Kasus Ahmadiyah:
Sabtu, 12 Februari 2011
Hidayatullah.com--Bentrokan antara Jemaat Ahmadiyah dan warga kembali terjadi. Kali ini di Cikeusik Pandeglang Banten. Mengapa hal ini bisa terulang? Apa yang harus dilakukan pemerintah? dan adakah keterlibatan pihak ketiga di luar Islam dan Ahmadiyah?
Berikut wawancara hidayatullah.com dengan Ardiansyah, SH, MA, MH, Mahasiswa Program Doktor Bidang Kajian Hukum Konstitusi dan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Kebangsaaan Malaysia (UKM).
Mengapa bentrok semacam ini bisa terulang, padahal sudah ada ada SKB?
Pemicu utama bentrok yang sering kali terjadi antara warga (masyarakat) dengan jemaah Ahmadiyah adalah karena ketidaktegasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sampai sekarang Presiden SBY tidak juga mengeluarkan larangan atau pembubaran Jemaah Ahmadiyah.
Padahal dasar hukum yang diperlukan untuk itu sudah cukup, yakni berupa SKB Tiga Menteri. Ketidaktegasan itulah yang membuat Jemaah Ahmadiyah merasa mendapat angin sehingga kemudian muncul gesekan dengan umat Islam di berbagai tempat.
Apakah pelaksanaan SKB tidak berjalan?
Sebelum menilai peristiwa Cikeusik, sebaiknya dilihat lebih dahulu kronologis permasalahannya. Kapolres Pandeglang AKBP Alex Fauzy Rasyad telah menjelaskan bahwa serangan warga Cikeusik terhadap Jamaah Ahmadiyah dipicu oleh sikap jemaah Ahmadiyah yang mengeluarkan pernyataan menantang kepada warga setempat.
Sebelumnya, warga telah meminta pimpinan Ahmadiyah yang ada di sana, Ismail Suparman (Parman) supaya membubarkan jemaahnya dan tidak menyebarkan ajaran Mirza Ghulam Ahmad. Ketika diminta membubarkan Ahmadiyah, Parman malah mengatakan lebih baik mati daripada membubarkan diri.
Ketika suasana memanas, Parman dan istrinya serta Atep yang menjadi Sekretaris Jamaah Ahmadiyah Cikeusik meminta perlindungan kepada polisi. Setelah Parman diamankan situasi kembali tenang.
Tetapi, karena ada sekitar 20 orang Jamaah Ahmadiyah yang berasal dari Jakarta datang ke Cikeusik dan mengeluarkan pernyataan siap mempertahankan Ahmadiyah sampai titik darah penghabisan itu.
Mendengar pernyataan itu, masyarakat yang sudah tenang kembali terbakar emosinya dan mengusir paksa Jamaah Ahmadiyah sehingga terjadi insiden berdarah Cikeusik. Inilah kronologis yang mengakibatkan terjadinya insiden berdarah itu.
Jika SKB tak bisa dijalankan, bagaimana solusi terbaik agar bentrok serupa tidak terjadi?
Kunci penyelesaian jemaah Ahmadiyah bergantung kepada keberanian dan ketegasan pemerintah mengimplementasikan SKB. Jangan sampai pemerintah bersikap hipokrit. Satu sisi, dalam SKB jemaah Ahmadiyah dinilai aliran sesat dan tidak boleh menyebarkan keyakinannya kepada umat Islam. Apabila melanggar akan dikenakan sanksi. Jika masih membandel akan dibubarkan.
Tetapi, ketika MUI dan masyarakat sudah melaporkan bahwa sampai saat ini jemaat Ahmadiyah masih menjalankan keyakinannya dan tidak berubah sama sekali, pemerintah tidak merespon dan tidak mengambil tindakan sebagaimana semestinya. Tentu ini melahirkan kekecewaan umat.
Sebenarnya yang ditunggu umat Islam hingga saat ini adalah bukti dan realisasi dari SKB, bukan sekadar himbauan. Jika tidak, jemaah Ahmadiyah yang jumlahnya tidak sampai 0,01 persen dari penduduk Indonesia itu, akan terus menodai keyakinan umat Islam, mayoritas penduduk negeri ini, dan bahkan terus menjadi pemantik gesekan-gesekan fisik dalam kehidupan beragama, khususnya di tengah umat Islam.
Agar efektif, perlukah keppres untuk menguatkan SKB?
