Modul SMK, Akuntansi, Keislaman, Tarbiyah, Motivasi dan Inspirasi



Di manakah sebenarnya letak kekuatan seorang Muslim untuk mengarungi kehidupan ini? Apakah yang menjadikan seorang Muslim menggebu-gebu dalam menuntaskan setiap mimpi-mimpinya? Ibarat baterai, seperti apakah charger jiwa seorang Muslim?

Seorang Arab Baduy dari perkampungan Mesir duduk sendirian. Di halte trem listrik bawah tanah. Jubah coklatnya tampak kusam, tetapi bersih. Ia seorang lelaki tua dengan kulit coklat gelap. Wajahnya ditumbuhi cambang dan jenggot cukup lebat berwarna putih. Posturnya nampak kukuh, dengan sepasang mata yang bersinar tajam. Dia acuh saja dengan lalu-lalang orang-orang di depannya dengan kesibukan masing-masing. Apakah memang selama ini orang-orang Baduy selalu terpinggirkan oleh orang kota yang prural? Saya menangkapnya demikian.

Bukan sekali, tapi nyata. Terkadang ada umpatan yang tidak layak kepada orang-orang yang kebanyakan hidup nomaden itu. Orang-orang yang termoderenkan oleh keadaan, seringkali merasa �super�. Padahal kemoderenan, ketika ia meninggalkan simpul-simpul agama dan etika, akan menggiring kepada kesesatan. "...jika engkau mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya akan menyesatkanmu dari jalan Allah..." begitu pesan Allah dalam Al-Qur�an. Kemoderenan harus berangkat dari referensi yang jelas, berupa ajaran agama yang bersih dan sesuai fitrah manusia. Dan kemoderenan yang islami, jauh dari sifat-sifat hedonis, glamour, apalagi hura-hura.

Saya sedang sendirian ketika melihat Arab Baduy itu. Saat dalam perjalanan dari stasiun trem listrik Ramses menuju Ma�ady. Perjalanan yang saya niatkan untuk berdakwah kepada dua anak kecil yang menjadi harapan ibu-bapaknya. Lelah adalah kesan saya saat itu, karena baru dua yang jam lalu pulang kuliah. Saya tidak punya alasan untuk tidak mendekati lelaki Baduy itu, sekedar menyapa atau mendengar ceritanya. Kata teman, orang Mesir kebanyakan suka bercerita. Mengapa tidak saya manfaatkan saja? Bisa jadi ada cerita unik yang keluar darinya, atau mungkin saja ada butiran hikmah yang dititipkan Allah untuk saya. Toh, waktu masih cukup panjang. Kebetulan saya juga sendirian di bangku halte ini.

Lelaki itu dengan ramah menyambut uluran tangan saya. Ia menggenggamnya kuat sambil menjawab salam seakan sudah kenal lama.

"Ana indunisi," kata saya langsung mengenalkan. Ia hanya manggut-manggut sambil tak lepas tersenyum. Saya memperkenalkan diri lebih dulu, karena kebanyakan orang Mesir lebih mengenal orang Malaysia. Entah mengapa? Mungkin saja negara ber-Perdana Menteri Abdullah Badawi itu lebih maju dari Indonesia. Tapi yang pasti mahasiswa dari Malaysia selalu berpenampilan rapi, islami, seragam. Baju taqwa dan peci haji warna putih. Sekilas sangat mudah dikenali siapa saja.

Lelaki itu sangat antusias dan bersemangat bercerita tentang apa saja. Dari mulai anak-anaknya yang berjumlah empat, peternakan kambingnya, sampai tentang masalah keagamaan. Ia banyak menguasai tentang sejarah Islam dan tafsir Al-Qur�an. Saya tercengang ketika ia mengaku veteran perang Sinai, antara Mesir dan Israel. Salah satu tubuhnya cacat, begitu pengakuannya.

"Selayaknya Anda dipanggil pahlawan," kata saya kepadanya. Mulutnya bedecak dan menggeleng tanda tidak setuju dengan panggilan itu. "Saya berperang untuk Allah, tidak penting penghargaan," ujarnya singkat. Saya salah terka, ternyata tidak bisa menilai orang dari penampilannya saja. Ia orang hebat dalam pandangan saya.

Saya jadi banyak diam. Sesekali membenarkan apa yang dikatakannya. Tiba giliran saya bertanya, "Apa yang membuat hidup Anda terasa hidup? Apakah ibadah utama yang sering Anda lakukan agar tetap bersemangat?" Ia diam, keningnya berkerut mencari jawaban.

Tiba-tiba suara adzan Ashar berkumandang dari televisi yang berada di stasiun. Ia berdiri lalu berkata, "Saya tidak punya apa-apa yang dibanggakan, tapi saya selalu berangkat ke mesjid ketika mendengar adzan, dan shalat jamaah di sana. Kedua, banyak-banyak mengingat Allah," katanya tenang.

Saya mengangguk, berterima kasih.

"Ba�da idznak, assalamu�alaikum." Lelaki itu berlalu dari hadapan saya menuju mesjid besar Al Fatah Ramses di atas stasiun. Saya kagum dengan lelaki itu, bukan karena ceritanya tadi. Tapi, ternyata lelaki itu, berjalan pincang karena peluru pernah menembus kakinya. Agak diseret ia berjalan. Lagi-lagi orang-orang yang berlalu lalang tidak mempedulikan keberadaannya. Hati saya jadi tersentuh, teringat akan suatu hari nanti, di mana atas izin Allah kaki dan tangan berbicara. Menjadi saksi atas perbuatan manusia.

***

Suatu hari Abdullah Ibnu Umi Makthum, mendatangi Rasulullah SAW. Ia tergesa, karena ingin menanyakan hal yang sangat mendasar dalam ibadahnya selaku seorang muslim.

"Wahai, Rasulullah apakah wajib kepadaku untuk shalat jamaah (di mesjid)?" Nabi SAW mengetahui bahwa sahabat yang bertanya ini adalah seorang yang buta. Nabi SAW menjawab, "Apakah Anda bisa mendengar adzan?" dan sahabat itu mengiyakan. Maka Rasullullah SAW menegaskan, "Anda wajib berjamaah."

Ada sekian banyak cara yang telah Allah ajarkan kepada makhluknya agar tetap ingat kepada-Nya. Karena Allah Maha Tahu, makhluk-Nya ini sangat lemah tanpa ada pertolongan dari-Nya. Karena Allah Maha Penyayang kepada makhluk-Nya, walau pun makhluk-Nya ini sering mengkhianati-Nya. Berdzikir merupakan bekal utama dalam menyelesaikan penatnya hidup ini. Seluruh permasalahan yang membuat hati kita keruh, kembali jernih saat kita berdzikir dan mengadukan permasalah itu kepadanya.

Ah, mungkin sudah tabiat manusia sering melupakan-Nya saat berada dalam kejayaan. Segeralah kembali, Ia Yang Maha Dekat selalu menerima kedatanganmu.

Seorang ulama besar umat ini yang mati dalam penjara, Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, "berdzikir untuk hati seperti air bagi ikan, bagaimana jadinya jika ikan berpisah dari air?!"

No comments for "Imunitas Seorang Muslim"!

Artikel Populer

Akuntansi, Pajak, Accurate, Tarbiyah dan Dakwah

FB _Q

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog