya sambil tetap bekerja. Istri yang telah dinikahinya sejak ia berusia 20 tahun telah digaet (atau menggaet) laki-laki lain yang jauh lebih kaya dari dirinya.

Ironisnya, semua harta benda hasil jerih payah Donny (rumah, tabungan, mobil, dll) serta anak-anak (yang ketika itu masih berusia 2 dan 3 tahun) dikuasai oleh sang istri. Harta kekayaan itu diminta penuh, dengan alasan untuk membesarkan anak-anak.

Donny meninggalkan rumah hanya dengan satu koper pakaian. Sementara istrinya telah meningkatkan penampilan sedemikian rupa dan mengganti kendaraannya dengan mobil mewah.

Meski mantan istrinya hidup bersama suami barunya, ia tidak mengizinkan anak-anak ikut ayah kandungnya. Mereka tinggal di rumah (lama) hanya ditemani oleh pengasuh (baby sitter).

Supaya tetap dapat mengurus anak, Donny mengontrak rumah di depan rumah yang kini telah dikuasai oleh istrinya. Sayang hal ini tampaknya tidak dikehendaki oleh mantan istri serta mantan ibu mertuanya.

Didukung oleh ibunya, akhir-akhir ini mantan istri melakukan berbagai tindakan untuk menghalangi Donny bertemu atau menelepon anaknya. Bahkan, Donny telah mendapat berita bahwa rumah itu akan dijual, dan itu berarti ia tidak dapat lagi melihat anak-anaknya. Inilah yang membuatnya sangat terpukul.

Pengasuh anak yang biasanya selalu membantu perjumpaan anak-anak dengan ayahnya sudah ikut berbohong untuk menghalangi Donny bicara dengan anaknya, sekalipun hanya melalui telepon. Ia tidak dapat lagi melambaikan tangan ketika anak-anak berangkat sekolah karena kaca mobil yang mengantar mereka ditutup sedemikian rupa.
Donny telah ikhlas kehilangan istri yang dibutakan oleh harta benda, tetapi ia tidak sanggup melepaskan anak yang ia tahu masih sangat membutuhkan dirinya.

Sindrom Materialisme-Konsumtif
Cukup mengejutkan bahwa di dunia nyata ini benar-benar ada tokoh antagonis, ibarat dalam sinetron. Menjawab pertanyaan mengapa dulu ia menikahi wanita itu, Donny mengaku bahwa waktu itu ia terlalu muda dan “silau” oleh kecantikannya. Padahal ketika masa pacaran ia sudah menunjukkan sifatnya yang boros dan menuntut gaya hidup kelas atas. Hobinya adalah berbelanja barang mewah.

Mantan istri Donny adalah produk keluarga retak. Kedua orangtuanya juga bercerai. Sama seperti Donny, mantan ayah mertuanya juga terusir dari rumah oleh istrinya sendiri. Harta kekayaan dikuasai oleh istri. Kini, ibu itu mendukung anaknya untuk melakukan hal yang sama seperti dulu ia memperlakukan suaminya.

Jadi, dua orang wanita, ibu dan anak, itu memiliki karakter dan membuat sejarah hidup yang sama. Mereka sama-sama dikuasai oleh materi, bersifat menguasai, dan sangat terobsesi oleh barang-barang mewah. Gejala yang cukup kompleks ini layak disebut sindrom materialisme-konsumtif.

Meskipun kasus seperti yang dialami oleh Donny tidak banyak, gejala-gejala materialisme disertai perilaku konsumtif sebenarnya cukup menggejala pada masyarakat kita. Sebagian dari kita mengarahkan hidupnya untuk mengejar kekayaan, gaya hidup mewah, dan status sosial papan atas.

Karena terobsesi oleh hal-hal tersebut, orang menempuh segala cara untuk mendapatkannya. Istri dan mertua Donny telah sampai hati meninggalkan suami masing-masing dan menguasai harta kekayaaan secara sepihak. Sementara orang-orang lain menempuhnya dengan cara korupsi, manipulasi, merampas hak orang lain, dan sebagainya.