Apabila SKB tidak efektif maka pemerintah perlu mengeluarkan Keppres. Dengan Keppres tentu keberadaan jemaah Ahmadiyah dapat ditangani dengan baik. Tentu saja Keppres yang akan dikeluarkan harus jelas kontennya, apakah berupa keputusan pembubaran jemaah Ahmadiyah atau keputusan jemaah Ahmadiyah bukan lagi bagian dari Islam dan jemaahnya bukan orang Islam.
Apakah hal itu tidak bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin konstitusi?
Tentu tidak bertentangan dengan konstitusi. Pengusung Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme (Sipilis) tidak tepat memahami kebebasan beragama. Perlu dipahami bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E UUD 1945). Bahkan, kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I UUD 1945).
Namun, Pasal 28J UUD 1945 mengatur pembatasan kebebasan beragama dan kepercayaan. Kebebasan seseorang itu sendiri dibatasi oleh undang-undang dan hukum. Jadi jangan dicampur aduk kedua pasal tersebut dalam melihat kebebasan beragama.
Mereka menerjemahkan HAM sebagai hak yang sebebas-bebasnya termasuk dalam beragama dan berkeyakinan. Namun, mereka mengabaikan adanya kewajiban asasi manusia dan pembatasan terhadap HAM itu sendiri.
Pasal 28J UUD 1945 menyatakan : (1) Setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Jadi jelas sekali bahwa kebebasan melaksanakan ajaran agama atau kepercayaan seseorang dapat dibatasi demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan kebebasan orang lain.
Apa sikap yang paling tepat untuk menyikapi ahmadiyah ini, baik oleh pemerintah maupun masyarakat?
Presiden SBY harus segera mengeluarkan keputusan untuk membubarkan jemaah Ahmadiyah atau keputusan yang menempatkan jemaah Ahmadiyah sebagai kelompok non Muslim. Hanya dengan keputusan seperti inilah persoalan jemaah Ahmadiyah dapat diselesaikan dengan tuntas dan menutup pintu terjadinya bentrok lebih lanjut.
Lambatnya Presiden SBY mengambil keputusan maka bisa dianggap turut membiarkan terjadinya konflik horisontal karena masyarakat akan mengambil jalan sendiri-sendiri dalam menyelesaikan persoalan jemaah Ahmadiyah ini.
Apakah ada keterlibatan pihak ketiga di luar Islam dan Ahmadiyah dalam kasus bentrokan ini?
Kita tidak boleh menuduh. Sebab, Indonesia adalah negara hukum. Namun, perlu dicermati pernyataan Komisi Amerika Serikat yang meminta Pemerintah RI bertindak atas penyerangan Ahmadiyah. Terlihat sekali Amerika Serikat selalu ikut campur mengenai urusan negara yang berpenduduk mayoritas muslim ini. Perlu pula dicermati kiprah para pengusung ide sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
Sesaat setelah peristiwa Cikeusik meletus, ada upaya tertentu untuk memblow-up peristiwa itu, ditambah lagi peristiwa Temanggung. Mereka menginginkan peristiwa ini dijadikan bukti untuk mengatakan buruknya toleransi kehidupan beragama di negeri ini. Umat Islam pun kembali menjadi tertuduh.
Mereka menggunakan peristiwa Cikeusik dan Temanggung sebagai sarana untuk mengkampanyekan ide toleransi, pluralisme, dan kebebasan. Mereka juga getol mendesak pemerintah untuk menjamin pelaksanaan ide-ide tersebut di tengah masyarakat. Mereka selalu menggunakan jargon HAM untuk melindungi eksistensi aliran sesat dan menodai keyakinan umat Islam.
Sebelumnya, melalui AKKBP, ada upaya melakukan Judicial Review terhadap UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penodaan Agama dan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Peristiwa Cikeusik dan Temanggung terlihat jelas upaya politisasi untuk menyuarakan pentingnya kebebasan beragama dan mengkambinghitamkan kelompok (ormas) Islam yang mereka tuduh menjadi inspirator tindakan kekerasan.
Bahkan MUI dan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah mereka tuding menjadi salah satu pemicu kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah. Oleh karena itu, umat Islam harus berpikir kritis dan bersikap waspada setiap manuver yang menjadikan umat Islam sebagai pihak tertuduh atas setiap peristiwa kekerasan.
Jangan sampai karena merasa tertuduh, umat Islam justru terperangkap menerima ide toleransi, pluralisme, dan kebebasan yang mereka sebarkan itu.*/idris
No comments for "Ada Upaya Politisasi dan Pengkambinghitaman Kelompok Islam"!
Posting Komentar