Mereka merasa aman dan nyaman hanya bila dapat tampil mewah, dikelilingi perabot mewah, harta milik berlimpah, dan citra papan atas. Pendek kata orientasinya adalah the goods life (hidup berlimpah harta benda), bukan the good life (hidup yang bahagia).

Nilai Intrinsik dan Ekstrinsik
Seseorang terdorong untuk mengejar sukses materi pada dasarnya tergantung pada nilai-nilai hidup yang diyakini. Tim Kasser, pakar yang banyak melakukan penelitian mengenai tujuan dan nilai-nilai hidup, menggolongkan tujuan dan nilai-nilai hidup menjadi dua jenis yang bersifat dikotomis (saling berseberangan): ekstrinsik dan intrinsik.

Nilai-nilai dan tujuan hidup ekstrinsik yang kuat tampak pada individu yang mengarahkan hidupnya pada budaya konsumtif dan mengorganisasi hidupnya di seputar uang, kekuasaan, citra, dan status (the goods life). Ini disebut ekstrinsik karena fokus hidupnya adalah memperoleh penghargaan dan hal-hal yang menyenangkan (rewards) yang bersifat eksternail.

Nilai-nilai dan tujuan hidup intrinsik mengarahkan kehidupan untuk pertumbuhan pribadi, hubungan erat, dan kontribusi terhadap komunitas. Hal ini lebih sesuai dengan pandangan Psikologi Positif mengenai hidup bahagia (the good life).

Disebut intrinsik karena memberikan kepuasan secara lebih melekat (inheren) dan fokusnya adalah mencapai kepuasan psikologis yang terdalam yang diperlukan untuk hidup bahagia atau hidup sejahtera.

Bagaimana kaitan antara nilai-nilai hidup dengan kesejahteraan hidup? Beberapa hasil riset yang dilakukan oleh Kasser dan kawan-kawan maupun oleh para peneliti lain menunjukkan bahwa tujuan dan nilai-nilai ekstrinsik banyak berkaitan dengan kondisi psikologis yang tidak sejahtera; dan sebaliknya tujuan dan nilai-nilai intrinsik banyak berkaitan dengan kondisi psikologis yang sejahtera.

Dalam penelitian awalnya Kasser menemukan bahwa pada siswa yang berorientasi ekstrinsik memiliki tingkat vitalitas dan aktualisasi diri yang lebih rendah, dan sebaliknya memiliki tingkat kecemasan dan depresi. Ini berkebalikan dengan siswa yang berorientasi intrinsik. Demikian pula temuannya pada orang-orang yang lebih dewasa.

Dari berbagai penelitian Kasser selanjutnya maupun dari peneliti lain ditemukan bahwa individu yang menempatkan nilai ekstrinsik lebih tinggi daripada nilai intrinsik, menunjukkan kualitas hidup yang lebih rendah, yaitu: kepuasan hidup yang lebih rendah, kurang bahagia, kurangnya pengalaman emosi yang menyenangkan dan lebih banyak mengalami emosi yang tidak menyenangkan, memiliki gejala gangguan fisik lebih banyak, lebih banyak menyalahgunakan obat dan alkohol, dan lebih banyak memiliki gangguan perilaku.

Temuan penting lainnya, dari Cohen dan Cohen, remaja yang memuja berbagai ciri materialistik atau yang memiliki prioritas hidup menjadi kaya, lebih cenderung memiliki gejala-gejala kepribadian dan perilaku tidak sehat, seperti lemahnya perhatian, narsistik, kecemasan akan keterpisahan, dan sebagainya.

Masih banyak temuan lainnya yang diteliti dengan berbagai metode dan kelompok subjek (siswa, orang dewasa, kalangan bisnis, dan dari berbagai negara), tetapi semuanya menegaskan hasil yang sama, bahwa ada kaitan erat antara tujuan dan nilai-nilai hidup dengan kebahagiaan atau kesejahteraan hidup seseorang. @

No comments for "mengapa Materialistis-Konsumtif?"!

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog